Menyingkap Kisah Tiga Khalifah Pengukir Sejarah Dinasti Abbasiyah

Menyingkap Kisah Tiga Khalifah Pengukir Sejarah Dinasti Abbasiyah

Ma’had Aly – Seperti yang telah diketahui bahwa tonggak berdirinya Dinasti Bani Abbassiyah, berawal sejak merapuhnya sisteminternal dan performance penguasa dari Bani Umayyah yang berujung pada keruntuhan Dinasti Umayah di Damaskus. Nama Dinasti Abbasiyah itu sendiri diambil dari nama salah satu seorang paman nabi yang bernama al-Abbas Ibn Abd Muthalib Ibn Hisyam. Di kalangan Bani Abbassiyah ini,terdapat sebutan Fatihah (pembukaan), Wasithah (Penengah), dan Khatimah (Penutup). Yang disebut sebagai pembuka itu merupakan al-Manshur (w. 775 M), sebagai penengah yaitu Al-Ma’mun (w. 833 M) sedangkan sebagai penutup yaitu Al-Mu’tadhid (w. 902 M).

Seperti yang telah diketahui pada masa Dinasti Abbasiyah ini, terdapat berbagai kemajuan dalam berbagai bidang pada setiap masa pemerintahan. Seperti pada masa pemerintahan al-Manshur, yang terkenal sebagai pelopor gerakan penerjemahan Karena pada masanya  usaha-usaha menterjemahkan buku-buku pengetahuan dari bahasa asing ke bahasa Arab mulai dikembangkan. Ia bahkan mempekerjakan orang-orang Persia untuk menerjemahkan karya-karya berbahasa Persia, di antaranya yaitu buku tentang ketatanegaraan (Kalila wa Dimnadan Shindind). Sedangkan manuskrip yang berbahasa Yunani, seperti Logika karya Aristoteles, Almagest karya Ptolemy, Arithmetic karya Nicomachu dari Gerasa dan Geometri karya Euclid.

Penerjemahan dari bahasa asing  tersebut tentu memiliki tujuan khusus salah satunya yaitu bertujuan untuk lebih memudahkan orang-orang Islam dalam mengkaji suatu ilmu dari bahasa asing. Selain itu hal tersebut, perguruan tinggi ketabiban di Jundishapur yang dibangun oleh Khosru Anusirwan (351-579 M) seorang Kaisar Persia, dihidupkan kembali dengan tenaga-tenaga pengajar dari tabib-tabib Grik dan Roma yang menjadi tawanan perang. Ia mengajak banyak ulama dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Baghdad. Ia juga mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dengan memperbanyak pembukuan ilmu agama, seperti fikih, tafsir, tauhid, hadits, dan ilmu lain seperti bahasa dan sastra.

Pada masanya pula, lahir para pujangga, pengarang dan penterjemah yang hebat, termasuk Ibnu Muqaffak (w. 759 M) yang telah menterjemahkan buku Khalilah dan Dimnah dari bahasa Parsi atau bahasa Persia.

Proyek besar yang lain pada masa pemerintahanya yaitu pelaksanaan pembangunan kota Baghdad atau Madinah as-Salam sebagai ibu kota Daulah Abbasiyah. Ia memilih lokasi di belahan timur Sungai Tigris. Perlu diketahui bahwa selain Tigris di kota tersebut juga terdapat sungai Eufrat yang memungkinkan untuk para penduduk disana mendapatkan semua hasil bumi Suriah. Diketahui pula, bahwa sungai Tigris dan Eufrat ini merupakan saluran air yang berada ditengah-tengah kota Bashrah, Kufah, dan Wasid, serta dekat dengan daratan, lautan danpegunungan, dengan salah satu alasan itulah Khalifah al-Manshur kemudian memilih lokasi tersebut sebagai ibu kota.

Pembangunan kota Baghdad itu sendiri dimulai pada tahun 144 H, ada pula sumber lain yang mengatakan bahwa kota Baghdad mulai dibangun pada tahun 140 H. Pembangunan ini selesai pada tahun 148 H/ 766 M. Kurang lebih selama empat tahun pembangunan tersebut berlangsung. Diketahui bahwa Khalifah al-Manshur dalam upaya pembangunan ibu kota tersebut menghabiskan biaya sebanyak 4.883.000 dirham, dan pekerjanya kurang lebih sebanyak seratus ribu arsitek, pengrajin, dan buruh yang berasal dari Suriah dan daerah lainnya dalam wilayah kekuasaan kerajaan. Batu-batu granit dalam jumlah besar dipergunakan sehingga kota Baghdad tampak  anggun, indah, dan megah.

