Perkembangan Mu’tazilah di Setiap Zaman dan Masuknya ke Indonesia

Perkembangan Mu’tazilah di Setiap Zaman dan Masuknya ke Indonesia

Ma’had Aly – Aliran ini didirikan oleh Wasil bin Atha (700-748 M), seorang teolog juga filsuf pada dinasti Umayyah. Aliran ini agak berbeda dari aliran Islam lainnya, pandangan teologisnya lebih rasional dan liberal. Pandangan-pandangan mereka lebih banyak ditunjang dengan dalil-dalil akal  dan juga lebih filosofis. Inilah mengapa mereka mempunyai doktrin 5 ajaran dasar atau yang biasa disebut al-Usul al-Khamsah: at-Tauhid, al- Adl, al-Wa’d Wa al-Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilatain, dan al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahy ‘an Munkar. 

Sejarah Nama Mu’tazilah dan Sejarah Awal Munculnya.

Pada dasarnya, asal mula nama Mu’tazilah ialah penerapan theory labelling dari Hasan Al Bashri kepada muridnya Wasil ibn Atha yang notabene keluar dari ajaran gurunya sendiri. Dikisahkan ada seseorang yang bertanya tentang derajat seorang pendosa di manakah tempat yang sesuai baginya, ketika Hasan Al-Bashri membutuhkan sedikit waktu menjawab pertanyaan tersebut. Lalu Wasil ibn Atha nyeletuk, bahwasanya tempat bagi seorang pendosa ada di tengah, di antara orang muslim dan orang kafir. Lantas  Hasan Al Bashri berpendapat bahwa orang yang berdosa itu statusnya masih tetap Muslim. Dan ketika Washil bin Atha membuat grup pengajian baru, Imam Hasan al-Bashri berkata kepada murid yang lainnya “Dia adalah seorang I’tizal” dengan maksud  keluar dari ajaran gurunya tersebut.

Padahal, Imam Hasan Al Bashri adalah seorang ulama terkemuka pada zamannya, beliau ahli dalam berbagai bidang keilmuan, terkenal dengan kezuhudannya, berguru dengan para sahabat nabi, bahkan pernah disusui oleh Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad saw. Namun beliau tetap berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan orang tersebut.

Justru yang dilakukan Washil bin Atha sangat bertolak belakang dengan apa yang disabdakan gurunya. Maka dari itu, Hasan al-Bashri menganggapnya telah keluar dari ajarannya dan hendak membuat ajaran lain.  Nama Mu’tazilah pun diambil para pengikutnya sebagai nama aliran mereka. 

Pada awal munculnya ajaran ini tidak begitu banyak diminati, maka dari itu sangat sedikit yang bersimpati mempelajari ajaran-ajaran yang cenderung rasional dan filosofis.

Khalifah Abbasiyah Al-Ma’mun

Dan sampai pada puncak kejayaan aliran tersebut pada masa kekhalifahan dinasti Abbasiyah ke tujuh yang dipimpin oleh al Ma’mun Abdullah Abul Abbas. Memang pada masa kekhalifahan tersebut, ilmu pengetahuan berkembang pesat dan disenangi para ilmuwan namun cacat di mata ulama, karena ada peristiwa Mihnah, di mana ada semacam tes sepemahaman dengan pemerintah, yang tidak sepemahaman akan dipersekusi dan ajaran yang dipakai kekhalifahan Al-Ma’mun tersebut adalah ajaran Mu’tazilah.

Al-Ma’mun mempunyai nama lengkap Al-Ma’mun Abdullah Abul Abbas bin Ar-Rasyid  (170-218 H). Ia tokoh Abbasiyah paling istimewa, sangat disayangkan dengan rekam jejaknya yang begitu gemilang sedikit tercemar karena pendapatnya tentang al-Qur’an adalah makhluk. Sejatinya tidak ada khalifah Bani Abbasiyah yang lebih cerdas dari dirinya. Ibnu Asakir juga meriwayatkan dari Muhammad bin Abdillah, ia berkata, ”Tidak ada seorang pun yang hafal al-Qur’an dari kalangan khalifah, kecuali Utsman bin Affan dan al-Ma’mun.”

Pengangkatan Al-Ma’mun menjadi khalifah terjadi ketika umur beliau masih cukup muda, yaitu 27 tahun. Bekal kecerdasannya dengan ilmu, hingga mampu membawa Islam pada masa gemilangnya (the golden age), melanjutkan jejak ayahnya Harun Al Rasyid. Ia sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan hingga dana riset yang diberikan Al-Ma’mun kepada Bait al-Hikmah (perpustakaan Negara dan pusat kajian pada saat itu) dua kali lebih besar daripada dana riset Medical Research Centre di Inggris saat ini.

