Pangeran Diponegoro (1785-1855 M)

Pangeran Diponegoro (1785-1855 M)

Ma’had Aly – Kemunduran keraton Yogyakarta di masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono II menjadikan banyak terjadinya perubahan yang cukup signifikan terhadap budaya dan sistem politik pemerintahan di Jawa. Setelah wafatnya Sultan Hamengkuwono I, keraton Yogyakarta mengalami banyak permasalahan sosial terutama akibat adanya campur tangan Belanda dalam tatanan pemerintahan. Kasusnya terdapat ketika Sultan hamengkubuwono II mengganti pejabat yang lama dengan opsi pejabat yang ia senangi, seperti pergantian Patih Danuredja I dengan Danuredja II yang mengakibatkan pertikaian di keraton dengan Pangeran Natakusuma yang memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam pemerintahan.

Pada awal Januari 1811, Belanda kemudian mengangkat Pangeran Adipati Anom, yang bergelar Sultan Hamengkubuwono III untuk menggantikan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono II setelah dipaksa turun takhta oleh Gubernur Jenderal Daendels. Namun, ketika memasuki masa pemerintahan Inggris di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal Raffles, Hamengkubuwono II kembali diangkat kedudukannya sebagai penguasa atas Keraton Yogyakarta, walaupun pada akhirnya ia kembali dilengserkan dan diasingkan ke luar negeri.

Setelah adanya tindakan campur tangan para kolonial ini, menjadikan salah satu dari putera Sultan Hamengkubuwono III keluar dari lingkungan keraton Yogyakarta dan memulai misi untuk menyerang Belanda bersama kaum pribumi yang tertindas. Sosok pejuang rakyat ini dikenal dengan nama Pangeran Diponegoro.

Pangeran Diponegoro adalah salah seorang pangeran Kesultanan Yogyakarta yang menjadi seorang pejuang yang memimpin dalam peperangan melawan Kolonial Belanda di Indonesia pada abad ke 19 M. Ia lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785 M. Saat kecil, ia diberi nama Raden Mas Ontowiryo. Ia merupakan putra sulung dari pasangan Sultan Hamengkubuwono III (memerintah 1810-1814 M) dan R.A. Mangkarawati. Ibunya bukan merupakan keturunan bangsawan karena ibunya adalah anak dari seorang Kyai yang berasal dari Desa Tembayat, yang berada di sebelah selatan Yogyakarta. 

Semasa kecil, ia diasuh oleh kakek dan nenek buyutnya, Sultan Hamengkubuwono I (memerintah 1755-1792 M) dan permaisurinya, Ratu Ageng dilingkungan Keraton Yogyakarta. Setelah Sultan Hamengkubuwono I wafat, pemerintahan Keraton digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Hamengkubuwono II (memerintah 1792-1810 M). Kemudian, Ratu Ageng membawa Diponegoro ke Tegalrejo, Magelang dan hidup bersama dengan rakyat biasa. Di sana terdapat tanah persawahan dan perkebunan yang luas milik Ratu Ageng. Kemudian dibangunlah masjid dan surau untuk kegiatan ibadah dan belajar agama mereka. Di tempat inilah, Diponegoro mendalami ilmu agamanya. Dia berguru pada banyak ulama, salah satunya yaitu Kyai Taftajani yang berasal dari Sumatra.

Ketaatannya kepada agama Islam menjadikan dirinya biasa bergaul dengan para ulama dan gemar mendalami ilmu tauhid, tasawuf dan fiqih. Ia enggan muncul di lingkungan keraton, terkecuali apabila ada acara Gerebeg Maulid. Dikarenakan dia menilai keraton telah dipenuhi intrik-intrik Belanda dan juga telah terpengaruh dengan budaya Barat yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Setelah Ratu Ageng meninggal, Diponegoro tetap tinggal di Tegalrejo hingga terjadinya Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830 M). Perang ini adalah perang yang terjadi antara rakyat melawan penjajah Belanda yang berusaha menanamkan pengaruh di tanah Jawa. Penetrasi yang kuat oleh Belanda mengakibatkan beban penindasan yang semakin besar terhadap rakyat. Belanda yang semakin kuat kemudian berusaha mengubah segala tatanan hukum dan sosial di masyarakat.

