Suara Sumbang Di Masa Transisi Kekuasaan: Aib Politik Dinasti atau Ilusi Demokrasi?

Suara Sumbang Di Masa Transisi Kekuasaan: Aib Politik Dinasti atau Ilusi Demokrasi?

MAHADALYJAKARTA.COM – Dalam konsep kesejarahan, pada pemerintahan terdapat proses transisi kepemimpinan dan fase peralihan estafet kewenangan terhadap takhta kekuasaan maka pasti akan diadakan suatu perayaan pesta rakyat secara periodik yang bersumber dari sistem sosial adaptif dan hal ini juga merupakan bentuk konsekuensi di tengah proses kelahiran kesadaran akan maslahat bersama. Pada saat ini, perayaan itu dikenal dengan istilah pemilu atau pemilihan umum. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kekosongan kepemimpinan yang dapat memicu pergolakan terhadap keamanan dan kestabilan wilayah. Namun banyak yang mempertanyakan sistem sosial mana yang paling efisien dan relevan diimplementasikan oleh setiap individu rakyat untuk menjaga keutuhan bangsa itu sendiri? Dari sekian banyaknya sistem sosial, maka sistem yang mana yang layak dan sesuai untuk dijadikan acuan baku untuk melanjutkan kemajuan dan perkembangan atau menyempurnakan kekurangan program oleh otoritas lembaga terdahulu yang pernah ada?

Maka jawabannya adalah Tidak ada. Tidak ada sistem baku yang bisa dijadikan sebagai acuan konkret yang dapat memberikan garansi jaminan atas keberlangsungan pengembangan dan kemajuan hasil dari suatu proses pelaksanaan program generasi terdahulu karena banyak dari ragam tersebut yang awalnya tidak memiliki istilah dan tidak pernah diberi nama. Serta juga karakter kultur masyarakat yang dinamis dewasa ini menuntut toleransi, modernisasi, pengembangan simultan, serta penyegaran teknis yang berkala. Walhasil, kekakuan dan kebakuan sistem hanya akan melukai konsep dan pelaksana konsep itu sendiri.

Dalam contoh, semisal praktik autokrasi dalam melanggengkan kepemimpinan, autokrasi itu sendiri lebih dulu muncul daripada kelahiran “istilah” autokrasinya. Bisa jadi autokrasi atau bahkan sistem monarki sangat layak digunakan di kawasan teluk Arab atau pada zaman masyhurnya penggunaan istilah khilafah, negara Islam, kesultanan, dan kerajaan (pasca wafatnya baginda nabi sampai abad 20 akhir). Setelah dianalisis, motif dan faktor apa yang melatarbelakangi pewarisan kepemimpinan ini (semacam monarki, istilah sekarang: politik dinasti) kepada keluarga sendiri lebih populer pada kala itu adalah fanatisme. Bahkan Ibnu Khaldun menyatakan ‘ashabiyah (ta’ashub) solidaritas, fanatisme, dan keteguhan percaya sebab sedarah-kesukuan dapat menjanjikan tumbuhnya embrio suatu entitas komunitas madani sejahtera yang berangkat dengan kesadaran sosialisme dan populisme. Istilah pewarisan takhta lewat ideologi kepada keturunan ini juga pernah dinyatakan oleh Ibnu Katsir dengan konsep terminologi Arab washiyatul aba’ ‘ala al-abna’ (doktrinisasi generasi pendahulu kepada generasi penerus) dalam karangannya Al-Bidayah wa An-Nihayah tentang kasus dakwah Nabi Nuh As yang tertolak sebab doktrin pendahulu penyembah berhala kepada generasi mudanya. Meskipun berbeda kasus antara taktik doktrinisasi dan pewarisan kepada generasi tapi kedua kasus ini memiliki kekerabatan pilar. Keduanya memiliki asas kesukuan, persaudaraan, kekeluargaan, dan solidaritas sedarah yang akhirnya memberikan konsekuensi paripurna berupa garansi potensial dalam bentuk karakter program dan pola kepemimpinan lintas generasi yang seiras atau seirama.

Selain itu juga tidak bisa kita elakkan bahwa kelahiran praktik monarki dan autokrasi ini juga berpotensi disebabkan oleh para pendahulu yang memiliki conflictofinterest baik berupa ambisi pribadi, atensi akan pembudidayaan kelestarian program sepihak, konsep, ideologi, atau ekspresi lainnya yang berupa kewujudan hasil eksistensialis. Demikian pada akhirnya dua bilah sisi pedang ketajaman analisa memunculkan evaluasi berupa pertanyaan, apakah politik dinasti yang populer kala ini dan yang dimaksudkan dalam narasi-narasi media itu melukai etika politik yang ada? Atau ini hanya propaganda oleh media yang difungsikan untuk mengalihkan fokus konsentrasi rakyat seharusnya? Apakah isu politik dinasti ini hanya berupa sirkus selingan sebelum pada akhirnya dilanjutkan dengan manuver seri drama teatrikal yang memuluskan kepentingan beberapa pihak? Di tengah gelimpang absurditas kemajemukan paham yang ada maka tidak ada jawaban yang pasti untuk 3 poin di atas.

