ArtikelSejarah

KH Hasyim Asy’ari: Ulama Pejuang dan Pendiri Nahdlatul ulama

MAHADALYJAKARTA.COM—KH Hasyim Asy’ari merupakan salah satu tokoh masyhur dalam sejarah Islam Indonesia. Seorang ulama yang sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Dilihat dari nasab ayahnya, KH Asy’ari, beliau merupakan keturunan penguasa Kerajaan Islam Demak, Sultan Pajang atau Jaka Tingkir yang merupakan putra Brawijaya VI, penguasa Kerajaan Majapahit abad XVI. 

KH Hasyim Asy’ari merupakan tokoh pertama yang mendirikan organisasi Islam yang ada di Indonesia yang sering dikenal dengan nama Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai pendiri Nahdlatul Ulama, beliau memiliki peran penting dalam menjaga nilai-nilai Islam tradisional (Ahlussunnah wal Jama’ah) di tengah gejolak kolonialisme dan perubahan sosial terhadap nusantara. Kontribusinya tidak hanya dalam bidang pendidikan keislaman, tetapi juga dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. 

Lahir pada tanggal 14 Februari 1871 M/24 Dzulqa’dah 1287 H. Tempat kelahiran beliau berada sekitar 2 kilometer ke arah utara dari Jombang, tepatnya di Pesantren Gedang, sebuah dusun yang terletak di desa Tambakrejo, kecamatan Jombang. Hasyim sejak kecil tidak bisa dipisahkan dari kehidupan pesantren. Ia lahir dan besar  di lingkungan pesantren yang berada di bawah kepemimpinan ayahnya sendiri, KH Asy’ari, seorang ulama yang mengajarkan dasar-dasar agama Islam. Sejak usia dini, ia menunjukkan minat besar terhadap ilmu pengetahuan agama. Pendidikan formalnya ditempuh di sejumlah pesantren ternama di Jawa sebelum akhirnya melanjutkan studinya ke Makkah. 

Di Makkah, Hasyim Asy’ari belajar dari berbagai ulama besar, termasuk Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, ulama Nusantara yang menjadi  imam di Masjidil Haram. Di sana, ia mendalami berbagai disiplin ilmu agama seperti fiqih, tafsir, hadis, dan tasawuf. Pengalaman intelektualnya di Makkah memperkuat semangatnya untuk memperbaiki sistem pendidikan Islam di Indonesia. 

Sekembalinya ke Indonesia, KH Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng pada tahun 1899 di Jombang. Pesantren ini kemudian menjadi pusat pendidikan Islam yang sangat berpengaruh khususnya di Jawa Timur dan Nusantara secara umum. Pesantren Tebuireng dikenal dengan sistem pembelajarannya yang disiplin serta menanamkan nilai-nilai keislaman dan nasionalisme pada para santrinya.

Salah satu ciri khas dari sistem pendidikan yang dikembangkan KH Hasyim Asy’ari adalah penggabungan antara ilmu keislaman klasik dan semangat pembaharuan. Beliau tidak menolak modernisasi, tetapi menempatkannya secara selektif agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Ini menunjukkan keluwesan pemikiran beliau dalam menghadapi zaman yang terus berubah. Beliau tidak hanya fokus pada aspek ritual keagamaan, tetapi juga menekankan pentingnya pendidikan, keadilan sosial, dan semangat nasionalisme. 

Seiring dengan meningkat pengaruhnya, KH Hasyim Asy’ari melihat kebutuhan untuk membentuk sebuah organisasi Islam yang mampu menjadi benteng pertahanan bagi Islam tradisional. Maka, pada tanggal 31 Januari 1926, bersama para ulama lainnya, beliau mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini berdiri sebagai respons atas dinamika pemikiran Islam global, terutama pengaruh Wahabisme dan gerakan reformis yang dianggap terlalu ekstrem dalam menolak tradisi. 

Nahdlatul Ulama berdiri atas tiga prinsip utama, yaitu: mempertahankan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, menjaga tradisi pesantren, dan mengembangkan pendidikan Islam yang kontekstual. Peran KH Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar NU menjadikannya figur sentral dalam membentuk arah kebijakan dan pemikiran organisasi ini. 

Kontribusi KH Hasyim Asy’ari tidak terbatas pada bidang keilmuan dan organisasi keagamaan, tetapi juga meliputi ke ranah politik dan kebangsaan. Beliau sangat menentang penjajahan dan menganggap bahwa perjuangan melawan kolonialisme adalah bagian dari perjuangan di jalan Allah Swt. Hal ini diwujudkan melalui keterlibatannya dalam berbagai organisasi Islam dan kemasyarakatan.

Salah satu kontribusi terbesar beliau dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah fatwa jihad yang dikeluarkannya pada 22 Oktober 1945. Fatwa tersebut menyerukan umat Islam untuk berjihad melawan kembalinya Belanda ke Indonesia. Fatwa ini menjadi dasar moral dan spiritual bagi perlawanan rakyat, terutama dalam peristiwa 10 November di Surabaya. 

Resolusi Jihad tersebut menjadi bukti bahwa KH Hasyim Asy’ari tidak hanya seorang ulama yang berkutat pada kitab kuning, tetapi juga seorang pejuang yang memahami dinamika sosial-politik dan mampu meresponsnya dengan keputusan-keputusan strategis dan berani. Beliau menjadi teladan bahwa ulama bisa memainkan peran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Dalam dunia intelektual Islam, KH Hasyim Asy’ari dikenal sebagai sosok yang produktif. Karya-karyanya seperti Adabul ‘Alim wal Muta;allim dan Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjadi rujukan penting dalam pendidikan pesantren. Dalam karyanya tersebut, ia menekankan pentingnya adab dalam menuntut ilmu dan menjaga otoritas ulama dalam masyarakat.