Dengan kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan pada saat itu, banyak pakar-pakar dari berbagai bidang ilmu lahir kembali dan lebih giat dalam melakukan riset. Akan tetapi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa khalifah Al-Ma’mun pada saat itu cenderung menganut ajaran Mu’tazilah, lalu Imam Suyuthi berpendapat bahwa Al-Ma’mun menganut ajaran Syi’ah. Inilah penyebab tidak tersistemnya kekhalifahan tersebut, salah satunya juga karena adanya mihnah.

William L. Langer, sejarawan terkenal kelas dunia menorehkan catatan  keberhasilan yang dicapai oleh Khalifah al-Ma’mun dan mazhab wajib kenegaraannya: 

“His reign probably the most glorious epoch in the history of the caliphate. The art and sciences were liberally endowed. Two observatories were built, one near Damascus, the other near Baghdad. A House of Knowledge, provided with a Rich library, was created near the Baghdad Observatory. Literary scientific, and philosophical works were translated from Greek, Syriac, Persian, and Sanskrit. A liberal religious attitude adopted. Mu’tazilism became the established faith.” 

(Masa pemerintahannya boleh jadi merupakan zaman paling gemilang sepanjang sejarah khilafat. Kesenian dan sains dibantu pengembangannya dengan dana yang melimpah. Dua observatorium dibangun, satu dekat Damaskus, satu dekat Baghdad. Baitul Hikmah, dilengkapi dengan perpustakaan yang kaya koleksi buku-buku, dibangun dekat observatorium Baghdad. Karya-karya sastra, ilmiah dan filsafat diterjemahkan dari bahasa Yunani, Siryani, Persia, dan Sansekerta. Paham keagamaan liberal diberlakukan. Paham Mu’tazilah menjadi paham kenegaraan”

Masuknya ke Indonesia

Dalam perbincangan M. Baharudin dengan Harun Nasution (21 September 1988), seorang yang mengklaim dirinya Neo-Mu’tazilah. M. Baharudin menegaskan bahwasanya di Indonesia sudah tidak ada penganut paham Mu’tazilah, hal ini mengacu kepada perkataan Harun Nasution bahwa tidak bisa menjadi penganut paham Mu’tazilah jikalau tidak bisa memenuhi Al-Ushul Al-Khamsah yaitu: at-Tauhid, al- Adl, al-Wa’d Wa al-Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilatain, dan  al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahy ‘an Munkar.

Belum tentu ajaran dasar yang dibawa Mu’tazilah ini cocok untuk dianut di Indonesia, tetapi cara berpikir Mu’tazilah secara rasional cocok untuk direalisasikan di Indonesia. Layaknya di Indonesia mempunya 5 sila dasar, jika salah satu dari sila tersebut tidak terpatri dalam diri maka tidak bisa disebut sebagai pancasilais. Begitu pula Mu’tazilah, jika salah satu dari Al-Ushul Al-Khamsah tidak dijalani maka tidak bisa disebut Mu’tazilah.

Jadi yang dibutuhkan Indonesia hanya cara pemikiran rasionalnya saja, bukan Mu’tazilahnya. Harun Nasution mengatakan, “Indonesia tidak maju karena tidak rasional dalam ilmu ketuhanan. Umat terdahulu maju karena ilmu ketuhanannya mudah dipahami, juga Eropa sekarang maju karena rasional dalam berpikir”, dalam tulisan lain dikutip oleh Suminto bahwa Harun Nasution berkata “Harapanku cuma satu. Pemikiran Asy’ariyah mesti diganti oleh pemikiran rasional Mu’tazilah, pemikiran para filosof atau pemikiran rasional.”

Waallahu’alam

 

Referensi

Imam as-Suyuthi, Tarikh Khulafa, Jakarta: Qisthi Press

Ichtiar Baru van Hoeve, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve

Harun Nasution, Teologi islam, Jakarta: UI Press

Faisal Ismail, Sejarah & Kebudayaan Islam, Yogyakarta: IRCiSo)

Departemen Agama RI. 2012, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Al-Mizan Publishing House.

Al-Imam Abi Husein Muslim ibn Al Hajjaj. Sohih Muslim. Madinah: Daar El-Hadiits.

https://www.kompasiana.com/muhammad10511/5bb2f273677ffb3d9b7977a7/lebih-memahami-tentang-aliran-mu-tazilah

https://geotimes.co.id/kolom/politik/khalifah-al-makmun-disenangi-ilmuwan-dijauhi-ulama/

 Oleh : Zindany A.R. Zoelfa, Semester III

Leave a Reply