Masjid Tua Katangka: Simbol Kebangkitan Islam di Sulawesi Selatan
MAHADALYJAKARTA.COM– Masjid Tua Katangka terletak di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, dan merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia. Didirikan pada tahun 1603 oleh Sultan Alauddin, Masjid bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat penyebaran islam dan simbol kekuatan budaya lokal.
Sejarah Masjid Tua Katangka
Masjid Tua Katangka dibangun pada masa awal penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, setelah Sultan Alauddin Gowa pertama kali memeluk agama Islam. Pada masa itu, Islam mulai diterima dan berkembang pesat di wilayah Gowa, berkat upaya para ulama dan tokoh masyarakat yang mengajarkan ajaran islam kepada penduduk lokal. Sultan Alauddin berperan penting dalam proses ini, memfasilitasi pembangunan masjid sebagai pusat kegiatan keagamaan dan pendidikan.
Masjid ini dibangun menggunakan bahan-bahan lokal, mencerminkan adaptasi arsitektur Islam terhadap lingkungan setempat. Struktur masjid awalnya terbuat dari kayu, dan seiring berjalannya waktu, dilakukan beberapa renovasi dan perbaikan untuk menjaga keaslian dan fungsinya. Masjid Tua Katangka tetap menjadi tempat ibadah yang aktif hingga hari ini, menyaksikan berbagai perubahan sosial dan politik di sekitar Gowa.
Selam masa penjajahan Belanda, masjid ini juga berfungsi sebagai tempat pertemuan bagi para pemimpin lokal yang ingin mempertahankan identitas dan kedaulatan kerajaan Gowa. Dalam konteks ini, Masjid Tua Katangka bukan hanya menjadi simbol spiritual, tetapi juga simbol perlawanan terhadap penjajahan. Keterlibatan masjid ini dalam berbagai peristiwa sejarah membuatnya memiliki nilai penting dalam narasi sejarah Sulawesi Selatan.
Arsitektur Masjid Tua Katangka
Masjid Tua Katangka adalah contoh luar biasa dari seni arsitektur islam yang dipengaruhi oleh tradisi lokal. Beberapa elemen desain yang menonjol dalam masjid ini mencerminkan perpaduan antara nilai-nilai Islam dan budaya lokal.
- Material dan konstruksi
Salah satu ciri khas dari Masjid Tua Katangka adalah penggunaan kayu uli (kayu besi) sebagai bahan utama konstruksi. Kayu ini terkenal karena ketahanannya terhadap cuaca lembab dan serangan hama. Pemilihan kayu uli bukan hanya berdasarkan fungsionalitas, tetapi juga berkaitan dengan simbolis yang dimilikinya dalam budaya setempat.Dalam konteks arsitektur Islam, penggunaan material lokal menunjukkan bagaimana agama ini dapat beradaptasi dengan lingkungan dan tradisi yang ada.
Kayu uli digunakan dalam tiang-tiang penopang masjid, menciptakan struktur yang kokoh namun tetap elegan. Keberadaan kayu sebagai material utama juga menambahkan kehangatan dan kedekatan dengan alam, yang merupakan aspek penting dalam pemikiran islam.
- Atap Tumpang Tiga
Salah satu fitur paling mencolok dari Masjid Tua Katangka adalah atap tumpang tiga. Desain atap ini terdiri dari tiga lapisan yang semakin menyempit di bagian atas, memberikan kesan megah dan menjulang tinggi ke langit. Atap tumpang tiga tidak hanya berfungsi secara estetis, tetapi juga memiliki makna simbolis yang dalam.
Dalam tradisi Islam, bentuk atap yang menjulang tinggi sering kali diartikan sebagai simbol hubungan antara bumi dan langit, manusia dan Tuhan. Struktur ini mencerminkan aspirasi spiritual umat umat Muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah. Di sisi lain, desain atap ini juga mengikuti tradisi arsitektur rumah adat Bugis-Makassar, menunjukkan bagaimana arsitektur Islam di Nusantara mengadopsi elemen lokal dan beradaptasi dengan kondisi geografis.
- Soko Guru dan Pilar Keimanan
Masjid Tua Katangka memiliki empat soko guru atau tiang penopang utama yang terletak di tengah ruangan. Tiang-tiang ini merupakan elemen penting dalam arsitektur masjid, tidak hanya secara struktural tetapi juga simbolis. Dalam konteks Islam soko guru dapat dilihat sebagai representasi kekuatan iman yang menopang kehidupan umat Muslim.
Material kayu uli yang digunakan pada suku guru menambah kesan ketahanan dan kekokohan. Secara visual, soko guru menciptakan keseimbangan dalam desain interior masjid, menciptakan ruang yang nyaman bagi jamaah untuk beribadah. Konsep soko guru juga menunjukkan bagaimana arsitektur Masjid dapat berfungsi sebagai simbol spiritual yang menghubungkan umat dengan Tuhan.