Selain menulis KH Hasyim Asy’ari juga mendidik banyak murid yang kelak menjadi ulama besar dan pemimpin bangsa. Diantara santrinya yang terkenal adalah KH. Wahid Hasyim (putranya sendiri) dan KH Abdurrahman Wahid (cucunya), yang menjadi Presiden RI keempat. Ini membuktikan bahwa warisan intelektual dan spiritual beliau berlanjut lintas generasi. 

Sebagai pendiri Nahdlatul Ulama tentunya tidak lepas dari  kajian yang relevan mengenai sosoknya untuk saat ini adalah kajian tentang posisinya sebagai seorang guru. Pemikiran-pemikirannya yang bijak dan cemerlang patut ditiru umat Islam di Indonesia, pemikiran beliau sering ditemukan dalam karyanya yang membahas etika guru dan murid. Beberapa Pemikiran KH Hasyim Asy’ari tentang seorang guru yang patut diteladani saat ini:

Ikhlas dalam Mengajar 

Menurut pandangan KH Hasyim Asy’ari seorang guru haruslah ikhlas dalam mengajar, bahwa keikhlasan seorang guru bisa mempengaruhi kesungguhannya dalam perjuangan menyebarkan dan menegakkan ilmu dan agama Allah Swt. Keikhlasan akan menjadikan seorang guru sebagai semangat utama dalam mengajar, meskipun pada kenyataannya mereka selalu memperoleh imbalan di kemudian hari. 

Mencintai Murid seperti Anak Sendiri

KH Hasyim Asy,ari dalam mengajar tidak bersikap pilih kasih kepada murid-muridnya. Beliau selalu memposisikan murid-murid layaknya sebagai anaknya sendiri. Menerapkan sikap ini tentunya tidak mudah. Meskipun demikian, bahwa memperlakukan semua muridnya layaknya anak sendiri mengandung pelajaran yang sangat berharga. Maka dengan sikap seperti ini para guru bisa menjadi profesional dalam menjalankan tugasnya. 

Lemah-Lembut dan Menggunakan Bahasa yang Mudah Dipahami

KH Hasyim Asy,ari selalu menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang pelan, guna memudahkan para muridnya memahami apa yang beliau sampaikan. Disisi lain, beliau juga selalu bersikap lemah-lembut kepada murid-muridnya. Sikap ini merupakan kebiasaan positif yang perlu terus diasah dan dikembangkan oleh para guru. 

Itulah beberapa keteladanan beliau di balik pemikirannya tentang hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh guru ketika menjalankan tugas mengajar. Tentunya, semua pesan keteladanan itu akan bermanfaat bila istiqamah dipraktikkan. 

Salah satu kebiasaan KH Hasyim Asy’ari yang perlu diusahakan untuk dicontoh oleh umat islam di Indonesia  adalah beliau tidak pernah  lalai dalam mengerjakan shalat Hajat setiap malam sepanjang hidup. Tentu, masih banyak beberapa keteladanan beliau yang sangat dibutuhkan hari ini seperti selalu bersyukur, senantiasa optimis, teguh pendirian dalam beriman, menghiasi diri dengan ibadah, selalu belajar selalu berpihak kepada kebenaran, dan meneladani orang-orang shalih dan itulah semua keteladanan beliau yang patut kita dawamkan supaya bisa menjadi orang-orang yang insya Allah diselamatkan di dunia dan akhirat.

Kemudian hingga pada waktu dan kisah akhir beliau dari perjalanan beliau dalam mendirikan dan memperjuangkan organisasi Islam, yaitu Nahdlatul Ulama sampai menutup usianya. KH Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947. Kepergiannya merupakan kehilangan besar bagi umat Islam Indonesia. 

Namun, pemikiran dan perjuangannya tetap hidup dan terus relevan dalam menghadapi berbagai tantangan zaman. NU sebagai organisasi yang ia dirikan terus berkembang dan memainkan peran penting dalam dinamika sosial-politik Indonesia.

Semangat yang ditanamkan oleh KH Hasyim Asy’ari cinta ilmu, keberanian moral, dan komitmen terhadap kebangsaan menjadi pondasi utama bagi generasi penerus dalam menjaga harmoni antara Islam dan keindonesiaan. Beliau menunjukkan bahwa nilai-nilai tradisional dapat berjalan selaras dengan kemajuan zaman.

KH Hasyim Asy’ari adalah ulama yang tidak hanya berjasa dalam bidang pendidikan dan keagamaan, tetapi juga dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan karakter bangsa. Melalui NU dan pesantren, beliau meninggalkan warisan besar yang hingga kini masih menjadi pedoman dan inspirasi bagi umat Islam di Indonesia.

Referensi:

Barton, Greg. 2002. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKiS.

Bruinessen, Martin van. 1994. NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru . Yogyakarta: LKiS.

Khuluq, Lathiful. 2000. Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari. Yogyakarta: LKiS.

Hadi, Abdul. 2018. KH. Hasyim Asy,ari: Sehimpun Cerita, Cinta, dan Karya Maha Guru Ulama Nusantara. Yogyakarta: DIVA Press.

Suryanegara, Ahmad Mansur. 2014. Api Sejarah Jilid I. Bandung: Suryadinasti.

Misrawi, Zuhairi. 2010. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Kontributor: Muhammad Zaidan Ali Zahran, Semester III

Editor: S. Yayu. M

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *