ArtikelSejarah

Perang Ajnadayn: Pertemuan Yang Menggetarkan Dua Dunia

MAHADALYJAKARTA.COM—Tahun 634 Masehi menjadi saksi dari salah satu pertempuran paling menentukan dalam sejarah awal Islam. Di sebuah hamparan padang pasir di Syam, dua kekuatan besar bertemu. Pertempuran itu adalah Perang Ajnadayn perang besar pertama antara kaum Muslimin dan Romawi yang membuka pintu menuju penaklukan Syam. Perang ini bukan hanya soal keunggulan senjata, tetapi soal visi, keberanian, dan keyakinan.

Pada suatu masa ketika gurun masih menjadi saksi bisu atas perjalanan para penakluk dan doa‐doa para syuhada, dunia tengah mengalami pergeseran kekuatan. Dua raksasa dunia, yaitu Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) dan kekuatan baru kaum Muslim di bawah panji Islam, berdiri berhadapan di sebuah arena peperangan yang kelak mengguncang sejarah.

Awal Mula Konfik 

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kepemimpinan umat Islam berpindah kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq. Pada masa itu, Islam belum menjadi kekuatan besar seperti yang dikenal dunia sekarang. Negeri‐negeri di sekitarnya memandang kaum Muslim sebagai suku Arab gersang yang tidak memiliki kekuatan selain iman dan tekad

Situasi berubah ketika Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) memperluas kekuasaannya di wilayah Syam. Mereka menindas penduduk lokal dengan memungut pajak yang sangat berat, membatasi kebebasan beragama, dan memperlakukan rakyat dengan keras. Kondisi ini menciptakan keresahan dan penderitaan bagi masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut.

Sementara itu, misi Islam adalah menegakkan keadilan, menghapus penindasan, dan menjunjung tinggi kebebasan keyakinan. Oleh karena itu, Khalifah Abu Bakar mengambil keputusan strategis dengan mengirimkan pasukan besar untuk menghadapi kekuatan Romawi. Pasukan ini dipimpin oleh para panglima terbaik, yaitu Khalid bin Al-Walid, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, Amr bin Al-Ash, Yazid bin Abi Sufyan, dan Syurahbil bin Hasanah.

Pertemuan Dua Kekuatan

Lokasi yang dipilih menjadi medan tempur adalah Ajnadayn, sebuah daerah di wilayah Syam antara Ramla dan Beit Guvrin (Palestina). Di tempat itulah terjadinya perperangan yang sangat dahsyat dan takdir yang akan menggetarkan dua dunia.

Pertempuran terjadi sekitar bulan Juli atau Agustus 634 Masehi (13 H). Ketika itu Kaisar Heraclius memerintahkan persiapan agar pasukan Romawi dikumpulkan dari seluruh wilayah Syam, Palestina, bahkan Armenia. Dalam beberapa catatan sejarah, jumlah mereka mencapai 90.000-100.000 tentara lengkap dengan perlengkapan baja (baju  besi), kuda tempur, dan pengalaman perang yang tidak boleh diremehkan.

Pasukan Muslim yang berjumlah kurang lebih 30.000 orang berkumpul dalam formasi yang rapi, teratur, dan penuh keyakinan. Mereka tidak memiliki perlengkapan perang seberat dan semewah pasukan Romawi. Persenjataan mereka sederhana, logistik terbatas, serta pengalaman mereka dalam peperangan besar tidak sebanding dengan tentara kekaisaran. Namun, mereka memiliki kekuatan utama yang tidak dimiliki lawan, yaitu keimanan yang kuat, kehidupan sederhana, serta tujuan yang jelas dalam berjuang.

Di hadapan mereka berdiri pasukan Romawi dengan barisan yang megah dan berkilau. Perisai-perisai perunggu mereka memantulkan cahaya matahari, bendera kekaisaran menjulang tinggi, dan suara derap kuda terdengar menggelegar bagaikan guntur di padang luas. Keheningan pecah ketika Khalid bin Al-Walid, panglima perang kaum Muslimin, berdiri di depan pasukan dan menyampaikan seruan penuh keyakinan. Seruan tersebut disambut dengan takbir yang menggema di seluruh medan: “Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Pasukan Romawi semula menganggap teriakan itu hanya suara barbar padang pasir. Mereka tidak menyadari bahwa gema tersebut akan menjadi awal dari perubahan besar yang kelak mengubah sejarah dunia.

Detik-Detik Perperangan Dimulai

Pasukan Romawi memulai serangan pertama dengan meluncurkan barisan panah dan tombak dari jarak jauh. Ribuan anak panah melesat di udara seperti awan hitam yang menutupi cahaya matahari. Serangan tersebut menimbulkan banyak korban di pihak kaum Muslimin, namun barisan mereka tetap terjaga dan tidak goyah. Tidak lama kemudian, kavaleri Bizantium bergerak maju untuk menyerang secara langsung. Bentrokan dahsyat pun terjadi. Pedang saling beradu, debu perang memenuhi udara, dan suara teriakan kesakitan bercampur dengan takbir serta seruan peperangan.

Khalid bin Al-Walid, sebagai panglima utama, memimpin pasukan berkuda untuk menyerang sayap kanan pasukan Romawi, memecah formasi mereka bagaikan badai yang menerjang padang luas. Pada saat yang sama, Amr bin Al-Ash memimpin serangan dari arah kiri untuk menahan kemajuan pasukan berat Bizantium, sehingga strategi pengepungan terbentuk di tengah medan pertempuran. Di tengah situasi yang sangat sengit, para sahabat Rasulullah menunjukkan keberanian luar biasa. Di antaranya adalah Al-Qa‘qa‘ bin Amr At-Tamimi, seorang ksatria terkenal yang maju menerobos barisan musuh seorang diri sambil menyemangati pasukan Muslim dengan seruan:

“Aku mencium bau surga di Ajnadayn ini!”

