Review Diskusi Ilmiah Lintas Literasi Sejarah
Rabu, 07 Agustus 2019
Ma’had Aly – Sunan Kalijaga merupakan salah satu dari Wali Songo yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Nama asli Sunan Kalijaga yaitu Raden Said. Untuk penamaan Kalijaga sendiri, ada versi yang menyebutkan bahwa nama tersebut diberikan oleh Sunan Bonang karena bentuk kesetiaannya dalam menjaga sungai. Ada juga yang mengatakan bahwa namanya diambil dari bahasa Arab, “Qodli Dzaqa”, Qodli yang berarti bijaksana sedangkan Dzaqa artinya cerdas, pintar, bisa memutuskan suatu hukum atau fatwa, dan ada yang mengatakan bahwa nama Kalijaga itu diambil dari nama dusun di Cirebon.
Penyebaran dakwah Sunan Kalijaga menggunakan metode wayang, berbeda dengan dakwahnya para wali yang lain. Metode ini menyesuaikan dengan kebudayaan lokal pada saat itu. Kebudayaan yang masih kental dengan kebudayaan Hindu-Budha. Jika metode Hindu -Budha ketika pertunjukan wayang syarat masuknya yaitu dengan menghafal para dewa, sedangkan untuk menyaksikan pertunjukan wayang Sunan Kalijaga yaitu dengan melafalkan dua kalimat Syahadat. Dalam hal ini, Sunan Kalijaga tidak langsung menghilangkan kebudayaan keyakinan yang dipegang teguh masyarakat, namun sedikit demi sedikit disisipkan dengan ajaran Islam, sehingga lebih diterima oleh masyarakat. Seperti dalam tembang, suluk, upacara grebek syawal dan maulid, pertunjukan wayang yang didalamnya sudah disisipkan tentang ajaran Islam. Yang paling terkenal yaitu tembang Lir-Ilir yang merupakan salah satu tembang yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga, tembang ini berisi tentang mendekatkan diri kepada Allah.
Adapun contoh kebudayaan lainnya yaitu Masjid Agung Demak dengan arsitektur atapnya tiga tingkat yaitu diartikan sebagai Iman, Islam, Ihsan. Pembangunan masjid tersebut juga kayunya berasal dari potongan-potongan kayu yang disusun untuk membuat tiang-tiang masjid. Makna dari susunan potongan kayu tersebut yaitu gotong royong, sekecil apapun kontribusi kita jika dilakukan gotong royong maka akan kokoh, sama halnya dengan masjid Agung demak tersebut sampai sekarang masih berdiri kokoh dan kuat. Pembahasan kali ini sangat menarik memang, sehingga muncullah beberapa pertanyaan:
Pertanyaan pertama dari Robihul Imam Fiddaroini, “Kenapa Sunan Kalijaga ketika berdakwah itu berbeda dengan walisongo yang lainnya, ketika walisongo yang lain memakai jubah atau gamis Sunan Kalijaga memakai pakaian Jawa dan blangkon. Apa maksud dari simbol pakaian tersebut?”
Narasumber menjawab, “Sebetulnya kita dapat menyimpulkan demikian karena data empirik yang kita terima dari poster walisongo. Sehingga kita menyimpulkan bahwa keseharian sunan Kalijaga identik dengan blangkon dan baju batik. Namun, pakaian tersebut dipengaruhi oleh teknik marketing penjualan poster walisongo. Perbedaan dalam cara berpakaian walisongo menjadi estetika seni, sehingga menarik para pembeli. Dan jika memang sunan Kalijaga memakai blangkon dan baju adat Jawa semata-mata sebagai bentuk dakwah beliau melalui kebudayaan.”
Pertanyaan kedua dari Muhamad Abror, “Sunan Kalijaga di antara sistem dakwahnya ialah dalam bidang arsitektur, dan mayoritas dakwah yang digunakannya ialah akulturasi. Adakah contoh dakwah Sunan Kalijaga dalam bentuk asimilasi?”
“Asimilasi dakwah Sunan Kalijaga, narasumber belum mempunyai jawaban mendalam tentang hal tersebut. Sebelumnya asimilasi adalah pemahaman pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk satu kebudayaan baru. Contohnya adalah tahlil, sebab kebudayaan awalnya yaitu acara berkumpul untuk membaca mantra-mantra, kemudian diganti dengan kalimat-kalimat thayyibah. Ciri khas kebudayaan lama dihilangkan dan diganti, kemudian terciptalah kebudayaan baru yaitu tahlilan”
Pertanyaan ketiga dari Siti Mila Azka Maimunah, “Dalam kebudayaan Jawa ada istilah kejawen, salah satu dari kebudayaan itu ritual-ritual dalam acara pernikahan seperti pemandian dan lain-lain. Apakah Sunan Kalijaga pernah melakukan ritual tersebut?”
“Kalau melihat metode Sunan Kalijaga dalam hal kebudayaan, beliau pasti menghiasi corak-corak tradisi tersebut. Contoh pingit, tidak diperkenankan bertemu dan berinteraksi antara kedua calon pengantin. Hal ini tidak bertentangan dengan syariat, sehingga diperbolehkan. Ada lagi tradisi pemandian, thaharah sendiri dalam Islam sangat dianjurkan, dan lagi, tidak bertentangan dalam syariat Islam.” (Mila/Iis)