Jejak Islam Pertama di Nusantara
MAHADALYJAKARTA.COM—Aceh merupakan yang secara geografis terletak di utara pulau Sumatera, dipandang sebagai daerah pertama yang menerima Islam di Nusantara. Konon kerajaan Islam Perlak telah berdiri sejak abad ke-9 M. Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Yunus Jamil dan Hasyimi, yang konon telah didirikan pada 225 H/ 845 M. Pendirinya adalah pelaut pedagang Muslim asal Persia, Arab dan Gujarat yang mula-mula datang untuk mengislamkan penduduk setempat. Kesultanan Perlak dan Kerajaan Samudera Pasai merupakan dua kerajaan Islam yang memiliki peran penting di Indonesia, khususnya di Aceh. Kerajaan Perlak yang lebih dulu berdiri dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Kerajaan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan kembar. Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh, dan diperkirakan mulai berdiri pada awal atau pertengahan abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7 dan ke-8 M. Keberadaan kerajaan ini dibuktikan oleh adanya batu nisan terbuat dari granit asal Samudera Pasai. Di batu nisan itu tertulis nama raja pertama kerajaan itu, Malik as-Saleh yang meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 H, diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M. Malik as-Saleh adalah kerajaan sekaligus raja pertama kerajaan ini.
Diceritakan melalui cerita lisan secara turun-temurun yang kemudian dibukukan dalam hikayat raja-raja Pasai. Dalam hikayat raja-raja Pasai diceritakan bahwa raja mereka Merah Silu adalah orang pertama yang memeluk agama Islam di kerajaan itu. Begitu ia di-Islamkan oleh Syekh Ismail, ia merubah namanya menjadi Sultan Malik as-Saleh, dan kerajaannya disebut kesultanan. Sultan Malik as-Saleh dikisahkan menikah dengan putri Raja Perlak. Dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai dua orang anak, sehingga kemudian muncul kerajaan gabungan Samudera Pasai.
Di dalam buku hikayat raja-raja Pasai diketahui bahwa pusat pertama kerajaan ini adalah muara sungai Peusangan, sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar di sepanjang jalur pantai yang memudahkan perahu-perahu dan kapal-kapal mengayunkan dayungnya ke pedalaman dan sebaliknya. Ada dua kota yang terletak berseberangan di muara sungai Peusangan itu, yaitu Pasai dan Samudera. Kota Samudera terletak agak lebih pedalaman sedangkan Pasai terletak lebih ke muara. Di tempat yang terakhir inilah terletak beberapa makam raja-raja.
Kerajaan Islam tertua ini menjadi pusat kegiatan keagamaan yang utama di kepulauan Nusantara kala itu. Di diisi pula peradaban dan kebudayaan Islam tumbuh dan mekar. Sebagai kota dagang yang makmur dan pusat kegiatan keagamaan yang utama di kepulauan Nusantara, Pasai bukan saja menjadi tumpuan perhatian para pedagang Arab dan Persi, tetapi juga menarik perhatian para ulama dan cendikiawan dari negeri Arab dan Persi untuk datang ke kota ini dengan tujuan menyebarkan agama dan mengembangangkan ilmu pengetahuan.
Ibnu Batutah yang mengunjungi Sumatera memberitakan bahwa raja dan bangsawan Pasai sering mengundang para ulama dan cerdik pandai dari Arab dan Persi untuk membincangkan berbagai perkara agama dan ilmu-ilmu agama di istananya. Karena mendapatkan sambutan hangat itulah mereka senang tinggal di Pasai dan membuka lembaga pendidikan yang memungkinkan pengajaran Islam dan ilmu agama berkembang.Ilmu-ilmu yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam antara lain ialah dasar-dasar ajaran Islam, hukum Islam, Ilmu kalam atau teologi, ilmu tasawuf, ilmu tafsir dan hadis, dan berbagai ilmu pengetahuan lain yang penting bagi penyebaran agama islam seperti ilmu hisab, mantiq atau logika, nahwu, sejarah, astronomi, ilmu kedokteran dan lain-lain. Selain ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, kesusastraan Arab dan Persi turut pula diajarkan.
Salah satu karya intelektual yang dihasilkan di Pasai ialah hikayat raja-raja Pasai. Kitab ini ditulis setelah kerajaan ditaklukan Majapahit pada tahun 1365. Menurut Hadi W.M, dilihat dari corak bahasa Melayu dan asakara yang digunakan karya ini di rampung dikerjakan pada saat bahasa Melayu telah benar-benar mengalami proses islamisasi dan aksara Arab-Melayu telah mulai mantap dan luas digunakan. Selanjutnya bahasa Melayu Pasai dan aksara Arab-Melayu Pasai inilah yang digunakan oleh penulis Muslim di Asia Tenggara sehingga akhir abad ke-19 M sebagai bahasa pergaulan utama di bidang intelektual, perdagangan dan dan administrasi.
Karya-karya intelektual Muslim awal yang juga lahir di lingkungan kesultanan Samudera Pasai ialah berupa saduran beberapa hikayat Persi, seperti Hikayat Muhammad Ali Hanafia, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman dan lain-lain. Dua hikayat pertama adalah cerita kepahlawanan yang didasarkan atas sejarah pahlawan Islam pada periode awal penyebaran agama ini.
