Tiga Faktor Penyebab Terjadinya Perang Salib

Tiga Faktor Penyebab Terjadinya Perang Salib

Perang Salib dilatarbelakangi oleh kebencian yang begitu mendalam pada diri orang-orang Kristen Eropa terhadap kaum muslimin di Timur. Kebencian itu diawali dari perebutan wilayah Romawi Byzantium di berbagai wilayah seperti Syiria, Mesir, Afrika Utara, dan Andalusia. Mereka terpukul dan bingung harus berbuat apa melihat kemajuan yang dicapai oleh kaum muslimin.

Prof. Dr. Didin Saefuddin Buchori menyatakan, penyebutan “Perang Salib” karena orang-orang Kristen Eropa memakai salib di dadanya dalam rangka simbol pemersatu, yang menunjukan peperangan tersebut merupakan peperangan yang suci (Perang Agama). Tujuan utama perang ini ialah untuk membebaskan kota suci Jerussalem atau Baitul Maqdis dari genggaman kaum Muslimin.

Secara umum ada tiga faktor utama yang menyebabkan terjadinya Perang Salib, yaitu faktor agama, faktor politik dan faktor ekonomi.

  1. Faktor agama

Baitul Maqdis sebagai tempat suci orang Kristen jatuh ke genggaman Islam yaitu Bani Saljuk. Saat itu Bani Saljuk dapat memperluas kekuasaannya ke daerah Byzantium, dengan merebut Armenia dan Asia kecil. Hal itu terjadi pada masa Alp Arselan dan Malik Syah (1063-1092 M), lalu tahun 471 H Dinasti Saljuk dapat merebut Baitul Maqdis dari genggaman Dinasti Fatimiyah. Dalam hal ini orang Kristen tidak dapat lagi bebas berziarah ke tempat suci mereka, karena penguasa Bani Saljuk menetapkan berbagai aturan kepada peziarah. Bagi orang Kristen Eropa hal tersebut sangat menyulitkan, sehingga perlu mengkampanyekan pembebasan Baitul Maqdis dari genggaman Bani Saljuk.

Bagi orang-orang Kristen Eropa, berziarah ke Baitul Maqdis dapat menghapuskan dosa dan memperoleh kebahagiaan yang abadi. Karena keyakinan ini, upaya yang dilakukan oleh Paus Urbanus II untuk mengobarkan perang suci bukan saja dapat menyemangati golongan atas Eropa, tetapi juga membakar semangat rakyat bawah untuk bangkit dalam perang suci tersebut.

  1. Faktor politik

Peningkatan status sosial dapat dijadikan sebagai salah satu motif yang mendorong sebagian orang Eropa untuk berperang. Budak-budak yang bekerja di kebun-kebun mendapat peluang untuk memperoleh kemerdekaan melalui perang ini. Siapa yang ikut perang maka mereka akan dimerdekakan.

Kekalahan Byzantium dalam pertempuran Manzikert tahun 1071 M, juga jatuhnya Armenia dan Asia kecil ke genggaman Bani Saljuk yang mana hal itu membuat geram orang Kristen Eropa. Kaisar Alexius Comnenus meminta bantuan kepada Paus Urbanus II untuk memulihkan kekuasaannya di daerah yang diduduki Bani Saljuk, dengan cara menyatukan seluruh pasukan dari raja barat untuk melakukan peperangan yang kemudian mereka sebut dengan perang suci.

  1. Faktor ekonomi

Para pedagang kota Venesia, Genoa, dan Pisa berambisi merebut sejumlah kota dagang di sepanjang pantai timur laut Tengah guna untuk memperluas jaringan perdagangan mereka. Oleh karena itu, mereka rela menanggung sebagian dana perang dengan maksud apabila pihak sekutu memperoleh kemenangan maka kawasan itu dijadikan sebagai pusat perdagangan. Pasalnya melalui jalur strategi tersebut, jalur Eropa dengan sendirinya akan bersambung dengan rute-rute perdagangan timur.

Perang Salib terbagi dalam berbagai tahapan tersendiri. Awal perang ditandai dengan pidato Paus Urbanus II di bagian tenggara Prancis tentang hasutan Negara dan bangsa Eropa untuk merebut kota suci Palestina. Pidato ini berhasil menghimpun sejumlah pendukung perang. Philip K. Hitti menyebut pidato ini sebagai probably the most effective speech in history (pidato paling berpengaruh dalam sejarah). Perang Salib berlangsung selama dua abad, yakni mulai tahun 1005-1291 M.

Tahapan pertama yaitu tahapan penaklukan. Gelombang pertama pasukan salib terdiri atas orang-orang Kristen yang spontan menyambut seruan Paus. Berjumlah 150.000, mereka merupakan golongan rakyat jelata yang sudah terbiasa merampok, menjarah, membunuh dan membantai penduduk yang tidak berdosa, juga bentrok dengan penduduk Hungaria dan Byzantium. Namun gerakan sporadis ini dapat dikalahkan oleh pasukan Bani Saljuk. Ekspedisi militer orang Kristen yang sebenarnya adalah yang dipimpin oleh Godfrey of Buillon, dan setelah dua tahun perjalanan perjuangan akhirnya pada tanggal 7 juni 1099 M kota Jerussalem berhasil diduduki oleh pasukan salib.

