MAHADALYJAKARTA.COM—Buku ini mengisahkan tentang Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional yang dikenal sebagai pejuang humanis. Sebagian besar hidupnya dihabiskan dalam pengasingan. Sejak usia 24 tahun, ia diasingkan ke Belanda karena tulisan-tulisannya yang dianggap tajam dan berbahaya oleh pemerintah kolonial. Salah satu karyanya yang paling menohok pihak Belanda adalah “Als ik eens Nederlander was” (Seandainya Aku Seorang Belanda). Bersama rekan-rekannya, ia menolak menghadiri perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda. Mereka mempertanyakan, bagaimana mungkin rakyat terjajah merayakan kemerdekaan bangsa penjajahnya?
Pada 2 Mei 1989, genap 100 tahun usia Ki Hajar Dewantara. Perjuangannya tidak pernah mengandalkan kekuatan fisik atau senjata, melainkan semangat nasionalisme yang disertai cita-cita luhur bagi bangsanya. Meski tampak rapuh karena tubuhnya yang kecil, jiwanya menyala-nyala dengan semangat yang tak kunjung padam.
Dalam buku ini, terdapat tulisan Harumi Wanasita, istri Dr. E.F.E. Douwes Dekker:
“Tak seorang pun mengenal Suwardi sebaik Douwes Dekker. Tak seorang pun menghormati dan mencintainya seperti D.D. Dalam tubuhnya yang kecil, bersemayam semangat baja yang tak terkalahkan, yang selalu ia wujudkan ketika bertekad mencapai sesuatu. Bersama D.D dan dr. Tjipto, ia dibuang selama 22 tahun, namun berjuang keras meraih Akte Guru Belanda. Meski hidup dalam pengasingan penuh tantangan, ia berhasil meraih brevet-nya. Sekembalinya ke Indonesia, ia merintis bidang pendidikan yang bertentangan dengan dasar-dasar pendidikan kolonial. Ia diganggu, dirintangi, bahkan dipaksa melelang bangku-bangku sekolahnya. Namun, tak satupun usaha pemerintah kolonial yang keras dan penuh dendam berhasil mengalahkannya. Ia terus berjuang dan memenangkan perjuangannya! Ratusan Taman Siswa tumbuh di mana-mana, dijiwai semangat cinta tanah air. Suatu asas yang hanya terdapat di Indonesia. Ia sungguh manusia luar biasa, dari siapa D.D merasa banyak belajar. Ia telah membuang namanya yang berbau feodal dan aristokratik, Ki Hajar Dewantara namanya sekarang. Lihatlah seorang lagi yang mengenal tuntutan: Ciptakan pribadimu sendiri sebuah nama; jangan menerima pemberian atau meminjam nama.”
Buku ini ditulis oleh Bambang S Dewantara, putra Ki Hajar Dewantara sendiri. Prof. Priyono mengutarakan pendapatnya tentang Bapak Pendidikan ini: “Menurut Hendra Martono, seorang pemimpin pergerakan kaum buruh Indonesia, Ki Hajar Dewantara adalah Krishna, penjelmaan Wisnu bagi perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Bagi saya, Ki Hajar Dewantara bukan hanya Krishna-Wisnu, tetapi juga Wisnu-Rama; dan sebagai Sinta-nya adalah Nyi Hajar Dewantara.”
Apakah yang terjadi padaku saat mendengar kata orang mengenai orang tua ku? Bangga! Akan tetapi juga ngeri! Tidak jarang pada saat-saat seperti itu terlintas dalam pikiranku alangkah bahagia hatiku, bila ayah bunda tercinta adalah orang orang biasa yang tidak dikenal orang. Dengan demikian tidak ada nada beban kehormatan nama yang harus kutanggung seumur hidupku. Akan tetapi ternyata ini adalah kerinduan kepada sesuatu yang mustahil. Tidak banyak orang yang mengenal diriku. Seandainya pun kemudian ada orang yang bertemu denganku, lalu tiba tiba menjadi akrab,biasanya adalah orang-orang yang selalu mengawali perkenalannya dengan ucapan. “Aku kenal orang tuamu dengan baik”. Sebuah teguran yang sungguh sungguh membahagiakan, tapi sekaligus juga membuat perasaanku berdebar. Karena demikian, maka aku harus siap terlibat dalam pembicaraan mengenai orang tuaku.