Dalam Sejarah Melayu (1607 M) Tun Sri Lanang menyebutkan bahwa dua hikayat ini sangat digemari di Malaka pada akhir abad ke-15 M dan orang-orang Malaka membacanya untuk membangkitkan semangat perang mereka melawan Portugis. Tun Sri Lanang juga menyebutkan kegemaran orang orang Malaka dan sultan mereka terhadap tasawuf. Sebuah kitab Tasawuf Dur al-Manzum karangan Maulana Abu Ishaq telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Abdullah Patakan, seorang ulama terkenal dari Pasai, memenuhi permintaan Mansyur Syah, Sultan Malaka pertengahan abad ke-15 M. Baik penyuduran maupun terjemahan karya-karya Arab Parsi ini dilakukan dalam rangka pribumisasi kebudayaan Islam, agar kebudayaan Islam tidak asing bagi masyarakat Asia Tenggara. Dengan demikian Islam dapat dijadikan cermin dan rujukan untuk memandang, memahami dan menafsirkan realitas kehidupan.
Kerajaan Samudra Pasai muncul seiringan dengan mundurnya peranan maritim kerajaan Sriwijaya yang sebelumnya memegang peranan penting di kawasan Sumatera dan sekelilingnya. Sesuai dengan posisi geografisnya, kerajaan maritim ini lebih mengandalkan perdagangan dan pelayaran sebagai basis perekonomiannya, karena ia tidak mempunyai basis agraris. Pengawasannya terhadapan perdagangan dan pelayaran memungkinkannya untuk memiliki otoritas dalam memperoleh penghasilan dan pajak yang besar.
Tome Pires menyebutkan bahwa setiap kapal yang membawa barang-barang dari Barat dikenakan pajak sebanyak 6%. Karena itu menurut Badri Yatim bahwa Samudera Pasai pada waktu itu ditinjau dari segi geografis dan sosial ekonomi memang merupakan suatu daerah yang penting sebagai penghubung antara pusat-pusat perdagangan yang terdapat di kepulauan Indonesia, india, Cina dan Arab. Ia merupakan pusat perdagangan yang sangat penting. Adanya mata uang dirham membuktikan bahwa kerajaan ini pada saat itu merupakan kerajaan yang makmur.
Pada mata uang dirham dari Samudra Pasai tertulis nama-nama sultan yang memerintah Samudera Pasai pada abad ke-14 M dan 15. M H.K.J. Cowan adalah salah seorang yang telah melakukan penelitian terhadap mata uang tersebut untuk menggali lebih jauh tentang kerajaan Samudera Pasai. Dari mata uang tersebut dapat diketahui nama-nama raja yang memerintah dan urut-urutannya, Sultan Malik as-Saleh, memerintah sampai tahun 1207 M, Muhammad Malik az-Zahir (1297-1326 M), Mahmud Malik az-Zahir (1326-1345 M), Mansur Malik az-Zahir (1345-1346 M), Ahmad Malik az-Zahir (1346-1383 M), Zainal Abidin Malik al-Zahir (1383-1405 M), Nahrasiyah (1405-?), Abu Zaid Malik az-Zahir (?-1445 M), Mahmud Malik az-Zahir (1445-1477 M), Zain al-Abidin (1477-1500 M), Abdullah Malik az-Zahir (1501-1513 M), Zain al-Abidin (1513-1524 M).
Kerajaan ini bertahan sampai 1521 M ketika Portugis kemudian menguasainya selama tiga tahun, setelah itu pada tahun 1524 M, kerajaan ini dianeksasi oleh raja Aceh, Ali Mughayat Syah, untuk selanjutnya berada di bawah kekuasaan kesultanan Aceh Darussalam. Sehubungan dengan kegiatan kebudayaan dan penyebaran agama Islam, setelah Pasai mengalami pengunduran, pusat kegiatan kebudayaan dan penyebaran pindah ke Malaka (1400-1511 M) dan setelah Malaka ditaklukkan Portugis, pusat kegiatan tersebut pindah ke Aceh Darussalam (1516-1700 M).
Referensi :
Bukit, AH. 1960. “Hikayat Raja-Raja Pasai”. Jurnal Royal Asiatic Society Cabang Malaya, 33 (2 (190), 1-215.
Edyar, Busman, dkk. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka Asatruss.
El-Ibrahimy, & M Nur. 1993. Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Hamid, AR. 2021. Jalur Rempah dan Islamisasi Nusantara: Jaringan Samudera Pasai Abad XIII–XVI. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 23 (3).
Shihabuddin A., & Roza E. 2023. Sejarah Uang Dirham Kesultanan Samudera Pasai: Kontribusi terhadap Peradaban Islam di Indonesia. Al-Aulia: Jurnal Pendidikan dan Ilmu-Ilmu Keislaman, 9(2), 171-186.
Yakin, AU. 2015. Islamisasi dan Syariatisasi Samudera-Pasai Abad Ke-14 Masehi. Islamica: Jurnal Studi Keislaman, 9 (2), 269-294.
Yatim, Badri. 2007. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Pers.
Kontributor: M Aldy Kurniadi, Semester III
Editor: S. Yayu. M