- Mihrab: Simbol Orientasi dan Spiritualitas
Mihrab Masjid Tua Katangka Adalah ceruk yang menunjukkan arah kiblat, tempat dimana imam memimpin salat. Desain mihrab ini sederhana, tanpa ornamen yang berlebihan, mencerminkan prinsip kesederhanaan dalam ajaran Islam. Dalam banyak masjid, masjid seringkali dihias secara rumit, tetapi di Katangka, kesederhanaan justru menjadi kekuatan tersendiri.
Keberadaan mihrab tidak hanya berfungsi sebagai penunjuk arah, tetapi juga sebagai penunjuk arah, tetapi juga sebagai pengingat bagi jamaah akan tujuan spiritual mereka. Dalam Islam kesederhanaan adalah prinsip yang sangat dijunjung tinggi, dan mihrab yang sederhana di Masjid Tua Katangka mencerminkan esensi ketuhanan tanpa mengandalkan ornamen yang megah.
Peran Masjid Tua Katangka dalam Sejarah Kebangkitan Islam
Masjid Tua Katangka juga memiliki posisi penting dalam sejarah kebangkitan Islam di Sulawesi Selatan. Sejak dibangun pada abad ke-17, masjid ini menjadi pusat penyebaran ajaran islam di wilayah Gowa dan sekitarnya. Melalui kegiatan dakwah yang dilakukan oleh para ulama, masyarakat mulai menerima dan mengamalkan ajaran Islam. Hal ini menunjukkan bahwa masjid bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai lembaga pendidikan yang mendukung proses pembelajaran dan pemahaman tentang agama.
Di masa lalu, masjid ini juga berfungsi sebagai tempat pertemuan bagi para pemimpin lokal untuk membahas isu-isu sosial dan politik yang penting bagi masyarakat. Peran ini menunjukkan bahwa Masjid Tua Katangka bukan hanya berkaitan dengan aspek spiritual, tetapi juga dengan dinamika sosial dan politik di daerah tersebut. Dengan demikian, masjid ini memiliki peran ganda sebagai tempat ibadah dan ruang diskusi yang menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat.
Kontribusi dalam Bentuk Identitas Lokal
Sebagai salah satu bangunan bersejarah di Sulawesi Selatan, Masjid Tua Katangka memiliki kontribusi yang signifikan dalam pembentukan identitas lokal. Arsitektur dan desain masjid mencerminkan perpaduan dan antara budaya lokal dan ajaran Islam, menciptakan identitas yang unik bagi masyarakat Gowa. Dalam konteks ini, masjid bukan hanya menjadi simbol spiritual, tetapi juga simbol budaya yang mencerminkan kekayaan tradisional lokal.
Identitas lokal yang terbangun melalui Masjid Tua Katangka dapat dilihat dari cara masyarakat memaknai ruang ibadah ini. Masjid bukan hanya tempat berdoa, tetapi juga tempat berkumpul, berdiskusi, dan merayakan tradisi. Melalui aktivitas-aktivitas ini, masyarakat Gowa dapat mempertahankan dan merayakan identitas budaya mereka meskipun dalam era modern yang penuh dengan tantangan.
Kesimpulan
Masjid Tua Katangka adalah warisan berharga yang mencerminkan sejarah, seni, dan arsitektur Islam di Sulawesi Selatan. Dengan keindahan desain dan makna yang terkandung di dalamnya, masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pendidikan, sosial, dan budaya. Pelestarian masjid ini penting untuk menjaga warisan budaya dan spiritual yang menjadi bagian dari identitas masyarakat Muslim di Gowa.
Melalui pemahaman yang mendalam tentang sejarah dan seni arsitektur Masjid Tua Katangka, kita dapat menghargai kekayaan budaya dan spiritual yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, penting bagi generasi mendatang untuk terus merawat dan melestarikan masjid ini agar nilai- nilai yang terkandung di dalamnya tetap hidup dan relevan dalam konteks masyarakat modern.
Referensi
Ambary, Hasan Muarif. 1988. Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Damayanti, Eka. 2019. “Masjid Tua Al Hilal Katangka sebagai Pusat Pengembangan Islam di Gowa Abad XVIII.” Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Faisal, Muh. 2011. “Masjid Tua Katangka Syekh Yusuf: Sinkretisme Simbolik Visual.” Jurnal Harmoni 1.
Irsyad, Muhammad Ilham. “Akulturasi Budaya dalam Arsitektur Masjid Tua Al-Hilal Katangka.” El-Fata: Jurnal Ekonomi Syariah dan Pendidikan Islam 2 (2020).
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya. Jakarta: Penerbit LKiS.
Mahusfah, Ilmanda Tegar. 2020. “Identifikasi Wujud Akulturasi Budaya Terhadap Arsitektur Masjid Al-Hilal Tua Katangka.” TIMPALAJA : Architecture student Journals 1.
Nur Ali, St. Maisyah. 2023. “Historitas Masjid Tua Al-Hilal Katangka di Kabupaten Gowa (Studi Sejarah Peradaban dan Pendidikan Islam).” of Sharia Economics and Islamic Education 2.
Yulika, Febri. 2016. Jejak Seni Dalam Sejarah Islam. Padangpanjang: ISI Padangpanjang.
Zein, Abdul Baqir. 1999. Masjid-masjid bersejarah di Indonesia. Jakarta: Gema Insani.
Kontributor: Cantika, Semester IV