Semangat juang para prajurit semakin membara. Darah para syuhada membasahi tanah, namun api keimanan tidak pernah padam. Mereka terus bertahan dengan tekad bulat, meyakini bahwa perjuangan mereka adalah demi keadilan dan keridhaan Allah.

Strategi Cerdas Khalid bin Walid

Ketika pertempuran mencapai puncaknya, pasukan Romawi berusaha melakukan pengepungan dengan mengerahkan barisan infanteri berat untuk menekan pasukan Muslim dari berbagai arah. Menyadari bahaya yang mengancam, Khalid bin Al-Walid segera mengambil langkah taktis yang cepat dan tepat. Ia memerintahkan pasukan berkuda cadangan untuk melakukan serangan langsung ke pusat formasi Romawi, bagaikan tombak yang diarahkan untuk menusuk jantung pertahanan musuh.

Serangan mendadak tersebut berhasil memecah konsentrasi dan komposisi pertahanan Romawi. Barisan mereka mulai kehilangan keseimbangan dan terpecah belah. Heraclius, penguasa Bizantium yang menyaksikan jalannya pertempuran dari kejauhan, memahami bahwa situasi telah memasuki tahap kritis bagi pasukannya. Untuk meningkatkan semangat dan moral pasukan Muslim sekaligus melemahkan mental lawan, Khalid kemudian memerintahkan serangan penentu dengan seruan lantang: 

“Majulah! Jangan biarkan musuh bernafas! Majulah menuju kemenangan atau syahid!”

Seruan tersebut membangkitkan semangat juang luar biasa. Pasukan Muslim bergerak maju laksana badai pasir yang melanda padang, menghancurkan pertahanan musuh dengan kekuatan penuh. Barisan Romawi runtuh satu demi satu, banyak komandan mereka gugur di medan tempur, sebagian besar pasukan melarikan diri, dan sisanya tewas dalam kekalahan yang memilukan.

Gema Kemenangan

Kemenangan kaum Muslim dalam Perang Ajnadayn bukan sekadar kemenangan dalam aspek militer. Keberhasilan ini menjadi gerbang strategis yang membuka jalan menuju penaklukan wilayah-wilayah penting di Syam dan Palestina. Setelah pertempuran tersebut, sejumlah kota besar secara bertahap jatuh ke tangan kaum Muslimin, termasuk Lazikiyah, Qinnasrin, Damaskus, hingga akhirnya Baitul Maqdis.

Di ibu kota kekaisaran, Kaisar Heraclius yang menyadari besarnya kekalahan Bizantium hanya mampu melontarkan ungkapan penuh kesedihan:

“Selamat tinggal, Suriah yang indah. Kekuasaan Romawi tidak akan kembali lagi ke sini.”

Bagi kaum Muslim, kemenangan ini bukanlah upaya menaklukkan wilayah demi perluasan kekuasaan. Sebaliknya, kemenangan tersebut merupakan wujud usaha untuk menghapus penindasan, menegakkan keadilan, dan membuka jalan bagi tersebarnya kebenaran serta hidayah. Sebagai ungkapan syukur atas pertolongan Allah, pasukan Muslim melakukan sujud syukur di tengah medan yang masih dipenuhi sisa-sisa pertempuran. 

Perang Ajnadayn merupakan titik awal dari perubahan besar dalam sejarah dunia. Pertempuran ini bukan sekadar konflik fisik antara pedang dan tombak, tetapi merupakan pertarungan nilai dan prinsip, yaitu antara kekuasaan yang menindas dan keadilan yang membebaskan, antara kesombongan imperial dan keimanan yang tulus. Peristiwa ini memberikan pelajaran berharga bahwa apabila manusia memiliki tujuan yang mulia, keberanian, serta keyakinan yang kokoh, maka tidak ada batas bagi apa yang dapat dicapai. Bahkan tantangan yang tampak mustahil pun dapat ditaklukkan. 

Dari hamparan gurun yang sunyi, dari sebuah umat yang kecil dan sederhana, bangkitlah satu peradaban yang kelak menjadi pelita bagi dunia, membawa cahaya ilmu, moralitas, dan keadilan yang memengaruhi sejarah umat manusia hingga berabad-abad kemudian. 

Referensi

Akram, A. I. 2009. Sword of Allah: Khalid Bin Al-Waleed, His Life and Campaigns. New Delhi: Adam Publishers.

Bermana, S., L.Y. Prakoso, dan  E. D. I. Rosyida. 2024. “The Birth of the Modern Era: An Analysis of the Conquest of Byzantium”. Indones J Interdiscip Res Sci Technol, Vol. 2, No. 2

Harsono, Y. t.t. Sejarah Penaklukan-Penaklukan Muslim yang Mengubah Wajah Dunia. Yogyakarta: Diva Press.

Mazor, A. 2008. “The Kitāb futūḥ al-Shām of al-Qudāmi as a Case Study for the Transmission of Traditions About the Conquest of Syria”. Der Islam, Vol. 84, No. 1.

Tawfiq, Muhammad Thabet. t.t. The Battle of Ajnadayn and the Conquest of Jerusalem (The Islamic Conquests Series; 7). Kairo: Dar al-Fajr

 

Kontributor: Raden Adjie

Editor: Winda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *