Kisah Hidup Thalhah bin Ubaidillah, Sahabat yang Dijamin Masuk Surga
MAHADALYJAKARTA.COM—Thalhah bin Ubaidillah adalah salah seorang sahabat Nabi yang berasal dari suku Quraisy. Nama lengkapnya ialah Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Thalhah lahir di Makkah pada tahun 594 Masehi.
Thalhah bin Ubaidillah berasal dari keluarga kaya. Ayahnya bernama Ubaidillah, seorang pemuka Quraisy yang memiliki kedudukan tinggi di Makkah. Ibunya bernama Sha’bah binti Abdullah bin Wahab. Wahab dikenal sebagai salah satu tokoh yang tersohor karena kedermawanannya.
Dari kedua orang tuanya, Thalhah bin Ubaidillah belajar tentang sifat-sifat terpuji dan akhlak yang mulia. Thalhah tumbuh menjadi seorang yang cerdas dan gemar berkelana. Sebagai anak asli Makkah, ia hafal seluruh bukit dan lembah di sekitarnya. Setiap jengkal tanah telah dijelajahinya, bahkan ia sering berpindah-pindah tempat untuk berlatih menggunakan tombak dan memanah.
Walaupun Thalhah tidak sepopuler Abu Bakar, Utsman, Umar, atau Ali, namun ia termasuk ke dalam sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga.
Awal Mula Thalhah Masuk Islam
Di tengah kesibukannya berdagang, Thalhah sering merasa ada sesuatu yang menggelayut di pikirannya. Kehidupan Makkah yang keras tampak semakin gelap dan penuh dengan kezaliman, terutama akibat keserakahan para pengusaha kaya. Dunia perdagangan pun dipenuhi dengan berbagai kecurangan dan kerusakan, kecuali segelintir orang seperti Abu Bakar dan Utsman, yang merupakan rekan bisnisnya.
Dalam kondisi itulah muncul secercah cahaya di hati Thalhah. Harapan besar terbit ketika ia mendengar ucapan Abu Bakar yang berkata bahwa Nabi terakhir telah datang, Rasulullah telah menerima wahyu pertama dan mulai menyebarkan agama yang dapat menyelamatkan umat manusia.
Ketika Thalhah berada di Bushra, seorang pendeta berseru-seru mencari penduduk yang berasal dari Makkah. Saat mengetahui bahwa Thalhah berasal dari Makkah, pendeta itu berkata bahwa akan datang seseorang bernama Ahmad atau Muhammad, yang akan menjadi nabi dan penutup para nabi.
Tanpa berpikir panjang, Thalhah segera pulang ke Makkah tanpa menghiraukan kafilah dagang yang bersamanya di Bushra. Setibanya di rumah, ia bertanya kepada keluarganya apakah ada sesuatu yang terjadi selama ia pergi. Keluarganya menjawab bahwa ada seseorang bernama Muhammad yang datang mencarinya dan mengatakan bahwa dirinya adalah Nabi akhir zaman, dan Abu Bakar Ash-Shiddiq pun telah mempercayainya.
Thalhah terkejut. Ia tahu betul siapa Abu Bakar — seorang lelaki yang penyayang, lembut, jujur, dan berbudi tinggi. Karena mereka telah lama bersahabat, Thalhah pun segera menemui Abu Bakar untuk menanyakan kebenaran berita itu.
Abu Bakar membenarkan apa yang didengarnya. Ia kemudian menceritakan kepada Thalhah tentang Rasulullah, mulai dari peristiwa di Gua Hira hingga turunnya wahyu pertama. Setelah mendengarkan kisah itu, Thalhah pun menceritakan pengalamannya bertemu pendeta di Bushra. Abu Bakar mendengarnya dengan takjub, lalu mengajaknya untuk menemui Rasulullah.
Di hadapan Rasulullah, Thalhah mengucapkan dua kalimat syahadat, dan sejak saat itu ia memeluk agama Islam hingga akhir hayatnya.
Pada masa itu, Islam sangat ditentang oleh kaum kafir Quraisy. Kabar keislaman Thalhah membuat keluarganya terkejut. Orang-orang dari suku dan keluarganya berusaha membujuk agar ia meninggalkan Islam. Awalnya mereka menggunakan cara halus dengan merayunya, namun karena pendirian Thalhah begitu teguh, mereka pun beralih menggunakan kekerasan.
Tubuh Thalhah disiksa dan digiring oleh sekelompok pemuda dengan tangan terbelenggu di lehernya. Mereka memukul dan mencambuknya dengan kejam. Bahkan ibunya sendiri turut mencaci maki dan memarahinya. Namun, semua itu tidak membuat Thalhah berpaling dari Islam. Allah Swt. menolongnya keluar dari ujian berat itu.
Ketika para sahabat hijrah ke Habasyah, Thalhah tidak ikut serta. Namun, setelah Islam mulai berkembang di Makkah dan Madinah, Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk hijrah. Thalhah pun akhirnya meninggalkan Makkah demi agama yang dicintainya.
Perjuangan Thalhah dalam mempertahankan keimanan terus berlanjut hingga akhirnya ia mendapat julukan “Asy-Syahidul Hayy” (syahid yang hidup).
Kedermawanan Thalhah bin Ubaidillah
Thalhah bin Ubaidillah memiliki tujuan utama dalam hidupnya: bermurah hati dalam berkorban. Meskipun ia termasuk salah satu sahabat yang berharta banyak, hal itu tidak membuatnya sombong, apalagi merendahkan orang miskin.
Istrinya, Su’da binti Auf, pernah melihat Thalhah duduk termenung sambil memegang sejumlah besar uang di tangannya. Thalhah tampak bingung harus berbuat apa dengan uang itu. Istrinya pun menyarankan agar uang tersebut dibagikan kepada fakir miskin. Akhirnya, Thalhah membagikan seluruh hartanya tanpa menyisakan sedikit pun.
Sahabatnya, As-Sa’ib bin Zaid, pernah berkata bahwa tidak ada orang yang lebih dermawan daripada Thalhah, karena ia senantiasa memberikan harta, pakaian, dan makanan kepada kaum muslimin. Maka, pantaslah jika Thalhah dikenal sebagai salah satu sahabat yang paling dermawan.
Keberanian Thalhah bin Ubaidillah
Keberanian Thalhah tampak jelas dalam Perang Uhud, yang terjadi setelah kekalahan kaum Quraisy dalam Perang Badar. Kekalahan itu menimbulkan dendam besar di hati kaum Quraisy, sehingga mereka datang dengan kemarahan dan pasukan yang lebih banyak untuk menuntut balas.
Dalam peperangan tersebut, Thalhah senantiasa menjaga Rasulullah. Namun, terjadi kesalahan besar ketika pasukan pemanah turun dari bukit, mengira perang telah usai. Akibatnya, kaum muslimin terkepung dari depan dan belakang oleh pasukan Quraisy. Banyak sahabat yang gugur, termasuk Hamzah bin Abdul Muthalib dan Mush’ab bin Umair.
Melihat keadaan genting itu, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk melindunginya. Ketika Thalhah hendak maju, Rasulullah memintanya tetap di sisi beliau. Seorang sahabat Anshar pun maju terlebih dahulu. Namun, serangan Quraisy semakin gencar hingga akhirnya Thalhah maju dengan gagah berani, melindungi Rasulullah dengan tubuhnya sendiri.
Thalhah mengayunkan pedangnya dengan kuat dan menangkis panah-panah yang mengarah kepada Rasulullah. Tubuhnya dipenuhi luka; anak panah menancap di tangan dan kakinya, hingga sebagian jarinya terputus. Meski terluka parah, Thalhah tetap bertahan demi Rasulullah.
Karena keberaniannya, Thalhah dijuluki “Elang Perang Uhud” (Burung Elang Hari Uhud) oleh para sahabat.
Wafatnya Thalhah bin Ubaidillah
Ketika Perang Jamal terjadi, Ali bin Abi Thalib memerintahkan agar Thalhah mundur dari medan perang. Perang ini dipicu oleh perselisihan setelah pengangkatan Ali sebagai khalifah dan pembunuhan Utsman bin Affan.
Awalnya, Thalhah berada di pihak yang berlawanan dengan Ali. Namun, ketika ia teringat sabda Rasulullah, “Siapa yang memerangi Ali, maka ia termasuk orang yang zalim,” Thalhah pun segera menarik diri dari peperangan.
Namun, pada saat ia mundur, sebuah anak panah mengenai betisnya hingga menyebabkan luka yang parah. Ia tidak dapat menahan rasa sakit itu dan akhirnya wafat pada usia sekitar 60 tahun.
Referensi:
Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman. 2001. Sirah Nabawiyah.Terj.Hanif Yahya. Jakarta: Darul Haq.
Fajar. 2007. Thalhah bin Ubaidillah: Paling Dermawan dan Pemurah. Bandung:Titian Ilmu.
Khalid, Khalid Muhammad. 2015. 60 Biografi Sahabat Rasulullah, Terj. Kaseruan AS. Jakarta:Qisthi Press.
Haryani, Kamilah. 2012. Thalhah bin Ubaidillah. Kuala lumpur: Al-Ghazali.
Talib, Abdul Latif. 2011. Perang-Perang yang Benar. Selangor: PTS Litera.
Kontributor: Aas Noer Asiyah, Semester V
Editor: S.Yayu.M