MAHADALYJAKARTA.COM – Istilah PKI mungkin sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. PKI merupakan sebuah partai komunis yang didirikan pada tahun 1914 Masehi. Pendirinya adalah seorang pemuda sekaligus tokoh sosial bangsa Belanda yang bernama Henk Sneevliet. Di awal pembentukannya terdapat 85 orang anggota. Adapun tujuan utama pembentukan partai ini tak lain adalah untuk menantang imperialisme dan kapitalisme pemerintah Belanda dengan membangun serikat pekerja, serta untuk mempromosikan pentingnya kesadaran politik di antara para petani.
Dalam partai ini melahirkan beberapa tokoh-tokoh komunis Indonesia. Mereka di antaranya, Semaoen, Musso, Darsono, DN Aidit, H. Misbach, Alimin, Tan Malaka, Amir Sjarifuddin, dan lain sebagainya. Walaupun PKI memiliki anggota yang lumayan banyak. Akan tetapi, banyak juga masyarakat yang tidak setuju dengan adanya partai ini sehingga melakukan banyak aksi pemberontakan dengan tujuan agar PKI segera dibubarkan.
Pada 12 Maret 1966 Masehi, di bawah pimpinan Soeharto, PKI resmi dibubarkan. Untuk melakukan pembubaran ini, Soeharto mengatasnamakan Soekarno sehingga seakan-akan Soekarno-lah yang menyuruh untuk segera membubarkan PKI. Padahal, Presiden Pertama Republik Indonesia tidak mengetahui akan pembubaran tersebut. Alasan lain Soeharto adalah berkeinginan menduduki jabatan sebagai presiden menggantikan posisi Soekarno sehingga beranggapan bahwa PKI merupakan kelompok pendukung Soekarno.
Keputusan mengenai pembubaran PKI ditingkatkan menjadi ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 yang ditetapkan dalam Sidang Umum Ke-IV Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pembubaran PKI ini mendapat banyak dukungan dan disambut dengan senang hati oleh segenap masyarakat Indonesia yang sangat anti komunis. Karena menurut mereka, pembubaran PKI merupakan suatu hal yang telah menyelamatkan negara Indonesia dari kehancuran dan kerusakan.
Terlebih lagi setelah tersebar kabar bahwa PKI telah melakukan pembantaian besar-besaran, peristiwa ini sering disebut dengan G30S/PKI. Pembantaian tersebut terjadi pada malam 30 September 1965 hingga dini hari masuk tanggal 01 Oktober 1965. Peristiwa ini dipimpin oleh Dipa Nusantara Aidit atau dikenal dengan nama DN Aidit, pemimpin terakhir PKI. Pemberontakan ini mengincar para perwira tinggi TNI Angkatan Darat Indonesia. Adapun faktor penguat gerakan ini adalah adanya dominasi ideologi Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (NASAKOM) yang telah berlangsung sejak era Demokrasi Terpimpin diterapkan, yakni tahun 1959-1965 di bawah pimpinan Soekarno. Hal lain yang menjadi pendorong gerakan ini adalah adanya ketidakharmonisan hubungan antara anggota TNI Angkatan Darat Indonesia dan PKI.
Peristiwa G30S/PKI ini telah menewaskan kurang lebih tujuh Jenderal Besar TNI Angkatan Darat Indonesia dan anggota dari ketujuh jenderal tersebut. Mereka di antaranya, Jenderal Ahmad Yani, Letjen Suprapto, Letjen S. Parman, Letjen M.T. Haryono, Mayjen DI Panjaitan, Mayjen Sutoyo Siswomiharjo, Brigjen Katamso, Kapten Pierre Tendean, Kolonel Sugiyono, A.I.P. II KS Tubun, Achmad Hanif Imaduddin, dan lain sebagainya. Mereka juga ditetapkan sebagai pahlawan revolusi Indonesia. Jasad para korban ditemukan pada 3 Oktober 1965 di sebuah sumur tua di Lubang Buaya.
Namun perlu diketahui, di antara semua korban di atas yang telah disebutkan, terdapat korban balita atas keganasan G30S/PKI. Ia adalah putri bungsu Jenderal Besar TNI Angkatan Darat Indonesia, Abdul Haris Nasution bernama Ade Irma Suryani Nasution yang berusia lima tahun. Ade Irma Suryani Nasution lahir pada 19 Februari 1960, putri bungsu dari pasangan Abdul Haris Nasution dan istri, Johanna Sunarti. Ia memiliki seorang kakak perempuan bernama Hendrianti Saharah Nasution. Kronologi kejadian sebelum terbunuhnya Ade Irma Suryani Nasution, kala itu pada malam 30 September 1965, gerombolan pasukan PKI Cakrabirawa berbondong-bondong mendatangi kediaman Jenderal Abdul Haris Nasution dengan tujuan untuk menculik kemudian membunuhnya. Alasan mereka melakukan penculikan terhadap Jenderal Abdul Haris Nasution tak lain karena ia adalah ketua keamanan Indonesia.
