ArtikelSejarah

Islamophobia: Senjata Politik Baru di Jantung Eropa

MAHADALYJAKARTA.COM—Islamophobia di Eropa bukanlah fenomena baru, namun dalam dua dekade terakhir, peningkatannya menjadi sangat signifikan. Faktor-faktor seperti serangan teroris, krisis pengungsi, dan kebangkitan partai-partai populis kanan telah memperkuat stereotip negatif terhadap Muslim. Artikel ini akan membahas bagaimana media, kebijakan politik, dan persepsi publik turut membentuk dan memperkuat Islamophobia di Eropa.

Islamophobia dapat didefinisikan sebagai ketakutan, kebencian, atau prasangka terhadap Islam dan Muslim yang sering kali diwujudkan dalam bentuk diskriminasi, kekerasan, atau pengucilan sosial. Menurut European Islamophobia Report (Bayrakli & Hafez, 2023), hampir semua negara Eropa mengalami tren peningkatan Islamophobia, baik dalam bentuk fisik maupun simbolik.

Media memiliki peran penting dalam membentuk opini publik. Kajian yang dilakukan oleh Elizabeth Poole dan John Richardson menunjukkan bahwa media Barat cenderung menyajikan Islam sebagai “yang lain” dan mengaitkan Muslim dengan kekerasan atau ekstremisme. Dalam laporan Pew Research Center (2017), disebutkan bahwa 78% pemberitaan tentang Islam di media Eropa mengandung konotasi negatif, terutama terkait isu keamanan dan imigrasi. Media arus utama seperti The Daily Mail (Inggris), Bild (Jerman), dan Le Figaro (Prancis) sering menyoroti tindakan segelintir individu ekstremis dan menjadikannya representasi umum umat Islam. Hal ini tidak hanya menciptakan citra negatif, tapi juga memperkuat stereotip dan ketakutan kolektif di masyarakat.

Islamophobia sering dijadikan alat mobilisasi oleh partai-partai kanan populis. Di Prancis, misalnya: partai National Rally (dulu Front National) secara konsisten mengkampanyekan narasi bahwa Islam tidak kompatibel dengan nilai-nilai Republik. Di Jerman, AfD (Alternative für Deutschland) memanfaatkan ketakutan terhadap imigran Muslim untuk meraih suara. Kebijakan publik yang diskriminatif juga berkontribusi. Larangan penggunaan simbol keagamaan di ruang publik (seperti larangan hijab di sekolah-sekolah di Prancis) menjadi bentuk institusionalisasi Islamophobia. Menurut Human Rights Watch (2021), kebijakan semacam ini tidak netral, melainkan menargetkan komunitas Muslim secara spesifik dan menciptakan eksklusi sosial.

Persepsi masyarakat Eropa terhadap Islam sangat dipengaruhi oleh kombinasi media dan politik. Survei Eurobarometer (2022) menunjukkan bahwa 54% responden di negara-negara Uni Eropa memandang Islam sebagai ancaman terhadap budaya nasional. Di beberapa negara seperti Austria dan Hungaria, angkanya bahkan lebih tinggi. Dampaknya terlihat dalam kehidupan sehari-hari Muslim Eropa: meningkatnya insiden kejahatan kebencian, diskriminasi di tempat kerja, dan keterbatasan akses ke pendidikan serta layanan sosial. Menurut laporan dari Open Society Foundations (2020), Muslim perempuan yang mengenakan hijab adalah kelompok yang paling rentan mengalami diskriminasi, baik di sektor pendidikan maupun pekerjaan.Tak hanya diskriminasi eksternal, Islamophobia juga menimbulkan dampak psikologis yang signifikan. Studi oleh University of Birmingham (2021) menemukan bahwa generasi muda Muslim di Eropa mengalami tingkat stres dan kecemasan yang lebih tinggi akibat stigma dan pengucilan sosial. Mereka sering merasa tertekan untuk menyembunyikan identitas keagamaan mereka demi menghindari perlakuan diskriminatif. Dalam jangka panjang, hal ini bisa berdampak pada kepercayaan diri, prestasi akademik, dan integrasi sosial mereka.

