Ahmad Khatib Al-Minangkabawi: Ulama Visioner dari Ranah Minang dan Kiprahnya di Masjidil Haram
MAHADALYJAKARTA.COM—Dalam sejarah perkembangan Islam, beberapa tokoh dari Nusantara memainkan peran penting dalam mempererat hubungan intelektual dengan Islam global. Salah satu di antaranya adalah Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Beliau merupakan ulama Nusantara yang berhasil menduduki posisi strategis di Masjidil Haram. Kiprahnya tidak hanya terbatas di Makkah, tetapi juga berpengaruh besar dalam membentuk arah perkembangan Islam di Asia Tenggara melalui murid-muridnya yang berasal dari berbagai pelosok negeri.
Syaikh Ahmad Khatib bernama lengkap Ahmad Khatib bin Abdul Latif bin Abdullah bin Abdul Aziz al-Minangkabawi. Ia dilahirkan di Koto Tuo, Kabupaten Agam, Bukittinggi, Sumatera Barat, pada hari Senin, 6 Zulhijjah 1276 H (26 Juni 1860 M). Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang religius dan taat beragama. Kakeknya, Abdullah, merupakan seorang ulama di daerah tersebut. Sejak usia dini, Ahmad Khatib telah menunjukkan kecintaan yang luar biasa terhadap ilmu-ilmu keislaman.
Pendidikan dasarnya diperoleh di tanah kelahirannya. Ia mengenyam pendidikan formal dan menamatkan sekolah di Kweekschool (Sekolah Raja) pada tahun 1871 M. Di samping itu, sejak kecil ia juga mempelajari dasar-dasar ilmu agama dan belajar membaca Al-Qur’an langsung dari ayahnya, serta menimba ilmu dari satu surau ke surau lainnya.
Pada tahun 1872 M, Ahmad kecil diajak oleh ayahnya, Abdul Latif, ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah selesai melaksanakan ibadah haji, Abdul Latif kembali ke Sumatera Barat, sementara Ahmad tetap tinggal di Makkah untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dan memperdalam berbagai disiplin ilmu agama. Di kota suci ini, ia berguru kepada sejumlah ulama terkemuka yang mengajar di Masjidil Haram, di antaranya Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha, Utsman bin Muhammad Syatha, Bakri bin Muhammad Zainul Abidin Syatha ad-Dimyathi, Yahya al-Qalyubi, Muhammad Shalih al-Kurdi, serta Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, mufti mazhab Syafi’i di Makkah.
Berkat kecerdasan dan ketekunannya, Ahmad Khatib dengan cepat menguasai ilmu fikih, ushul fikih, tafsir, dan berbagai disiplin keilmuan lainnya. Kepakarannya dalam bidang fikih, khususnya mazhab Syafi’i, mengantarkannya pada pengangkatan sebagai pengajar, imam, dan khatib di Masjidil Haram. Ia menjadi guru bagi banyak tokoh reformis Islam Indonesia dan termasuk salah satu ulama Nusantara yang diakui di kancah internasional dunia Islam.
Prof. Dr. Hamka dalam bukunya Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya (1981) menyebut Ahmad Khatib sebagai “Syaikh al-Masyaikh”, guru dari sekalian guru. Orientalis dan penasihat agama pemerintah kolonial Hindia Belanda, Snouck Hurgronje, menyebutnya sebagai “seorang putra Sumatra Barat yang cerdas dan bermental fakultas.” Ahmad Khatib dikenal sebagai pejuang agama yang anti-penjajahan serta menanamkan kesadaran tersebut kepada murid-muridnya dari Indonesia dan Semenanjung Melayu. Ia berpendirian bahwa melawan penjajah merupakan jihad di jalan Allah.
Meskipun bermukim di Tanah Hijaz, hubungan Ahmad Khatib dengan Minangkabau dan Nusantara tetap terjalin erat melalui jamaah haji dan para santri yang datang menimba ilmu ke Makkah. Perannya dalam Islamisasi Nusantara antara lain meluruskan persoalan hukum waris, menolak praktik tarekat Naqsyabandiyah, menjadi pelopor gagasan pembaruan di Minangkabau, serta mencetak ulama-ulama besar.
Di Makkah, Ahmad Khatib kerap mengunjungi sebuah toko buku milik Shalih al-Kurdi. Shalih tertarik kepada Ahmad Khatib karena akhlak dan kepribadiannya, lalu menikahkannya dengan salah satu putrinya yang bernama Khadijah, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir al-Azhar. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai seorang putra bernama Abdul Karim (1300–1357 H). Namun, pernikahan itu tidak berlangsung lama karena Khadijah wafat. Setelah itu, Shalih meminta Ahmad Khatib menikahi putrinya yang lain, yaitu Fatimah, adik kandung Khadijah. Dari Fatimah, Ahmad Khatib dikaruniai dua orang putra, yakni Ahmad Malik dan Ahmad Hamid.
Ahmad Khatib dikenal sebagai ayah yang baik dan religius. Ia secara langsung mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman kepada anak-anaknya. Keluarga Al-Khatib, sebagai keturunannya, tetap menjadi keluarga terpandang di Hijaz. Putranya, Abdul Karim al-Khatib, menjadi seorang ulama; Abdul Malik al-Khatib menjadi Duta Besar Kerajaan Hasyimiyah di Mesir pada masa al-Malik Husain (Syarif Husain); sedangkan Abdul Hamid al-Khatib menjadi Duta Besar Kerajaan Arab Saudi di Pakistan. Syaikh Abdul Hamid al-Khatib wafat pada Oktober 1961 M.
Syaikh Ahmad Khatib tercatat sebagai orang non-Arab pertama yang diangkat menjadi imam dan khatib di Masjidil Haram, Makkah al-Mukarramah. Pengangkatan ini merupakan pengakuan atas keilmuan dan integritas pribadinya. Sebagai imam, ia tidak hanya memimpin shalat, tetapi juga aktif mengajar dan membimbing jamaah dari berbagai negara. Dalam pengajarannya, ia berpegang teguh pada prinsip-prinsip mazhab Syafi’i dan menekankan pentingnya argumentasi berbasis dalil. Ia juga dikenal sebagai pengkritik praktik-praktik keagamaan yang dianggap tidak memiliki landasan syariat yang shahih.
Pengajaran Ahmad Khatib di Masjidil Haram, sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, menarik banyak pelajar dari berbagai belahan dunia, khususnya dari Nusantara. Di antara murid-muridnya adalah KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah; KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama; Haji Muhammad Nur, Mufti Kerajaan Langkat; Syaikh Hasan Maksum, Imam dan Mufti Kerajaan Deli; Syaikh Thahir Jalaluddin al-Azhari al-Farighi, tokoh penting di Semenanjung Melayu dan Singapura; serta sejumlah ulama Sumatera Barat seperti Syaikh Muhammad Thaib Umar, Syaikh Abdullah Ahmad, Syaikh Abdul Karim Abdullah, Syaikh Ibrahim Musa, Syaikh Muhammad Jamil Jaho, Syaikh Sutan Darap, dan Syaikh Muhammad Jamil Jambek, serta banyak lainnya.
Syaikh Ahmad Khatib juga dikenal sangat produktif dalam menulis. Ia menghasilkan banyak karya dalam bahasa Arab dan Melayu yang membahas fiqih, akidah, dan tasawuf. Menurut Zainal Abidin Ahmad, Ahmad Khatib menulis sekitar 49 karya yang berkaitan dengan berbagai persoalan agama dan kemasyarakatan, sebagian diantaranya masih berbentuk manuskrip. Karya-karyanya tidak hanya beredar di Indonesia, tetapi juga di kawasan Timur Tengah. Di antara karya terkenalnya ialah Hasyiyah an-Nafahat ‘ala Syarh al-Waraqat li al-Mahalli, al-Jawahir an-Naqiyyah fi al-A‘mal al-Jaibiyyah, dan Raudhat al-Hussab. Kitab-kitab fikihnya banyak digunakan dalam pengajaran agama di Nusantara karena gaya bahasanya yang lugas dan sistematis.
Kontribusi Syaikh Ahmad Khatib terhadap perkembangan Islam di Nusantara sangat besar. Melalui karya-karyanya, ia turut mengukuhkan tradisi keilmuan Islam di wilayah ini serta mempererat hubungan intelektual antara ulama Nusantara dan Timur Tengah. Hingga kini, pemikirannya masih menjadi rujukan di pesantren-pesantren tradisional, khususnya di Sumatra dan Malaysia. Warisan intelektualnya menjadi pondasi penting dalam pembentukan karakter keislaman masyarakat Minangkabau. Namanya diabadikan sebagai Masjid Raya Sumatera Barat di Padang, ibu kota Provinsi Sumatera Barat, yang kini menjadi salah satu landmark daerah tersebut dengan arsitektur yang mencerminkan harmoni antara agama dan budaya: Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi wafat di Makkah al-Mukarramah pada bulan Jumadil Awal 1334 H, bertepatan dengan 13 Maret 1916 M, dan dimakamkan di Pemakaman Ma‘la, Makkah.
Referensi
Azra, Azyumardi. 1998. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Cetakan ke-4. Bandung: Mizan.
Hamka. 1982. Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Cetakan ke-2. Jakarta: Umminda. (Karya asli diterbitkan tahun 1950 oleh Jayamurni).
Indrawati, Ni Nyoman. 2016. “Peran Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860–1916 M) dalam Islamisasi Nusantara.” Tamaddun, Vol. 4, No. 1.
Nasution, Harun, dkk. 1992. “Ahmad Khatib al-Minangkabawi.” Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, hlm. 87–90. Jakarta: Djambatan.
Ilyas, Ahmad Fauzi. 2017. “Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Polemik Tarekat Naqsyabandiyah di Nusantara.” Journal of Contemporary Islam and Muslim Society, Vol. 1, No. 1.
Kontributor: Arni Cahaya Lubis
Editor: Shffa