Al-Qur’an Kitab Suci Umat Islam. Bolehkah Direformasi?
MAHADALYJAKARTA – Elia Myron, sosok yang belakangan ini sedang menjadi perbincangan usai tampil di podcast dokter Richard Lee. Sebab, ia membahas banyak soal agamanya dan agama islam yang disebut menuai kontroversi. Ia juga seringkali melakukan siaran langsung di TikTok. Nah, salah satu kontennya membahas sebuah surah yang tercantum di Al-Quran yang dinilai kurang tepat, sehingga ia pun sampai membuat pernyataan berupa surat terbuka kepada Kementerian Agama untuk reformasi Al-Quran dengan alasan toleransi antar agama.
“Ketika saya mengunjungi situs Quran Kementerian Agama Republik Indonesia dan tafsirnya, secara khusus pada sumber surah Al-A’raf ayat 157, saya menemukan ayat-ayat Injil yang diambil sedemikian rupa untuk mendukung asumsi teologis. Saya berharap Kementerian Agama Republik Indonesia melakukan reformasi atas hal tersebut demi menciptakan dan juga mewujudkan keberlanjutan kerukunan antar umat beragama di Indonesia,” kata Elia, dikutip dari unggahan akun TikTok @mhd.hafizaulia, Senin, 27 November 2023.
Usai videonya viral, seorang pendakwah bernama Muhammad Hafiz Aulia memberikan tanggapan atas pernyataan Elia. Ia meminta Elia untuk meyakini agama yang ia yakini saja.
Muhammad Hafiz mengungkapkan bahwa jika yang di maksud Elia adalah meminta mereformasi isi dari Al-Qur’an, maka itu adalah tindakan yang fatal. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an menurut keyakinan umat Islam adalah firman/kalam Tuhan yang tidak mungkin bisa digugat, lebih-lebih dirubah isinya.
Namun, jika yang dimaksud Elia adalah mereformasi tafsirnya dengan alasan toleransi demi menjaga kerukunan, itu juga tindakan yang keliru. Karena menurut Hafiz, toleransi itu adalah tidak saling mengganggu antar keyakinan. Kembali lagi, Muhammad Hafiz meminta untuk saling meyakini keyakinan masing-masing saja.
Yang dimaksudkan Elia di dalam videonya adalah ia kurang setuju jika Alkitab yang umat kristiani yakini (Injil) ini dijadikan sebagai pendukung penafsiran ayat Al-Qur’an seperti yang tercantum pada tafsiran surat Al-A’raf ayat 157 tentang nubuat Nabi Muhammad Saw. Padahal pada hakikatnya umat Islam memang wajib meyakini/mengimani kepada 4 kitab suci, salah satunya adalah kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa As. Namun hal inilah yang menjadi polemik/perdebatan umat, terkhusus di sosial media hingga saat ini. Karena mereka meyakini bahwa Injil yang mereka yakini berbeda dengan Injil yang umat Islam yakini.
Dari sini pulalah muncul asumsi bahwasanya Al-Qur’an merupakan jiplakan dari kitab-kitab sebelumnya. Menanggapi tuduhan ini, pendakwah bernama Ahmad Syahrin Thoriq membantah dengan penjelasan yang cukup rasional dan sederhana. Di mana dalam logika, fakta daripada jiplak-menjiplak/contek-menyontek kita akan menemukan di antaranya:
1. Yang menjiplak/menyontek tidak akan bisa lebih baik daripada yang dijiplak. Jika isi Al-Qur’an itu adalah menyontek dari Injil atau Taurat, maka isi Al-Qur’an tidak akan bisa lebih baik daripada Taurat dan Injil. Tetapi fakta sebaliknya dari semua sisi, Al-Qur’an itu telah teruji mulai dari sisi keautentikannya dapat dipastikan bahwa isi Al-Qur’an itu adalah wahyu yang langsung diterima oleh Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril dari Allah SWT. Kemudian dari isinya, Al-Qur’an bahkan berani menantang siapa yang meragukan tentang isi Al-Qur’an untuk membuat satu ayat saja yang semisal dengan Al-Qur’an.
2. Logikanya, menjiplak itu adalah kejahatan. Dan kejahatan biasanya akan diiringi dengan kejahatan yang lainnya. Lazimnya, yang menjiplak itu akan menyamarkan atau bahkan menjelek-jelekkan pihak yang dijiplak. Tetapi faktanya tidak. Justru Al-Qur’an itu menyanjung Nabi Musa As. Kemudian juga meninggikan derajat Nabi Isa As. Di mana ujian dan sanjungan ini diberikan Al-Qur’an kepada Nabi Musa dan Nabi Isa serta nabi-nabi yang lainnya.
3. Hasil bajakan/jiplakan tidak akan mungkin bisa lebih populer dari yang dibajak. Tetapi Al-Qur’an justru sebaliknya. Al-Qur’an itu adalah kitab suci yang paling populer di muka bumi dulu hingga saat ini. Al-Qur’an menjadi kitab suci yang telah diterjemahkan hampir ke 50 bahasa dan telah dicetak lebih dari 3 milyar salinan di seluruh dunia. Jauh melampaui kitab-kitab yang lainnya.
4. Kita harus mengetahui bahwa sesuatu yang ketika sama itu tidak berarti hasil menjiplak. Sebagaimana Al-Qur’an, Zabur, Taurat, dan Injil di dalam isinya ada kesamaan bukan berarti karena hasil jiplakan. Akan tetapi karena memiliki sumber yang sama, yakni diturunkan dari Allah Swt. Jadi, jika ditemukan adanya kemiripan itu wajar karena memang sumbernya adalah dari Allah SWT.
5. Al-Qur’an itu datang bukan hanya menyampaikan informasi sebagaimana informasi yang disampaikan dalam kitab-kitab sebelumnya. Tetapi Al-Qur’an juga datang untuk mengoreksi isi dari kitab-kitab sebelumnya yang telah diubah-ubah oleh pengikutnya. Misalkan dalam Injil, para nabi dan rasul digambarkan dengan penggambaran yang sangat tidak layak bahkan untuk sekelas manusia biasa. Seperti contoh kisah di dalam injil yang menyebutkan bahwa yang membuat berhala saat Nabi Musa bersama Bani Israil lari dari kejaran Fir’aun itu adalah Nabi Harun As. Kemudian Al-Qur’an mengoreksi bahwasanya yang melakukan hal itu adalah sosok yang bernama Samiri. Karena tidak mungkin seorang nabi mengajarkan kepada kesyirikan.
Demikianlah bantahan Ustaz Ahmad Syahrin terhadap tuduhan tak berdasar itu. Bahkan faktanya pula, Nabi Muhammad Saw adalah seseorang yang Ummy (tidak bisa membaca dan menulis). Bagaimana bisa seseorang yang Ummy mampu menjiplak kitab lain bahkan mengarang kitab suci yang demikian sempurna itu.
Al-Qur’an Sebagai Penyempurna Kitab Sebelumnya
Mengutip buku Pengantar Studi Al-Quran oleh Abdul Hamid, Lc., M.A, pengertian Al-Quran bagi umat Islam adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril selama kurang lebih tiga puluh tahun.
Adapun kata Al-Quran sendiri memiliki perbedaan makna di antara para ulama. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa secara etimologi, kata Al-Quran merupakan bentuk masdar dari kata qara’ah yang artinya bacaan. Sebagaimana dalam firman Allah dalam surah Al-Qiyamah ayat 17 dan 18:
اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْاٰنَهُ ۚ فَاِذَا قَرَأْنٰهُ فَاتَّبِعْ قُرْاٰنَهُ
Artinya: “Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.”
Masih mengutip referensi yang sama, Al-Quran adalah kalam Allah. Namun, tidak semua kalam Allah disebut Al-Quran. Misalnya kitab-kitab terdahulu seperti kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Dawud AS, Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa AS, atau Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa AS. Oleh sebab itu, Al-Quran juga disebut sebagai penjelas terhadap tiga kitab sebelumnya itu. Seperti firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 48, yang artinya:
Artinya: “Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan.”
Cak Nun dalam buku Pemikiran Islam Nurcholish Madjid oleh Budhy Munawar Rachman menyebutkan bahwa kedudukan Al-Quran menjadi pembenar (mushaddiq), penguji atau penentu (muhaimin), dan pengoreksi (furqaan) terhadap penyimpangan yang terjadi oleh para pengikut kitab-kitab terdahulu tersebut.
Penegasan tersebut tujuannya agar setiap orang yang beriman bisa menyadari segala kekurangpahaman mereka atas wahyu Allah yang ada dalam kitab-kitab suci. Dasar pandangan beliau adalah sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 42-48.
Al-Quran juga menjadi penyempurna kitab sebelumnya dilihat dari bagaimana proses turunnya. Mengutip buku Kedahsyatan Membaca Al-Quran oleh Amirulloh Syarbini dan Sumantri Jamhari, Quran diturunkan secara bertahap kepada Rasulullah SAW (tadarrujj) dan tidak dilakukan secara sekaligus.
Hikmahnya adalah agar ajaran-ajaran Al-Quran kemudian bisa diaplikasikan secara bertahap dalam kehidupan sehari-hari dan tuntunannya sesuai dengan perkembangan zaman. Salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah mengenai hal itu “mengapa Al-Quran tidak diturunkan sekaligus?” kemudian Rasulullah menjawab bahwa Quran diturunkan bukan hanya untuk dihafal, namun juga untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kemurnian Al-Qur’an dan Cara Allah Menjaganya
Seperti yang kita tahu, Al-Quran turun secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun lamanya. Di zaman kenabian, Al-Quran belum terkumpul menjadi satu seperti yang ada pada saat ini. Untuk menjaga kemurniannya, para sahabat Nabi menuliskannya di tempat yang terpencar, dan beberapa dari mereka menghafalkannya. Yang dalam hal ini seringkali disebut dengan kodifikasi Al-Qur’an.
Melansir dari situs Nu Online bahwasanya kodifikasi Al-Qur’an dalam kajian Ulumul Quran merujuk pada dua pengertian, yakni hafalan di luar kepala dan ingatan, dan penulisan Al Quran huruf demi huruf, kata demi kata, ayat demi ayat, dan surat ke surat.
Kodifikasi Al-Qur’an dibicarakan secara detail dalam kajian Ulumul Qur’an untuk menunjukkan besarnya perhatian kita pada Al-Qur’an, pencatatan dan kodifikasinya. Besarnya perhatian terhadap Al-Qur’an berikut pencatatan dan kodifikasinya ini, menurut As-Shabuni, melebihi perhatian orang terhadap kitab samawi sebelumnya. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang menjadi sumber hukum dan pedoman hidup bagi manusia.
Proses pengumpulan dan penulisan atau kodifikasi Al Quran hingga menjadi sebuah kitab juga tidak selesai dalam satu tempo. Sejarah kodifikasi Al Quran dibagi menjadi tiga periode, yakni pada masa Nabi Muhammad, masa Khalifah Abu Bakar, dan Khalifah Utsman bin Affan.
1. Kodifikasi Al-Quran pada masa Rasulullah Saw
Kodifikasi Al Quran sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad masih hidup. Saat itu, kodifikasi dilakukan dengan dua cara, yakni hafalan dan penulisan. Kodifikasi Al-Qur’an dengan cara dihafal yaitu di mana setelah menerima ayat Al Quran, Nabi Muhammad membacakannya kepada para sahabat. Ayat-ayat yang dibacakan Rasulullah kemudian dihafal dan dipahami serta diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sahabat yang telah hafal Al-Quran jumlahnya sangat banyak, dan sebagian di antaranya dikirim ke berbagai daerah untuk mengajarkannya.
Contohnya adalah Mus’ab bin Umayr dan Abdullah bin Ummi Maktum, yang dikirim sebagai utusan Rasulullah ke kawasan Madinah sebelum periode hijrah. Selain itu, Imam Bukhari dalam Kitab Shahih-nya menyebut tujuh sahabat terkemuka penghafal Al-Qur’an. Mereka adalah Abdullah bin Mus’ud, Salim bin Ma’qil budak Hudzaifah, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid (Qais) bin Sakan, dan Abu Darda.
Sedangkan kodifikasi Al-Qur’an dengan cara ditulis pada zaman Rasulullah adalah dengan cara di mana para sahabat menuliskannya pada potongan kulit, pelepah kurma, daun lontar, lempengan tulang belikat, batu, dan potongan kertas kuno. Sehingga pada masa ini catatan ayat Al-Qur’an masih terpisah-pisah pada media yang beraneka ragam.
Beberapa sahabat yang pernah mencatat wahyu Al Quran pada masa Rasulullah adalah Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Amrin, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Aban bin Said, Khalid bin Walid, Muawiyah bin Abi Sufyan, dan masih banyak lainnya.
2. Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Ketika Nabi Muhammad wafat pada 632 M, ayat Al Quran telah terpelihara dalam hafalan dan catatan para sahabat. Setelah itu, ditindaklanjuti kodifikasi periode kedua pada masa Khalifah Abu Bakar. Salah satu hal yang melatarbelakangi kodifikasi Al Quran pada masa Abu Bakar adalah banyaknya penghafal Al Quran yang gugur dalam Perang Yamamah. Mengetahui hal itu, Umar bin Khattab khawatir akan punahnya Al Quran apabila tidak segera dibukukan. Umar bin Khattab menyampaikan kekhawatirannya kepada Khalifah Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar menindaklanjutinya dengan memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk menghimpun (menulis) Al Quran dalam satu mushaf.
Zaid bin Tsabit segera melaksanakannya dengan mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang tertulis di pelepah kurma, lempengan batu, hingga dari hafalan orang-orang penghafal Al-Quran. Setelah melalui proses yang amat panjang, jadilah mushaf di tangan Abu Bakar, yang kemudian pindah ke tangan Umar bin Khattab, dan setelah itu berpindah tangan ke Hafshah binti Umar.
3. Kodifikasi Al-Qur’an pada zaman Utsman bin Affan
Kodifikasi terakhir dilakukan pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Kodifikasi mushaf Al-Quran yang dilakukan oleh Khalifah Utsman bin Affan dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan dalam cara membaca serta huruf Al-Quran. Hal itu terjadi karena Islam semakin menyebar ke berbagai penjuru dan di setiap daerah terdapat imam pengajar yang saling menyatakan bacaannya yang benar. Perbedaan yang menimbulkan perselisihan itu diketahui oleh Hudzaifah bin Yaman, yang turut serta dalam misi penaklukkan Armenia dan Azerbaijan.
Setelah mendapat laporan dari Hudzaifah bin Yaman, Khalifah Utsman meminjam mushaf yang dibawa oleh Hafshah binti Umar. Utsman kemudian membentuk tim pembukuan Al-Quran yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam. Mereka diminta menduplikasi mushaf yang asli menjadi beberapa mushaf agar tidak terjadi lagi perbedaan dalam cara membaca serta huruf Al-Quran. Mushaf-mushaf yang selesai ditulis dikenal sebagai Mushaf Utsmani dan dikirimkan ke seluruh pelosok wilayah Islam.
Setelah itu, Khalifah Utsman bin Affan memerintahkan agar versi lain yang beredar sebelum terbit Al-Quran Mushaf Utsmani dibakar. Hal ini supaya tidak ada perbedaan lagi yang membingungkan dan dapat menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Hingga saat ini, Al Quran yang dibaca oleh umat Islam di seluruh dunia merupakan Al Quran dengan Mushaf Utsmani.
Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwasanya Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang terjaga kemurniannya, mulai dari diturunkannya hingga hari ini, bahkan hingga hari akhir kelak. Sehingga ketika ada pihak yang meminta reformasi terhadap isi daripada Al-Qur’an, maka jawabannya Tidak Bisa. Karena hal itu akan menyebabkan ketidakmurnian Al-Qur’an sebagai firman Allah SWT.
Reformasi berarti perubahan secara drastis untuk perbaikan. Sedangkan menurut keyakinan umat Islam, Al-Qur’an sudah sempurna adanya dan tidak memerlukan perbaikan satu ayat bahkan huruf pun. Sehingga untuk masalah keyakinan beragama, sudah sepatutnya untuk kembali kepada hati nurani masing-masing. Bertoleransilah dengan bijak tanpa harus menjatuhkan salah satu pihak. Lakum Diinukum wa Liya Diin.
Wallahu A’lam …..
Tulisan ini disadur dari viva.co.id, detik.com, dan kompas.com.
Editor: Winda K.N.