MAHADALYJAKARTA.COM – Di kota Makkah yang panas, terik, dan tandus. Tiga belas tahun setelah peristiwa tahun gajah, lahirlah Umar bin Khattab. Dia tumbuh dewasa di bawah asuhan orang tua yang mewariskan karakter keras seakan tidak kenal kelembutan, tegas tanpa rasa ragu, serta sederhana serta jauh dari kemewahan dan kekayaan untuk memenuhi setiap keinginannya.
Ayahnya yang bernama Al-Khattab dan ibundanya bernama Hantamah binti Hasyim bin Al-Mughirah, ia sendiri bernama Al-Khattab. Pada masa kecilnya Umar sudah mempunyai sikap mandiri dan tangguh karena ayahnya yang begitu tegas dan keras terhadapnya. Sebagaimana anak-anak Quraisy pada umumnya, ia diberi tanggung jawab oleh orang tuanya untuk mengembala domba dan unta. Ia tidak hanya mengembala milik ayahnya, tetapi milik beberapa bibinya dari Bani Makhzhum.
BACA JUGA: Umar bin Khattab: Khalifah Khalifati Rasulillah saw.
Tempat ia mengembala ialah padang rumput Zajnan, sekitar 10 mil dari Qudaid, tidak begitu jauh dari Makkah. Tidak hanya mengembala, Umar bin Khattab juga pandai dalam membaca dan menulis. Di mana pada masa itu sangat minim orang yang pandai baca-tulis. Ia juga pandai mengubah syair hingga dikenal sebagai Kitab Diwan Berjalan karena berhasil menghimpun syair-syair Arab pilihan dari para penyair terkemuka. Ia juga biasa diundang di berbagai acara dan festival untuk berpidato membacakan syair-syairnya. Salah satu syair Umar bin Khattab ditulis ketika ia sedang mengembala sendirian di lembah hingga waktu petang.
Tidak ada keceriaan yang bersemi di wajahnya. Tuhan kan kekal, sedang harta dan anak akan binasa.
Ia tidak pernah merasa cukup dengan gudang hartanya yang hina itu.
Telah kuupayakan agar tetap abadi, tapi mereka semua tak kan abadi.
Tidak lupa Sulaiman. Padahal angin, manusia dan jin tunduk padanya.
Ke mana kesudahan para raja? di mana para delegasi yang dahaga datang dari segala penjuru ke danau istana?
Suatu hari nanti tempat kembali itu pasti akan didatangi, sebagaimana mereka semua mendatanginya.
Pada bulan Dzulhijah tahun 6 kenabian, Umar bin Khattab memeluk agama Islam. Peristiwa ini membuat keributan orang-orang Quraisy, tetapi bagi kaum muslimin menjadi bagian penting kejayaan agama Islam. Karena Umar bin Khattab adalah orang yang paling ditakuti oleh penduduk Makkah dan kini menjadi salah satu orang yang membela agama Islam.
Sebelum memasuki Islam, Umar bin Khattab sangat menghormati agama nenek moyangnya. Jika ada yang mengusik agamanya ia tidak akan tinggal diam, tatkala ia mengetahui bahwa adanya agama baru di bawah pimpinan Muhammad saw. yaitu agama Islam. Agama yang mengajak orang-orang Makkah untuk beriman kepada Allah Swt. dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala. Perstiwa itu membuat Umar bin Khattab sangat marah, sehingga ia tidak segan-segan menyiksa kaum muslimin serta ingin membunuh Nabi Muhammad saw.
Pada cuaca yang sangat panas disertai dengan amarah, ia keluar rumah dengan membawa pedang yang sudah menjadi ciri khasnya. Kini Umar bin Khattab sedang menuju ke rumah Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Tempat Rasulullah saw. dengan para sahabat beliau. Di perjalanan ia bertemu dengan Nu’aim bin Abdullah.
Nu’aim bertanya, “Ya, Umar, hendak ke mana engkau?”
“Ingin membunuh Muhammad yang sudah memecahbelahkan kita, menghina berhala-hala kita, mengejek nenek moyang, dan keturunan kita,” jawab Umar.
“Ya, Umar! Coba kau selesaikan dulu masalh keluargamu,” nasihat Nu’aim.
“Ada apa dengan keluargaku? Apakah ada masalah?” tanya Umar.
“Sesungguhnya saudara ipar sekaligus sepupumu, Sa’id bin Zaid dan saudara kandungmu Fatimah binti Khattab telah masuk Islam sekaligus menjadi pengikut Muhammad,” kata Nu’aim.
Mendengar hal itu, amarah Umar bin Khattab semakin membara, ia bergegas menuju rumah adik kandungnya itu. Sedangkan dikediaman Fatimah dan suaminya Sa’id bin Zaid sedang kedatangan Khabbab bin Arat yang sedang membacakan surah Taha kepada suami isteri tersebut. Saat itu, Umar telah sampai di rumah Fatimah, ia langsung mengetuk pintu dan mengatakan bahwa ia adalah Umar. Mengetahui hal itu, Khabbab bin Arat langsung lari ke bagian belakang rumah, Fatimah binti Khattab dengan sergap menyembunyikan lembaran Al-Qur’an.
Setelah Umar bin Khattab masuk, ia langsung bertanya, “Apa yang baru saja aku dengar dari kalian?” Karena sebelum Umar memasuki rumah Fatimah, ia sempat mendengar bacaan Khabbab bin Arat.
“Kami tidak mendengar apa-apa,” jawab keduanya.
