Abdul Malik bin Marwan & Pembangunan Qubbat As-Sakhrah
MAHADALYJAKARTA.COM—Yerusalem, merupakan tanah para nabi, kota suci tiga agama samawi, kota yang dipenuhi lapisan sejarah dan kesucian. Di jantung kota ini menyimpan dua monumen arsitektur Islam paling ikonik dan menjadi simbol kosmologi Islam yang menghubungkan bumi dan langit. Masjidil Aqsa dan Qubbat As-Sakhrah tidak hanya menjadi simbol kemegahan arsitektur, tetapi juga sebagai pernyataan iman dan kekuasaan, sekaligus menjadi saksi bisu dari visi seorang pemimpin yang ambisius dan visioner, yaitu Khalifah Abdul Malik bin Marwan pada akhir abad ke-7.
Abdul Malik bin Marwan bin Hakam bin Abu al-Ash bin Umayyah dilahirkan di Madinah pada tahun 26 H (646 M), ia berasal dari keluarga yang bangsawan dan terpandang nasabnya, yaitu dari Bani Umayyah pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Abdul Malik dikenal seorang yang faqih, ahli ibadah, dan orang yang fasih bacaan Al-Qur’annya. Setelah ayahnya wafat, ia menjadi penguasa Syam dan Mesir sekaligus khalifah kelima dari Dinasti Umayyah yang memerintah dari tahun 685-705 M.
Situasi Politik, Sosial, dan Religius Dunia Islam
Sebagai Khalifah, Abdul Malik dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan pragmatis. Setelah menghadapi kekacauan pasca perang saudara Islam, ia menyadari bahwa demi mempertahankan kekuasaan dan menciptakan stabilitas, diperlukan reformasi besar dalam struktur pemerintahan. Seperti mengubah bahasa administrasi negara dari bahasa Yunani dan Persia menjadi bahasa Arab, dan juga memperkenalkan sistem keuangan baru dengan mencetak mata uang dinar dan dirham agama Islam itu sendiri dengan simbol kalimat tauhid “La ilaha illallah”, menggantikan penggunaan mata uang Bizantium (Romawi Timur) dan Sassanid (Persia).
Ia juga memahami pentingnya simbol-simbol visual dan religius dalam memperkuat legitimasi politik. Oleh karena itu, ia memprakarsai pembangunan Qubbat as-Sakhrah di jantung Kota Tua Yerusalem, Qubbat as-Sakhrah bukan hanya sekedar bangunan religius, tetapi merupakan strategi cerdas sebagai Khalifah untuk memperkuat keimanan rakyat dan bersaing dengan politik Bizantium.
Pembangunan Masjidil Aqsa dan Qubbat as-Sakhrah (Dome of the Rock)
Setelah penaklukan Yerusalem, Khalifah Umar bin Khattab (sekitar tahun 637 M) membangun tempat shalat sederhana di area Haram al-Sharif. Pembangunan yang dilakukan Abdul Malik bin Marwan pada tahun 691-692 M untuk memperindah dan memuliakan kawasan Haram Al-Sharif, yang mencakup Dome of the Rock (Qubbat as-Sakhrah). Renovasi Masjidil Aqsa meliputi perbaikan struktur, penambahan ruang salat, serta penggunaan elemen arsitektur baru seperti lengkung tapal kuda dan kubah batu berlapis kayu. Qubbat as-Sakhrah diyakini sebagai tempat dimana Nabi Muhammad Saw diangkat ke langit dalam peristiwa Isra’ Mi’raj sebagaimana firman Allah yang tercantum dalam al-Qur’an:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya: “Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra’ 1)
Arsitektur dan Desain Sebagai Legitimasi Politik
Abdul Malik memerintahkan untuk merenovasi total terhadap bangunan lama yang telah rusak, penambahan kubah besar dan lengkung batu (arcade) yang menjadi ciri khas arsitektur Umayyah. Bangunan berbentuk oktagonal (delapan sisi) ini memiliki kubah berlapis emas berdiameter sekitar 20 meter dan tinggi 35 meter dari permukaan dasar, yang melambangkan keseimbangan dan simetri dalam kosmologi Islam. Strukturnya juga dikelilingi dua ambulatory (lorong melingkar). Interiornya dihiasi dengan mosaik Bizantium yang sangat halus menggambarkan motif tumbuhan, mahkota, permata, dan simbol kemenangan Islam atas Kekaisaran Bizantium. Dekorasi mosaiknya juga berlapis emas, batu marmer, serta kaligrafi kufi yang menghiasi bagian dalam dan luar masjid.