Prancis merupakan salah satu negara yang paling sering disorot dalam diskusi tentang Islamophobia di Eropa. Dengan populasi Muslim terbesar di Eropa Barat, negara ini juga memiliki kebijakan sekularisme yang sangat ketat (laïcité). Sejak diberlakukannya larangan penggunaan simbol keagamaan di sekolah umum pada tahun 2004, berbagai kontroversi terus mencuat, mulai dari larangan burkini di pantai hingga pembatasan makanan halal di sekolah. Pemerintah Prancis berargumen bahwa kebijakan ini bertujuan menjaga netralitas ruang publik. Namun, banyak pengamat menganggapnya sebagai bentuk diskriminasi yang menyasar Muslim. Amnesty International dan Human Rights Watch telah berulang kali mengkritik pendekatan Prancis yang dinilai tidak proporsional dan menargetkan kelompok agama tertentu. Kontroversi terbaru, seperti pembubaran asosiasi Muslim dan pengawasan ketat terhadap masjid, semakin memperkuat anggapan bahwa negara ini mempraktikkan bentuk Islamophobia institusional.

Beberapa inisiatif telah dilakukan untuk mengatasi Islamophobia. Misalnya, di Inggris, organisasi seperti Tell MAMA (Measuring Anti-Muslim Attacks) menyediakan platform pelaporan insiden kebencian dan advokasi hukum. Uni Eropa juga telah membentuk Koordinator Anti-Rasisme yang bertugas menangani diskriminasi terhadap minoritas, termasuk Muslim. Di bidang pendidikan, kurikulum multikultural dan kampanye toleransi telah diupayakan di beberapa negara, meski implementasinya masih belum merata. Di Jerman, misalnya, pendidikan agama Islam mulai dimasukkan ke dalam sistem pendidikan publik sebagai bagian dari strategi integrasi yang lebih inklusif. Peran komunitas Muslim sendiri juga tak kalah penting. Di berbagai kota besar Eropa, komunitas ini telah mendirikan lembaga pendidikan, pusat kebudayaan, hingga media alternatif yang memberikan ruang bagi narasi-narasi positif tentang Islam. Kegiatan lintas agama juga mulai digalakkan untuk membangun jembatan dialog antara Muslim dan non-Muslim, seperti forum interfaith di London atau acara “Open Mosque Day” di Belanda.

Selain dampak langsung berupa diskriminasi dan kekerasan, Islamophobia juga menimbulkan dampak psikologis yang signifikan bagi komunitas Muslim di Eropa. Banyak individu merasa tidak aman menjalankan agamanya secara terbuka, seperti mengenakan jilbab atau menghadiri masjid, karena takut akan mendapat pelecehan verbal maupun fisik. Rasa takut ini menciptakan tekanan sosial yang tinggi dan memperburuk proses integrasi.

Media massa juga berperan besar dalam memperkuat stereotip negatif terhadap umat Islam. Pemberitaan yang bias, terutama ketika menyangkut isu-isu terorisme atau kejahatan, kerap mengaitkan pelaku dengan identitas agama mereka. Hal ini menciptakan persepsi bahwa Islam identik dengan kekerasan, padahal mayoritas umat Islam di Eropa hidup damai dan menolak segala bentuk ekstremisme.

Upaya melawan Islamophobia harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah, media, dan lembaga pendidikan perlu berkolaborasi dalam menciptakan narasi yang lebih adil dan inklusif. Pendidikan tentang keberagaman budaya dan agama sejak dini dapat membantu membangun toleransi dan empati, yang pada akhirnya akan mengurangi prasangka dan diskriminasi di masyarakat luas.

Dapat disimpulkan bahwa Islamophobia di Eropa adalah fenomena kompleks yang diperkuat oleh narasi media, kepentingan politik, dan persepsi publik yang negatif. Dampaknya nyata dirasakan oleh komunitas Muslim dalam bentuk diskriminasi struktural dan sosial. Untuk menghadapinya, diperlukan pendekatan multidimensional: reformasi kebijakan publik, literasi media, pendidikan inklusif, serta upaya dialog antaragama yang konsisten. Selain itu, penting untuk terus memperkuat suara komunitas Muslim itu sendiri agar dapat merepresentasikan identitas mereka secara otentik dan setara dalam masyarakat Eropa.

Referensi:

Poole, Elizabeth. 2002. Reporting Islam: Media Representations of British Muslims. I.B. Tauris.

Cesari, Jocelyne. 2004. When Islam and Democracy Meet: Muslims in Europe and in the United States. Palgrave Macmillan.

Modood, Tariq. 2007. Multiculturalism: A Civic Idea. Polity Press.

Allen, Christopher. 2010. “Islamophobia.” Ashgate Publishing.

Fekete, Liz. (2009). “A Suitable Enemy: Racism, Migration and Islamophobia in Europe.” Pluto Press.

Meer, Nasar, & Modood, Tariq. (2009). “Refutations of racism in the ‘Muslim question’.” Patterns of Prejudice.

 

Kontributor: Nurul Hidayah Tun Nisa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *