Ma’had Aly – Kekuasaan kerajaan Islam di Spanyol yang dipimpin berberapa periode khalifah membentuk sebuah peradaban besar. Peradaban tersebut dibentuk berdasarkan asimilasi antara bangsa Spanyol dengan warga Barbar. Dengan kultur Islam dan bahasa Arab serta ditopang dengan kondisi perekonomian yang sangat makmur. Dalam waktu lebih dari 7 abad, Islam telah mencapai kejayaan.
Masa kejayaan bani Umayyah Barat dimulai sejak periode Abdurrahman III, kemudian dilanjutkan oleh putranya Al-Hakam II. Dengan beberapa prestasi yang menakjubkan, kemajuannya membawa bangsa Eropa kepada kemajuan dunia. Namun, semua itu tidak berlangsung lama. Kekhalifahan Andalusia mulai meredup ketika Hisyam II naik tahta, ketika itu usianya baru sebelas tahun. Oleh karena usianya yang masih muda, maka ibunya yang bernama Sultanah Subh menunjuk Abu ‘Amir Muhammad bin Abdullah bin Abi ‘Amir yang diberi gelar al-Hajib dan al-Mansur yang memiliki arti sang pemenang, atau di barat diketahui sebagai Almanzor adalah seorang jendral dan seorang politikus al-Andalus menjadi penggantinya untuk sementara.
Pada tahun 981 M, Hisyam II terpaksa mengesahkan kekuasaan al-Manshur secara resmi atas segala aspek pemerintahan, sedangkan Hisyam II menyelesaikan pembangunan istana Madinah az-Zahra. Kemudian memindahkan semua administrasi pemerintahan ke istana baru ini. Hal ini menyebabkan Hisyam II yang sebenarnya kholifah pada saat itu terisolasi di istananya sendiri. al-Manshur adalah seorang yang berambisi untuk menguasai semuanya. Ia menjadi penguasa yang sebenarnya, sedangkan Sultanah Subh hanyalah sebagai boneka.
Langkah al-Manshur yang pertama adalah menguasai tentara. Ia sangat memperhatikan tentaranya, termasuk kesejahteraan mereka, sehingga andalusia memiliki kekuatan militer yang sangat kuat. Menurut Ibnu Khaldun, al-Manshur melakukan lima puluh dua kali peperangan melawan orang-orang kristen dari Leon, Castile, Aragon, kecuali Navarre karena adanya perjanjian perdamaian dengan kerajaan tersebut. Serangan-seranganannya menimbulkan kerugian besar bagi kerajaan-kerajaan kristen tersebut. al-Mansyur adalah orang yang paling istimewa pada masanya. Setelah Abdurrahman II, ia adalah negarawan terbesar di Eropa pada abad X M. Ia begitu ditakuti sehingga hampir tidak ada pemberontakan yang mengganggu ketentraman pemerintahannya.
Masa kekuasaan al-Manshur berlangsung cukup lama. Ia memerintah selama 27 tahun. Dalam rentang masa itu, ia mengukir prestasi baik. Ia berhasil menciptakan kemakmuran bagi rakyat dengan mengembangkan bidang pertanian, perdagangan, dan dunia usaha. Ia juga berhasil melebarkan sayap kekuasaannya keluar. Hal penting yang dicatat sejarah adalah perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan perpustakaan. Ia sangat gemar mengumpulkan karya-karya ilmiah dari berbagai negri. Hal ini sama seperti kegamaran khalifah Hakam II sebelumnya.
Al-Manshur juga memberikan penghargaan yang baik kepada para sarjana dan ilmuan. Hal ini bisa dimaklumi, sebab sebelumnya ia adalah seorang ahli hukum yang menjabat sebagai hakim agung. Kebijakan lainnya yang dicatat sejarah adalah tindakannya memberikan fasilitas bagi suku-suku barbar dalam lembaga ketentraman untuk menggantikan unsur-unsur Arab. Ia mengundang Bani Zenata dan Bani Adawa dari Afrika Barat untuk membentuk ketentraman Andalusia. Ia juga memberikan jabatan-jabatan tinggi pada tokoh-tokoh Barbar tersebut.
Al-Mansur juga membentuk lembaga tinggi kepolisian negara yang disebut dengan al urafak. Kota satelit az-Zuhra yang dibangun khalifah Hakam II di luar Cordoba dengan bangunan-bangunan mengagumkan diperluas oleh al-Mansur. Ia memindahkan pusat pemerintahan ke tempat itu. Ketika terjadi penyerangan dari pihak Count Of Castile Don Garcia Fernandes, Muhammad bin Abu Amir melakukan serangan balasan. Pertempuran panjang yang dikenal dengan petempuran musim panas pun berlangsung. Pada peperangan ini pihak Cordoba memperoleh kemenangan.
Meski menang, bukan berarti pihak musuh menghentikan perlawanan. Hampir setiap tahun terus terjadi serangan. Kembali dari sebuah peperangan, pasukan al-Manshur dihadang musuh di sebuah tempat bernama Calatanazar. Ia gugur dalam peperangan itu, dan dimakamkan di sebuah kota bernama Salima. Al-Mansur beliau wafat pada usia 65 tahun. Sepeninggalnya terjadi kemelut.
Setelah al-Manshur wafat kepemimpinan diambil alih oleh anaknya yaitu, Abdul Malik al-Muzaffar, ia masih dapat mempertahankan keunggulan negara. Akan tetapi setelah ia wafat pada tahun 1008 M, ia digantikan oleh ‘Abdulrrahman Syanjul, adik tirinya yang tidak memiliki kualitas dalam kepemimpinan. Ia terkenal dengan moral yang buruk, hal ini menyebabkan ketidakpuasan rakyat. Akhirnya rakyat memaksanya agar turun tahta dan digantikan oleh Muhammad bin Hisyam bin Abdul Jabbar bin Abdurrahman III atau biasa dikenal dengan nama al-Mahdi.
Muhammad II dinyatakan sebagai khalifah dengan gelar al-Mahdi pada tahun 1008 M. Ia menghancurkan istana Al-Zahra, sedang Abdurrahman yang ditinggalkan pengikutnya di tawan dan dibunuh. Dengan demikian, khalifah yang zalim itu dapat digulingkan. Namun khalifah yang baru ini atau Muhammad II tidak lama memerintah, ia menyingkirkan budak-budak, memecat orang-orang Barbar dari dewan penasihat militer. Dan mendepak para ahli teologi. Moralnya pun buruk karna sering berpesta pora.
Orang-orang Barbar yang tersingkir itu mengajukan calon lain yaitu Sulaiman bin Abdurrahman III. Al-Mahdi meminta bantuan kepada bangsa katalan, sedangkan Sulaiman meminta bantuan kepada orang-orang Kristen dari Castile dan Leon. Al-Mahdi akhirnya dapat dikalahkan dan dibunuh. Sulaiman lalu dinobatkan sebagai pemimpin dengan gelar al-Mu’tasin Billah. Namun, ia tak lama memerintah karena pemberontakan yang lain timbul dan menyebabkan kematiannya.
Setelah Sulaiman wafat kepemimpinan digantikan oleh Abdurrahman V, cucu Abdurrahman III. Untuk mendampinginya khalifah mengangkat seorang tukang tenun sebagai perdana mentri. Rakyat tidak setuju, lalu menjadi marah. Kemudian Abdurrahman V melarikan diri. Selanjutnya pemerintahan dipegang oleh Hisyam pada tahun 1031 M. Selama masa pemerintahannya sering kali terjadi kekacauan hingga meletus kudeta tentara pada tahun 1031 M. Ia kemudian melarikan diri dan wafat pada tahun 1036 M.
Menurut sejarawan Islam, Badri Yatim, kekhalifahan Umayyah di Andalusia hancur karena beberapa faktor. Pertama, konflik Islam dengan Kristen. “Para penguasa Muslim tak melakukan Islamisasi secara sempurna,” tutur Badri Yatim dalam bukunya. Umat Islam pun terusir dari tanah Spanyol.
Kedua, tak adanya ideologi pemersatu. Sehingga membuat kelompok etnis non-Arab menggerogoti kekuasaan.
Ketiga, kesulitan ekonomi. Pemerintah lebih menguatkan pembangunan dari pada perekonomian itu menyebabkan lemahnya pada kekuatan politik dan militer. Tidak jelasnya sistem peralihan kekuasaan ini mengakibatkan terjadinya perebutan di antara ahli waris.
Andalusia yang awal berdirinya dimulai dengan perjuangan mati-matian harus berakhir dengan mengenaskan, yang tak lain penyebabnya hanya karena penguasa yang cinta dunia dan tak mementingkan kemakmuran rakyatnya. Jangan sampai semua itu terjadi di negara kita, Indonesia.
Referensi
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Payne, Stanley G, (1972), A History of Spain and Portugal (University of Central Arkansas). Vol. 1.
Rizem Aizid. Pesona Bagdad dan Andalusia, Yogyakarta: Diva Press, 2017.
Suyuthi Pulungan, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2018.
Oleh : Alviatun Khoiriyah, Semester V