Spiritualitas Batu dan Cahaya
Batu (Sakhrah) dipandang sebagai simbol wahyu, kenabian sekaligus sebagai “poros kosmos” yang menghubungkan bumi dengan langit. Cahaya dari kubah emas menjadi metafora kehadiran ilahi dan ilham pada masa awal Islam dalam seni dan arsitektur yang memancar dari Yerusalem, hal ini menegaskan bahwa Yerusalem adalah pusat spiritualitas Islam. Ornamen kaligrafi kufi sepanjang 240 meter menghiasi interior di dalam Kubah Ash-Shakhrah bertuliskan ayat-ayat tentang keesaan Allah dan kenabian Muhammad Saw, serta penolakan terhadap doktrin Trinitas, dan meneguhkan identitas Islam. Gaya Kubah Batu kemudian menjadi inspirasi bagi pembangunan Masjid Umayyah di Damaskus (705 M) dan berbagai masjid di Timur Tengah hingga Afrika Utara.
Warisan Estetika Islam Awal
Kubah Batu memadukan gaya Bizantium (mosaik, kubah) dengan tradisi Persia dan Arab (kaligrafi, pola geometris) melahirkan identitas arsitektur Islam yang unik. Masjidil Aqsa diperluas dan diperindah, menjadikannya pusat ibadah sekaligus simbol peradaban Islam. Warisan ini menjadi fondasi bagi arsitektur Islam selanjutnya, dari Masjid Umayyah di Damaskus hingga masjid-masjid besar di Andalusia. Dengan demikian, Al-Aqsa menjadi lambang kemegahan Islam dan kebangkitan arsitektur monumental pada masa Umayyah. Hasil renovasi Umayyah masih bisa dilihat hingga kini, meski masjid mengalami kerusakan akibat gempa dan peperangan, lalu diperbaiki berkali-kali sepanjang sejarah.
Bayt al-Maqdis sebagai Pusat Kosmologi Islam
Abdul Malik meneguhkan Yerusalem sebagai titik sakral dalam peta spiritual Islam. Masjidil Aqsa diposisikan sebagai “arah alternatif” yang memperkuat identitas umat, meski kiblat tetap ke Ka‘bah. Abdul Malik juga ingin menegaskan keunggulan spiritual Islam di atas Yudaisme dan Kristen, serta menjadikan Yerusalem pusat spiritual Islam selain Mekah dan Madinah. Dengan demikian, Bayt al-Maqdis menjadi ruang di mana politik, arsitektur, dan spiritualitas bertemu. Masjidil Aqsa memiliki kedudukan istimewa karena pernah menjadi kiblat pertama sebelum dipindahkan ke Ka’bah.
Warisan Abdul Malik bin Marwan di Masjidil Aqsa bukan sekadar bangunan fisik apalagi sekedar peninggalan sejarah, melainkan simbol kosmologi Islam yang memadukan batu dan cahaya. Kubah Batu berdiri sebagai jejak emas yang meneguhkan legitimasi politik Umayyah sekaligus sebagai saksi abadi kejayaan Islam dan bukti bahwa arsitektur dapat menjadi jembatan antara keindahan, iman, dan kekuasaan. Hingga kini, Masjidil Aqsa tetap berdiri kokoh dan menjadi pusat identitas, memori, dan harapan umat Islam di seluruh dunia. Pada tahun 86 H/705 M khalifah Abdul Malik meninggal dunia setelah sukses menjabat pemerintahan selama 21 tahun. Ia meninggalkan tujuh belas anak, dan kepemimpinan pemerintahan digantikan oleh putranya, al-Walid bin Abdul Malik.
Referensi:
Al-Tabari, Muhammad ibn Jarir. 1987. Tarikh al-Rusul wa al-Muluk. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Suyuthi, J. 2005. Tarikh al-Khulafa (Sejarah Para Khalifah). jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Ibn Kathir, Isma‘il ibn ‘Umar. 1998. Al-Bidayah wa al-Nihayah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Maqdisi, Mutahhar ibn Tahir. 1983. Ahsan al-Taqasim fi Ma‘rifat al-Aqalim. Beirut: Dar Sadir.
Grabar, Oleg. 1996. The Shape of the Holy: Early Islamic Jerusalem. Princeton: Princeton University Press.
Creswell, K. A. C. 1969. Early Muslim Architecture, Vol. I: Umayyads, A.D. 622–750. Oxford University Press.
Kontributor: Arni Cahaya Lubis, Semester III