Selain monarki dan autokrasi (konsep populer kini: politik dinasti), terdapat antitesis yang paling populer yaitu istilah demokrasi. Akhir-akhir ini banyak sekali individu-individu yang mengagungkan ide demokrasi baik dari mereka yang benar-benar telah menghayati dengan kesungguhan paham akan kandungan demokrasi atau hanya sekedar “membeo” (beo trend, budak viralitas media). Sebenarnya apa itu demokrasi? Apakah demokrasi hanya berupa kesadaran tiap-tiap individu berhak bersuara sehingga menyuarakan pendapatnya tanpa batasan? Benarkah demokrasi berangkat dari ketulusan moral atau hanya dalih komunitas hipokrit untuk melanjutkan tradisi kongsi bagi hasil eksploitasi fasilitas negara?

Praktik demokrasi yang pada permulaannya hadir sebagai gagasan, juga secara praktik sebagai ekspresi tingkah laku masyarakat dalam kemajemukan intelektualitas dan berfungsi sebagai imunitas serta segel pengaman atas publicpolicy (dalam proses checkandbalance). Karena secara konsep, demokrasi dapat dideskripsikan sebagai posisi fundamental kesadaran setiap elemen kemasyarakatan terhadap gejolak sosial yang ada (baik respon terhadap propaganda atau sikap tegak lurus konsisten terhadap fakta) sesuai dengan padanan porsi kompetensi masing-masing sehingga suara yang dikeluarkan berupa resolusi terhadap ketimpangan yang ada dan bukan berupa suara sumbang lebah yang tidak tahu arah atau tersesat tanpa tahu alamat lalu salah memilih sarang objek problematik untuk pulang diselesaikan.

Demokrasi memiliki latar belakang berupa cinta kebebasan, kemerdekaan, persamaan hak, dan kewajiban. Hal ini kemudian dalam pemerintahan, difungsikan untuk menjaga sejauh mana presidentialformatau executiveformofgoverment dapat mengintervensi dan memproduksi kebijakan. Parlemen atau legislatif yang merupakan anak kandung dari inang yang bernama demokrasi pada akhirnya mengawasi tindak tanduk dari setiap sudut kebijakan atau regulasi yang dilahirkan dari rahim eksekutif pemerintahan. Sehingga tidak dapat dipungkiri jika dilihat dari analogi konseptual fungsi demokrasi ini, maka lembaga legislatif sebagai representasi demokrasi harus memiliki spirit kecintaan terhadap moral maslahat dan kepekaan akan mencegah mafsadat. Demikian demokrasi tidak boleh dikampanyekan hanya untuk memenangkan hal yang sepele atau kepentingan sesaat, contoh untuk memenangkan suara rakyat dalam pemilu nanti.

Dimensi pola kejadian di masa lampau yang berulang, kemudian pola itu dinarasikan para tokoh zaman dan mereka pula yang menjadikannya sebagai sebuah landasan berupa teori, lalu teori-teori ini diaplikasikan dan diadaptasi dalam bentuk wacana modifikasi (prototipe atau purwarupa) sebagai respons terhadap tantangan di masa kini. Jika kita melihat sejarah di mana kepemimpinan pada masa akhir (1959-1965) kekuasaan presiden pertama Indonesia Ir. Sukarno, ditampakkan suatu produk sistem yang terbarukan dalam sajak melankolis bernama demokrasi terpimpin.

Dideklarasikannya demokrasi terpimpin menjadi suatu pertanda dan momentum awal berakhirnya riwayat kekuasaan sang putra fajar. Oposisi politiknya pun berbalas pantun sebagai respons atas deklarasi ini dan meyakinkan banyak pihak bahwa demokrasi terpimpin ini kelak akan membahayakan kesatuan bangsa yang baru berumur seusia biji jagung. Demikian serial drama politik disajikan dalam orientasi fokus memakzulkan Ir. Sukarno sebagai klimaks akhir runtuhnya permainan domino pada puncak pergelaran Gerakan 30 September. Maka banyaknya subtraksi ragam dan jenis demokrasi ini pada akhirnya juga tidak bisa menjawab ketidakpastian dan kegelisahan sosial yang tengah dihadapi.

Maka, di antara autokrasi, demokrasi, monarki, politik dinasti, dan sebagainya manakah yang paling layak diterapkan di Indonesia? Entahlah, dalam membaca sejarah melalui sorot konsep teologis, diyakini Tuhan selalu mengintervensi lukisan ciptaannya sebagai mahakarya agung lewat catatan takdir. Maka Tuhan dengan kedigdayaan kuasa-Nya akan mengarahkan nurani masyarakat heterogen ini, entah kelak diseragamkan dalam kesepahaman atau dibiarkan dalam keberagaman hingga para hamba akan belajar mengerti makna simbolis Bhinneka Tunggal Ika.

Referensi:

Effendy, Bahtiar. 2011.  Islam dan Negara. (Jakarta: Democarcy Project)

Russel, Bertrand. t.t. A Historyof Western Philosophy. (New York: Simon and Schuster)

Utsman, Fathi. 1988. Al-Madkhal Ila At-Tarikh Al-Islamiy. (Beirut: Darun Nafais)

Katsir, Ibnu. t.t. Al-Bidayah wa An-Nihayah. (Arab Saudi: Baitul Afkar Ad-Dauliyah)

Khaldun, Ibnu. 2004. Muqadimah. (Damaskus: Daru Ya’rub)

Loon, Van. 2009. The Storyof Mankind. (USA: Wilder Publication)

Stanley, Jason. 2015. How Propaganda Works. (UK: Princeton University Press)

Editor: Daffa Claudio Irvansyah

Leave a Reply