Sebagaimana telah kita ketahui, Perang Diponegoro disebabkan oleh hubungan yang tidak baik antara masyarakat pribumi dengan kolonial Belanda. Sebagaimana surat pernyataan Pangeran Diponegoro yang ditujukan pada Jenderal de Kock yang berisi;

“Dhateng ingkang saudara Jenderal de Kock ri sampunnya Tabe kawula punika Dene jengandika tanya Menggah karsane ki Harya Estu yen darbe karsa Rumiyin lan sapunika Nging luhuring agama ing Tanah Jawi sadaya Kalamun estu andika Tan makewedi punika Mring agamane akarya Islame ing Tanah Jawa pan inggih purun ki Harya Dhame lawan jengandika nanging anedha pratandha.”

“Kepada Jenderal de Kock, Saya mohon maaf jika anda bertanya apa keinginan Aryo (Diponegoro), sungguh bila punya keinginan hanya untuk meninggikan agama di seluruh tanah Jawa. Jika anda benar-benar tidak membuat kesulitan kepada agama Islam di tanah Jawa, maka Aryo bersedia berdamai dengan anda, tetapi meminta bukti.”

Dalam Babad Diponegoro, perang ini juga dinamakan sebagai Perang Sabil, karena perang ini untuk melawan orang kafir. Sebab ini juga yang menjadi konsep yang melandasi perjuangan Diponegoro dan para pengikutnya sehingga ia mendapat gelar sebagai Ratu Paneteg Panatagama yang artinya adalah “Pemimpin Agama di Tanah Jawa”.

Dalam perang ini, Diponegoro memimpin pasukan perang dengan menggunakan teknik gerilya, maksudnya yaitu perang yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan mengandalkan kecepatan. Mereka menyebar di sekitar daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Ia dibantu oleh sejumlah besar ulama, di antaranya adalah Kyai Mojo dan Sentot Ali Basyah Prawirodirjo yang menjadi panglima perang. Wilayah Bagelen (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Purworejo, Kebumen dan sebagian Wonosobo) menjadi sumber kekuatan mayoritas pasukan Diponegoro. Pangeran Diponegoro mendapat pengaruh yang kuat dan dukungan yang luas dari masyarakat, sehingga menjadikan daerah ini bergejolak dan sering terjadi penyusupan untuk bergabung dengan pasukan Diponegoro. 

Pangeran Diponegoro melawan kolonial Belanda berangsur selama kurang lebih lima tahun. Perjuangan mereka berhasil menggoyahkan sendi-sendi kekuasaan kolonial Belanda. Kenyataan itu mengejutkan pihak Belanda sehingga mereka memulai kembali cara yang mungkin dapat mematahkan semangat juang mereka, baik dengan cara kekerasan dan adu senjata atau janji manis seperti perjanjian. Akan tetapi semua usaha itu tidak berhasil.

Pada akhir tahun 1829 M, panglima tentara Belanda, Jenderal Hendrik Merkus Baron de Kock, menjalankan siasat perbentengan. Usaha ini berhasil sehingga dapat meredam perlawanan Diponegoro. Kemudian, Jenderal de Kock mengajak Diponegoro untuk mengadakan perundingan perdamaian di Magelang yang diterima dengan baik oleh Diponegoro. Tetapi, pada tanggal 28 Maret 1830 M, ia ditangkap dan diperlakukan layaknya tawanan perang. Kemudian, ia bersama istri, anak-anak dan pengawalnya diasingkan ke Manado. Tiga tahun kemudian ia dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Makasar dan meninggal pada tahun 1855 M. 

Selain itu, ia juga memiliki ideologi untuk mendirikan negara yang adil berdasarkan agama Islam. Ia juga menunjukkan nilai-nilai universal Islam sebagai sebuah agama namun tetap mengakui peran agama-agama dan sistem kepercayaan yang lain. Pendidikannya mampu diterima di berbagai komunitas yang terlibat dalam perdagangan jarak jauh (termasuk Arab dan China).

 

 

Referensi

Azyumardi Azra, 2001, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve

Peter Carey, 1986, Asal Usul Perang Jawa: Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh, Jakarta: Pustaka Azet

Ambaristi Lasman Marduwiyota, 1983, Babad Pangeran Dipanegara, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Radix Penaldi, 2000, Riwayat Kota Purworejo dan Perang Baratayudha di Tanah Bagelen Abad XIX, Purworejo: Lembaga Studi dan Pengembangan Budaya

Muhammad Yamin, 1952, Sedjarah Peperangan Dipanegara, Jakarta: Yayasan Pembangunan

Oleh : Ma’mun Fuadi, Semester VI

Leave a Reply