Religi Jawa pada Metamorfosis Kupu-kupu dan Laron

Religi Jawa pada Metamorfosis Kupu-kupu dan Laron

Metamorfosis merupakan proses sejarah hidup yang dilalui oleh seekor kupu-kupu sebelum menjadi bentuk kupu-kupu yang sempurna. Sebelum berbentuk indah sebagai kupu-kupu, ia melalui beberapa fase perubahan dari ulat menjadi kepompong. Perubahan bentuk pada diri kupu-kupu inilah yang menjadi esensi religius (hal yang berkaitan dengan keagamaan) orang Jawa yang melalui sebuah perjalanan panjang disertai metamorfosa budaya.

Ketika masih berbentuk ulat ia banyak makan daun-daunan. Proses ini digambarkan bahwa orang Jawa berkeinginan menggebu-gebu mencari kefanaan duniawi. Hal ini sangat berbahaya bagi keselamatan orang Jawa apabila mengutamakan masalah duniawi.

Kepompong/enthung, adalah gambaran bagi orang Jawa dalam hal spiritual. Orang Jawa melakukan semedi/tirakat dengan puasa tanpa minum dan makan selama berhari-hari dan sulit untuk berkomunikasi kecuali dengan syarat. Ketika semedi itu berhasil maka hasilnya digambarkan seperti halnya kupu-kupu. Dalam artian orang yang bersemedi tersebut sukses menghilangkan belenggu hidup, disegani semua orang, sebab sikap dan tingkah lakunya berbeda dari sebelumnya, juga memiliki pengalaman mistik yang luar biasa. Dari semedi, mereka mendapatkan pengalaman batin yang menjadi sinyal/ jalan kemudahan menuju sang pencipta. Pengalaman batin inilah ibarat seekor kupu-kupu yang dapat terbang kesana kemari yang merupakan keindahan bagi tiap yang melihatnya.

Dalam sebuah buku Kejawen berjudul Serat Kaca Wirangi (1992) dikisahkan bahwa figur kepompong yang berubah menjadi kupu-kupu menjadi simbol orang Jawa yang telah berhasil mencapai kesempurnaan hidup. Kupu-kupu dapat melihat keindahan aneka bunga berwarna-warni di taman setelah menjadi kupu-kupu yang sempurna. Keindahan diidentikkan dengan kesempurnaan hidup, sehingga kupu-kupu pun merasa nyaman berada di sekumpulan bunga yang beraneka ragam warnanya. Meluapkan kegembiraan seraya menampakkan keunggulan dan kelebihannya masing-masing pada kumpulannya. Kupu-kupu warna putih, merah, ungu, biru, hijau dan hitam semua memiliki kelebihan masing-masing. Keindahan warna kupu-kupu itu identik dengan pengalaman mistik Kejawen. Pengalaman seperti ini tidak sepatutnya disombongkan karena hal itu hanya bersifat subjektif. Pengalaman itu hanya bisa dinikmati oleh seseorang sebagai kesempurnaan hidup apabila ia bisa meletakkan makna pengalaman pada posisi sesungguhnya. Baik-buruk itu bergantung pada persepektif mereka masing-masing.

Dari metamorfosis kupu-kupu disimpulkan bahwa proses kehidupan itu bertahap, mulai dari seekor ulat yang menjijikkan, kemudian menuju alam kepompong/enthung sampai menjadi kupu-kupu yang begitu indah. Dan kesemuanya itu memerlukan perjuangan dan usaha yang begitu berat, juga rintangan yang bertubi-tubi. Semua itu gambaran bahwa manusia di dunia mengalami perjalanan mistik yang diawali dari dunia yang rentan akan menuruti hawa nafsu, menuju semedi/tirakat sehingga mencapai kesempurnaan dan hal tersebut merupakan benih untuk mencapai keluhuran budi.

Pengalaman mistik kupu-kupu dengan laron agak sedikit berbeda. Keduanya sama-sama hidup dalam proses metafisik. Salah satu keunikan dari laron adalah selalu terpesona ketika melihat cahaya terang seperti lampu. Karena ketika ia keluar dari sarangnya, tujuan pencariannya adalah cahaya. Hal ini menjadi ilustrasi kehidupan bagi orang Jawa yang selalu sibuk menemukan cahaya Tuhan, dan sinar terang adalah gambaran sinar ketuhanan. Pada proses ini laron rela membenturkan sayap dan dirinya pada lampu hanya untuk berjuang memperoleh cahaya.

Kehidupan orang Jawa diibaratkan seperti kehidupan laron yang merupakan cermin emosi ketuhanan dengan keinginan untuk menyatukan dirinya dengan Tuhan begitu kuat. Jadi baik kupu-kupu ataupun laron merupakan refleksi perjalanan mistik Kejawen ke arah Wahdatul Wujud. Kedua hewan tersebut sama-sama melakukan proses semedi/bertapa  sebagai upaya “mencari Tuhan”. Perbedaannya jika kupu-kupu harus melalui beberapa tahapan sedangkan laron langsung mendekatkan diri melalui emosi ketuhanan.

Seekor laron yang terbang menggapai sinar lampu hingga sayapnya terbakar merupakan refleksi keyakinan seorang penghayat ketika hendak mencapai tingkat Kemanunggalan (tingkat penyatuan diri dengan Tuhan). Ketika laron keluar dari sarangnya, secepat kilat mengepakkan sayapnya, kemudian terbang ke angkasa untuk menggapai cahaya terang. Pada saat itu laron dalam keadaan kebingungan karena berada dalam kegelapan dalam sarang, karenanya ia selalu mencari cahaya untuknya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan kondisi seseorang yang ingin menyatukan dirinya dengan Tuhan, dengan keinginan menemukan cahaya yang hakiki dari sinar Ketuhanan.

Tindakan spiritual laron mencerminkan sebuah filosofi keterpikatan dalam bentuk emosi religi yang Maha Hebat. Cahaya lampu yang menjadi impian setiap laron, sama halnya dengan cahaya yang ingin diraih oleh seorang yang sedang bersemedi/bertapa.

Bagi orang awam, mungkin melihat kehidupan laron layaknya malapetaka. Padahal mereka tidak tahu bahwa laron membenturkan sayapnya ke cahaya hingga sayapnya lepas merupakan proses penyatuan batin dengan kehidupan hakiki. Dari situlah ia menemukan kelezatan rasa sejatinya kehidupan. Pengalaman ini disebut dengan ektase, sedangkan dalam konteks mistik Kejawen pengalaman ini dinamakan pengalaman ma’rifat.

Hadiwidjono menyatakan bahwa di Jawa telah terjadi sinkretisme antara agama Siwa, Hindhu, Buddha, dan Islam yang diramu menjadi bentuk Kebatinan Jawa. Sinkretisme juga yang menyebabkan adanya paham agama dengan filosofi metamorfosis kupu-kupu dan laron semakin sulit dibedakan. Filosofi kupu-kupu maupun laron keduanya sama-sama melakukan proses untuk menemukan eksistensi diri, alam semesta, dan Tuhan.

Berdasarkan kisah kupu-kupu dan laron tersebut, berarti tingkat religius orang Jawa lebih terikat dengan pengalaman mistik yang bersifat subyektif, misterius, abstrak, dan menuju kepada ketuhanan.

 

Dikutip dari Buku Prof. Dr. Suwardi Endraswara, yang berjudul Agama Jawa: Ajaran, Amalan, dan Asal-usul Kejawen; dan buku Muhammad Sulton Fatoni, Islam Nusantara.

 

 Oleh : Badriyatul Latifah, Semester V

 

Leave a Reply