“Tidak! Aku mendengarnya. Jangan kalian sembunyikan apa pun dariku. Demi Tuhan! Aku telah mendengar bahwa kalian mengikuti ajaran Muhammad dan mengkhianati agama nenek moyang kita,” ucap Umar.
Umar bin Khattab mendekati adik iparnya itu, memukulnya hingga terpental. Melihat itu, Fatimah segera melindungi suaminya, Umar bin Khattab lantas memukul adiknya hingga berdarah. Umar bin Khattab menyesali perbuatannya yang kasar.
“Berikanlah lembaran yang kalian baca tadi, agar aku bisa melihat apa yang dibawa Muhammad,” ucap Umar bin Khattab.
“Kami khawatir kau akan merusaknya,” jawab Fatimah binti Khattab.
“Jangan takut, aku tidak akan merusaknya,” elak Umar bin Khattab.
“Tetapi, kau masih najis dalam keadaan musyrik, sedangkan lembaran itu hanya boleh disentuh oleh orang-orang yang suci,” jawab Fatimah binti Khattab.
BACA JUGA: Profil Sang Amirul Mukminin: Umar bin Khattab dengan Segala Keunggulannya
Umar bin Khattab bergegas bangun lalu membasuh dirinya. Fatimah pun menyerahkan lembaran itu kepada kakaknya, Umar bin Khattab langsung membaca surah Thaha. Setelah membacanya, jiwa Umar bin Khattab bergetar, hatinya yang keras menjadi lembut, ia tidak pernah melihat kalam yang begitu indah dan mulia ini.
“Wahai Fatimah, beritahu aku di mana keberadaan Muhammad?” tanya Umar bin Khattab.
“Aku tidak akan memberitahu, jika kamu hendak mencelakai Nabi Muhammad saw.,” jawab Fatimah binti Khattab.
“Aku tidak akan mencelakainya, jadi beritahulah di mana dia?” tanya Umar bin Khattab kembali.
Saat mendengar perkataan Umar bin Khattab itu, Khabbab segera keluar dari persembunyiannya, sembari berkata “Wahai Umar, berbahagialah karena sesungguhnya aku berharap engkaulah yang dimaksud dalam doa Rasulullah saw. “Ya, Allah! Muliakanlah Islam ini dengan salah seorang dari dua orang yang paling engkau cintai, Umar bin Khattab atau Abu Jahal bin Hisyam.”
“Beritahu aku di mana Muhammad wahai Khabbab, Aku ingin menemuinya,” ucap Umar bin Khattab.
“Beliau berada di sebuah rumah Shafah bersama para sahabatnya,” jawab Khabbab.
Umar memungut pedangnya, lalu bergegas menuju rumah yang dimaksudnya. Tiba di depan rumah itu, segera diketuknya pintu. Mendengar suara Umar, tidak ada satu pun sahabat yang berani membukakan pintu.
“Ada apa dengan kalian?” tanya Hamzah.
“Umar bin Khattab berada di luar, kami tidak berani untuk membukakannya pintu,” jawab mereka.
“Umar bin Khattab! Bukakanlah pintu untuknya, jika ia berniat baik kita akan membantunya. Jika ia datang dengan niat yang buruk, kita akan membunuhnya dengan pedangnya sendiri,” ucap Hamzah lantang.
Dibukakanlah pintu untuk Umar bin Khattab, lalu mereka membawanya kehadapan Nabi Muhammad saw.
“Mengapa kau ingin menemuiku, wahai Umar?” tanya Nabi Muhammad saw.
“Ya, Muhammad, saya datang kemari ingin menemui Anda. Saya berikrar tiada Tuhan selain Allah dan engkau adalah utusannya, saya juga mempercayai apa yang engkau bawa dari sisi-Nya,” jawab Umar dengan gemetar dan menangis.
Mendengar hal itu, Nabi Muhammad saw. dan para sahabat bertakbir “Allahu akbar!”
Dapat kita ambil dari kisah Umar bin Khattab, bahwasanya begitu banyak orang yang terpaksa lahir dalam keluarga yang bukan Islam. Akan tetapi ada juga yang diberi hidayah oleh Allah Swt., digerakan hatinya ingin masuk Islam, bukan dengan cara yang mudah, mereka terpaksa menyembunyikan keislamannya karena takut ketahuan dan dimarahi oleh keluarganya. Bahkan banyak yang tidak dianggap keluarga lagi oleh kedua orang tuanya. Dengan itu kita harus bersyukur karena diberi nikmat yang begitu besar yakni terlahir dalam keadaan Islam. Bersyukur dengan menjalankan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah Swt. (//)
REFERENSI:
As-Shalabi Ali Muhammad, Biografi Umar bin Khattab, Terj. Khoirul Amru Harapan dan Akhmad Faozan, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2013.
Al-Azizi Abdul Syukur, Umar bin Khattab Ra, Yogyakarta: Diva Press, 2021.
Rohim Abdul, Jejak Langkah Umar bin Khattab, Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia, 2021.
Murad Musthafa, Kisah Hidup Umar Ibn Khattab, Terj. Ahmad Ginanjar Sya’ban dan Lulu M. Sunman, Jakarta: Dar al-Fajr, 2007.
Ahmad Fazl, Kisah Empat Khalifah, Terj. Zulkarnaen Ishak, Yogyakarta: Media Firdaus, 2018.
Kontributor: Oktavia Ramadhani, Semester III
Penyunting Bahasa: Isa Saburai