Ada sebuah ungkapan dari Muhyiddin al-Khayyat yang menuturkan, “Ia (Khalifah al-Manshur) membangun ibu kota berbentuk bundar agar rakyat biasa tidak terlau dekat dengan penguasa. Ia membangun Istana yang  di tengah-tengahnya ada Masjid Agung di samping istana.” Kurang lebih demikianlah kemajuan pada masa pemerintahan al-Manshur.

Berbeda lagi pada masa kepemimpinan Harun Ar-Rasyid. Pada masanya terdapat 14 masyarakat hidup cukup mewah, seperti yang digambarkan dalam hikayat yang telah Mashur yaitu hikayat “Seribu Satu Malam” yang nampaknya sudah sangat tidak asing lagi didengar. Pada masanya pula, berbagai kekayaan banyak dipergunakan oleh Khalifah untuk kepentingan sosial. Seperti halnya Rumahsakit banyak didirikan, pendidikan dokter diutamakan dan farmasi mulai dikembangkan. Terdapat tokoh bernama Yuhanna Yahya ibn Masawayh (w. 857 M) yang menerjemahkan beberapa manuskrip tentang kedokteran yang dibawa oleh khalifah dari Ankara dan Amorium. Pada saat itu pula, Bagdad telah mempunyai 800 dokter.

Pada masa pemerintahan Khalifah Harun, meskipun usianya kurang dari setengah abad, Namun Baghdad pada saat itu muncul menjadi pusat dunia dengan tingkat kemakmuran dan peran internasional yang luar biasa. Serangan ke tanah Romawi pada masa KhalifahHarun menjadi jalan masuk manuskrip Yunani. Terutama dari Amorium dan Ankara. Bahkan Baghdad menjadi saingan satu-satunya Bizantium. Kejayaannya berjalanseiring dengan kemakmuran kerajaan. pada masa itu Baghdad menjadi kota yang tiada bandingnya di seluruh dunia.

Begitulah bani Abbasiyah membawa peradaban Islam pada puncakkejayaannya, terutama pada perkembangan ilmu pengetahuan. Pada masa inilah, pertama kalinya dalam sejarah terjadi kontak antara Islam dengan kebudayaan Barat dan menjadi suatu dinasti paling terkenal dalam sejarah Islam hingga saat ini. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa ‘ Khalifah al-Mansur merupakan Sang Pembuka, al-Ma’mun Sang Penengah dan al-Mu’tadhid Sang Penutup’ dapat dikatakan mendekati kebenaran karena setelah al-Watsiq pemerintahan pada Dinasti Abbasiyah mulai menurun hingga al-Mu’tashim, khalifah ke 37, jatuh dan mengalami kehancuran di tangan orang Mongol pada 1258 M.

Perlu disinggung pula, bahwa pada masa Khalifah al-Makmun terdapat tokoh bernama Hunayn ibn Ishaq (w. 873 M). ia dijuluki “ketua para penerjemah” (sebutan orang Arab), seorang sarjana dan figur terhormat. Khalifah Makmun mengangkatnya menjadi pengawas perpustakaan akademinya juga bertugas untuk menerjemahkankarya-karya ilmiah. Jika dimasa sebelumnya penulisan sejarah dilakukan berdasarkan legenda dan anekdot pada masa pra-Islam. Juga didasarkan pada tradisi keagamaan yang berkisar pada nama dan kehidupan Nabi. Namun, saat dinasti Abbasiyah berkuasa, penulisan sejarah mengalami kemajuan. Penulisan dilekatkan pada legenda, tradisi, biografi, geneologi, dan narasi. Sejarah juga diriwayatkan melalui penuturan para saksi atau orang yang sezaman dengan penulis. Ini dilakukan melalui sejumlah mata rantai para saksi sejarah. Metode ini dinilai telah menjamin keakuratan data bahkan hingga penanggalan.

Referensi

Ali Muhammad Ash-Shalabi, Sejarah Daulah Umawiyah dan Abbasiyah, Terj. Imam Fauji. Jakarta: Ummul Qura, 2016

Faisal Ismail. Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: IRCiSoD, 2017

Imam As-Suyuti. Tarikh Khulafa, Terj. Samson Rahman Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2000

Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet RiyadiJakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002

Serli Mahroes. 2015. Kebangkitan Pendidikan Bani Abbasiyah Perspektif Sejarah Pendidikan Islam : Jurnal Tarbiyah Volume 1 No. 1 (77-108)

 

Oleh: Aulal Musyafiul Aliya Dewi, Semester IV

Leave a Reply