Malam itu, Jenderal Abdul Haris Nasution sedang terlelap bersama istri, Johanna Sunarti, dan putri kecilnya, Ade Irma Suryani Nasution. Istrinya sempat terbangun karena nyamuk. Ketika terbangun, pintu rumah bagian depan seperti hendak dibuka orang. Seketika sang istri segera memberi tahu suaminya, bahwa pasukan Cakrabirawa telah datang. Sang istri segera mewanti-wanti suaminya agar jangan sampai keluar. Namun, Jenderal Abdul Haris Nasution meyakinkan bahwa akan melawannya. Saat sang Jenderal membuka pintu kamarnya, pasukan tersebut menembakkan pelurunya. Refleks sang Jenderal menjatuhkan diri, tepat saat itu juga Ade Irma Suryani Nasution terbangun lalu berdiri di antara kedua orang tuanya.
Tak lama kemudian, ibu dan saudara Jenderal, Mardiah, terbangun karena mendengar suara tembakan. Lalu Johanna, istri Jenderal berkata pada Mardiah bahwa Jenderal harus diselamatkan. Untuk itu Johanna menitipkan putri bungsunya pada Mardiah. Mardiah yang panik pun tak sengaja membawa keluar Ade Irma Suryani Nasution lewat pintu yang dilarang untuk dibuka karena pasukan Cakrabirawa sudah menunggu di balik pintu. Seketika pasukan itu langsung memburu mereka dengan tembakan peluru. Jarak tembakan tersebut sangatlah dekat sehingga Ade Irma Suryani Nasution terkena tembakan di bagian punggungnya sedangkan Mardiah hanya terkena bagian tangan. Johanna yang melihat anaknya tertembak langsung menutup pintu kembali sambil memeluk dan membawanya menjauh.
Jenderal Abdul Haris Nasution yang melihat anaknya tertembak pun dilanda kebimbangan. Ia bingung harus segera menyelamatkan diri atau menolong anaknya yang terkena tembakan. Johanna yang menyadari hal itu pun segera meyakinkan Jenderal. Bahwa Ade Irma Suryani Nasution akan baik-baik saja. Kemudian Johanna segera menyuruh suaminya agar melompat dari pagar dan menuju rumah kedutaan Irak yang persis di sebelah rumahnya. Namun, belum sampai Jenderal melompat, putri bungsunya sempat melontarkan pertanyaan, “Ayah, mengapa saya juga kena tembakan?” tanya Ade Irma, tetapi Jenderal tidak menjawabnya.
Setelah Jenderal berhasil lolos dan pasukan Cakrabirawa pergi. Johanna membawa Ade Irma Suryani Nasution ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto untuk menjalani perawatan. Ketika dirawat di rumah sakit selama kurang lebih 5 hari, tepat pada 6 Oktober 1965, ia menghembuskan napas terakhir dan dimakamkan di kawasan Kebayoran Baru. Persis di samping Kantor Wali Kota Jakarta Selatan. Di nisan Ade Irma Suryani Nasution juga tertulis kata-kata dari Jenderal Abdul Haris Nasution sebagai bentuk kasih sayang seorang ayah kepada anaknya, begini bunyinya.
Anak saja jang tertjinta, engkau telah mendahului gugur sebagai perisai ajahmu.
Untuk mengenang Ade Irma Suryani Nasution, pemerintah membangun sebuah monumen dimakamnya dan memberinya gelar pahlawan muda yang telah gugur. Tak hanya itu, nama Ade Irma Suryani Nasution juga diabadikan sebagai nama jalan, sekolahan TK, dan panti asuhan.(//)
Kontributor: Shifatul Aula Firinda Nur Azizah, Semester VI
Penyunting Bahasa: Isa Saburai
REFERENSI:
Goenawan, Muhammad. 2015. Detik-Detik Paling Menegangkan. Yogyakarta: Palapa.
Guru, Tim Abdi. 2007. IPS Terpadu Jilid 3B. Jakarta: Erlangga Univ Press.
Nasar, Muhammad Fuad. 2017. Kegagalan Kudeta G30S/PKI: Berdamai dengan Sejarah. Yogyakarta: Gree Publishing, .
Picture, Tim Sunrise. 2011. 100 Pahlawan Nusantara. Jakarta: Cikal Aksara.
Pour, Julius. 2010. Gerakan 30 September. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Soempeno, Femi Adi. 2008. Mereka Menghianati Saya. Yogyakarta: Galang Press.