Penaklukkan kota Jerussalem oleh tentara salib sangat menarik perhatian para sejarawan karena perilaku orang-orang Kristen dengan kebengisan dan kekejamannya dibandingkan dengan pasukan Islam yang kala itu menaklukan kota yang sama. Ketika sampai di kota suci, diberitakan bahwa kuda orang Kristen berenang sampai sebatas lututnya. Tumpukan tangan dan kaki manusia berserakan di sepanjang alun-alun kota suci. Menurut Ibnu al-Atsir, terdapat sejumlah 70.000 dari kaum muslimin yang gugur.

            Akibat peperangan ini, berdirilah empat kerajaan Latin Kristen di Syam dan Palestina yaitu:

  1. Kerajaan Baitul Maqdis yang diperintah oleh Godfrey of Buillon
  2. Kerajaan Edessa (oleh Boldwin)
  3. Kerajaan Antiokia (oleh Bohemond)
  4. Kerajaan Tripoli (oleh Raymond)

Memasuki tahapan yang kedua, yaitu reaksi umat Islam saat wilayah Islam jatuh ke tangan tentara salib membangkitkan kekuatan guna merebut kembali wilayah tersebut. Dalam upaya merebut kembali Baitul Maqdis atau Jerusslem, muncullah tokoh yang bernama Imaduddin Zanki dari dinasti Zankiyah. Ia memerintah dari tahun 1127-1146 M, dan berhasil menguasai Aleppo, Harran, dan Mosul terutama Edessa. Dari perjuangan ini menandai dimulainya perlawanan umat Islam dalam merebut kembali Baitul Maqdis tahun 1144 M.

Tahun 1147 M, terjadi peperangan antara tentara Salib dengan tentara Islam yang dipimpin oleh Nuruddin Zanki (putra Imaduddin Zanki) di Damaskus. Peperangan ini dimenangkan oleh tentara Islam sekaligus menyelamatkan Damaskus dari genggaman tentara Salib.

Pada tahapan ini pula muncul sosok pahlawan Islam yang masyhur yaitu Salahuddin al-Ayyubi dari Dinasti Ayyubiah. Ia berhasil merebut kembali Baitul Maqdis dari genggaman tentara Salib pada 2 Oktober 1189 M. Ketika tersebar kabar jatuhnya kota Jerussalem ke tangan Islam, hal ini menggemparkan Eropa sekaligus membangkitkan kembali semangat kaum Kristen untuk melakukan ekspedisi militer yang lebih kuat. Ekspedisi ini dipimpin oleh raja-raja Eropa terkemuka yaitu: Raja Frederick Barbarosa dari Jerman, Raja Richard  (The Lion Heart) dari Inggris dan Raja Philip August dari Prancis. Akan tetapi pemberangkatan pasukan tidak dilakukan bersama-sama. Rombongan Raja Frederick melalui jalur darat, namun ia tewas saat menyeberangi sungai di Armenia dan tentaranya terpisah, sebagian ada yang kembali ke Eropa dan sebagian meneruskan perjalanan. Raja Richard menempuh jalur laut dan Raja Philip langsung ke Acre.

Meskipun tentara Salib berhasil menduduki Acre, hal itu tidak membuat posisi mereka stabil karena mereka tidak merasa tentram. Lemahnya keadaan mereka, dapat mendorong terjadinya gencatan senjata antara Salahuddin al-Ayyubi dan Raja Richard pada tanggal 2 November 1192 M. Akhirnya kesepakatan lahir dalam pertempuran ini, yaitu :

  1. Daerah pedalaman menjadi milik kaum Muslimin dan peziarah Kristen dijamin keamanannya.
  2. Daerah pantai menjadi milik orang Latin.

Memasuki tahapan yang ketiga yaitu, tahapan kehancuran atau disebut tahapan perang saudara kecil-kecilan. Penyebutan itu bukan tanpa alasan, karena sering terjadinya perselisihan di antara tentara salib dan berakhir tahun 1291 M. Pada tahapan ketiga ini, aksi tentara Salib lebih didorong oleh ambisi-ambisi politik untuk memperoleh kekuasaan dan hal-hal yang bersifat material dan tujuan pembebasan kota suci Jerussalem seolah-olah terlupakan. Hal ini terlihat ketika tentara Salib yang dipersiapkan untuk menyerang Mesir tahun 1203 M tiba-tiba membelok ke Konstantinopel untuk merebut kekuasaan lalu mendudukinya, juga Boldwin ditunjuk sebagai raja sehingga menjadikannya raja Latin pertama yang berkuasa di Konstantinopel.

Kekalahan yang dialami oleh tentara Salib disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain karena terjadinya perselisihan internal yang pada umumnya disebabkan oleh perebutan kekuasaan di berbagai daerah yang diduduki. Pun antar satu kerajaan dengan kerajaan lainnya tidak terwujud kerja sama yang baik, dan krisis kepemimpinan terjadi di daerah-daerah kekuasaan tentara Salib. Sementara di pihak lain, umat Islam berhasil mengurangi pertikaian internal mereka, lalu menjalin persatuan dan kerja sama dalam menghadapi tentara Salib.

Oleh : Ahmad Rifa’i Fadlillah, Semester V

Leave a Reply