Dapat disimpulkan dalam buku ini perjalanan singkat dari kanak- kanak hingga remaja Ki Hajar Dewantara. Dari mulai perselisihan tahta dan kekuasaan kekerabatan Pakualam pernah menjadi topik yang menonjol, yang menarik- nariknya saat masih menjadi “bocah ingusan” ke dalamnya. Akan tetapi arus zaman yang menjadi bagian dari masa pra-kebangunan nasional lebih kuat mendorong Ki Hajar Dewantara ke arah yang berbeda.
Dari peristiwa ini secara dini Ki Hajar Dewantara dipaksa untuk menyaksikan dan dipaksa untuk mengerti hakikat kolonialisme, dan hakekat dari penjajahan. Dengan kata lain ia dipaksa mengerti oleh keadaan betapa bangsanya sudah kehilangan kedaulatan kemerdekaan betapa keadilan dari peri kemanusiaan diinjak injak secara semena- mena.
Perjuangan Ki Hajar Dewantara untuk kemerdekaan bangsa, demokrasi, sosialisme, maupun humanism sesungguhnya bertumpu kepada asas kultural religius pula. Karena hatinya yang lembut, yang tidak tahan melihat penderitaan orang, maka ia ingin mengembalikan derajat manusia yang teraniaya kepada kedudukan yang seharusnya, sesuai dengan kehendak Allah (QS, 2;30).
Keyakinannya pada semua agama di dunia baik Kristen, Katholik, Budha, Hindu maupun Islam mengajarkan asas kasih sayang kepada sesama manusia yang terhormat pada tuhannya. Sebagai seorang yang terdidik dari kecil, dalam keimanan Islam, ia bertolak dari asas Tawakal kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kepada asas kasih sayang kepada sesama manusia. Berdasarkan keyakinan hidup ini, maka asas kasih saying benar benar mempunyai arti dan mempunyai tempat yang sangat berarti dalam hati Nurani Ki Hajar Dewantara.
Bila kita teliti secermat cermatnya ajaran Ki Hajar Dewantara mengenai asas kodrat alam, mengenai gerak setiap benda di alam semesta ini, kita akan menemukan pendiriannya yang jauh melambung sampai kehidupan alam semesta. Sesungguhnyalah sumber gerak evolusi seluruh alam semesta ini ialah kasih sayang illahi. Orang orang berpegang kepada prinsip ini seharusnya menjauhkan diri dari sifat- sifat iri hati, dendam dan dengki.
Pada tahun 1956 Universitas Gadjah Mada memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam ilmu kebudayaan kepada Ki Hajar Dewantara. Prof. Dr. Sajito, rector Universitas Gajah Mada dalam pidatonya mengantar pemberian gelar tersebut antara lain menyatakan: Ki Hajar Dewantara berjiwa perintis dalam 3 lapangan: Perintis kemerdekaan nasional, perintis pendidikan nasional, dan perintis kebudayaan nasional pada akhir kata- kata kami. Perlulah kami ulangi perumusan dasar pikiran bagi pemberian gelar Doktor Honoris Causa itu.
Tentang ajaran Ki Hajar Dewantara mengenai asas hidup merdeka berdasarkan tiga dalil yaitu, berdiri di atas kaki sendiri, tidak bergantung pada pihak lain, dapat mengatur hidupnya sendiri. Sementara disisi lain ditegaskan bahwasannya asas ini sesungguhnya bertumpu pada asas rasa tanggung jawab manusia terhadap tuhannya.
Dalam memperingati 100 tahun kehadiran Ki Hajar Dewantara, marilah kita ucapkan terima kasih kepada Tuhan yang telah berkenan memberikan manusia- manusia yang terbaik dari ciptaan-Nya dalam membangkitkan kembali bangsa kita di tengah-tengah masyarakat manusia sedunia.
Informasi Buku
Judul : 100 Tahun Ki Hajar Dewantara
Penulis : Bambang S Dewantara
Penerbit : Pustaka Kartini
Cetakan : PT Garuda Metropolitan Press. Jakarta
Tebal : 119 halaman
Kontributor: Saraswati Sapta, Semester V
Editor: Yayu