MAHADALYJAKARTA.COM – Proses sejarah al-Qur’an hingga menjadi satu rangkaian mushaf yang utuh seperti yang kita pegang di masa sekarang ini tidak lepas dari proses dan tahapan panjang yang mengiringi pemeliharaannya. Ada dua metode yang mecakup pemeliharaan wahyu al-Qur’an, yakni dengan cara penghafalan (hifzan) dan pembukuan (kitabatan). Dalam literatur klasik ulum al-Qur’an dikenal dengan istilah jam’ul al-Qur’an yang berarti pengumpulan.
Pada awalnya, upaya pemeliharaan al-Qur’an di zaman Rasulullah Saw dilakukan dengan metode menghafal sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw sendiri beserta para sahabat. Selama kurun waktu 23 tahun masa pewahyuan, Rasulullah Saw mengajarkan dan memperdengarkan ayat yang diterima kepada sahabat secara lisan. Meski demikian, bukan berarti dengan kuatnya hafalan para sahabat lantas menjadikan Rasulullah Saw luput akan pentingnnya baca-tulis. Pada masa Rasulullah Saw apabila wahyu turun, maka para sahabat menyegerakan untuk menghafalkannya dan Rasulullah Saw akan memerintahkan para sahabat untuk menulis wahyu tersebut termasuk diantaranya Zaid bin Tsabit, mereka inilah yang kemudian disebut sebagai al-qurra’.
Berdasarkan kebiasaan tersebut dapat dikatakan bahwa pada masa itu, budaya penulisan al-Qur’an sudah dilakukan bahkan telah sempurna, namun naskah-naskahnya masih tercecer disebabkan penulisannya yang bervariatif. Sebagaimana yang dikatakan az-Zarqani “…Rasulullah Saw memberi petunjuk kepada mereka letak ayat atau surah yang harus ditulis. Sehingga mereka menuliskannya pada apa saja yang dapat digunakan untuk menulis seperti pelepah kurma, bebatuan, daun, kulit binatang, dan tulang-tulang. Kemudian semua yang sudah ditulis dikumpulkan dirumah Rasulullah Saw, sehingga ketika Rasulullah Saw wafat al-Qur’an telah terkumpul seperti itu adanya.” Maka dapat dikatakan bahwa pada masa Rasulullah Saw secara keseluruhan wahyu telah ditulis semua, namun pada masa itu belum ada upaya untuk mengkodifikasi al-Qur’an secara utuh dalam satu mushaf.
Al-Qur’an awalnya tidaklah berbentuk satu mushaf seperti yang kita kenal di zaman sekarang ini melainkan berbentuk Shuhuf kata jamak yang bermakna lembaran atau kertas. Lantas mengapa shuhuf-shuhuf tersebut tidak ditulis dan dikumpulkan dalam satu mushaf di zaman ketika Rasulullah Saw masih hidup? Dalam Kitab Attibyan Fi Ulumil Qur’an menjelaskan mengapa hal tersebut tidak dilakukan di zaman Rasulullah Saw.
- Karena wahyu turun kepada Rasulullah Saw tidak sekaligus 30 juz, melainkan secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Maka, tidak mungkin dilakukan pembukuan al-Qur’an sebelum ayat-ayatnya turun secara keseluruhan.
- Al-Qur’an turun tidak sistematis berurutan al-Fatihah hingga an-Nas, melainkan secara tematik yakni berdasarkan kejadian-kejadian yang menandakan bahwa al-Qur’an turun bukan hanya untuk dijadikan bacaan melainkan untuk dijadikan pedoman dalam menjawab kehidupan manusia.
- Adanya beberapa ayat-ayat al-qur’an yang mansukh dibatalkan atau diganti.
- Jarak antara turunnya wahyu terakhir dengan wafatnya Rasulullah Saw terbilang cukup singkat sehingga dinilai tidak mungkin untuk membukukan al-Qur’an.
- Tidak adanya faktor-faktor yang mendorong agar dilakukannya kodifikasi di zaman Rasulullah Saw karena al-Qur’an masih terpelihara dengan baik dalam hafalan para sahabat.
Setelah berakhirnya proses turunnya wahyu yang berarti wafatnnya Nabi, tampuk kekuasaan Islam kemudian dipimpin oleh Khulafa ar-Rasyidin. Lantas pada pemerintahan Khalifah Abu Bakar sebagai khalifah pertama terjadi beberapa perang melawan kelompok pembangkang yang enggang membayar zakat, kaum murtad dan kelompok yang mengaku sebagai nabi. Diantara perang tersebut yang paling besar adalah peperangan Yamamah yakni peperangan dibawah pimpinan Khalid bin Walid melawan pasukan Musailamah al-Kazzab si nabi palsu. Peperangan ini melibatkan para sahabat yang sebagian besar para penghafal al-Qur’an, tidak kurang dari 70 sahabat penghafal al-Qur’an syahid dan mengakibatkan sebagian al-Qur’an musnah.
Umar bin Khattab memandang kondisi ini sebagai ancaman terhadap eksistensi al-Qur’an, dikhawatirkan al-Qur’an akan berangsur-angsur hilang jika hanya mengandalkan hafalan para sahabat semata. Umar kemudian mengusulkan agar dilakukan pembukuan al-Qur’an dengan cara menulis dan mengumpulkannya dalam satu mushaf sebagai bentuk pemeliharaan tehadap al-Qur’an. Dalam menanggapi usulan tersebut, Abu Bakar awalnya ragu karena takut hal tersebut akan mendatangkan dosa lantaran pada masa Rasulullah Saw tidak pernah dilakukan. Akan tetapi karena desakan Umar akhirnya Abu Bakar menyetujui dan menunjuk sahabat Zaid bin Tsabit sebagai ketua kodifikasi al-Qur’an.
Tim kodifikasi ditugaskan untuk mengumpulkan al-Qur’an dengan melacak dan menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur’an baik berupa hafalan para sahabat maupun ayat-ayat tertulis yang tercecer. Pengumpulan al-Qur’an ini dilakukan Zaid bin Tsabit dengan sangat selektif dalam artinya, tidak semua setoran dari para sahabat diterima begitu saja dengan tangan terbuka, melainkan ada beberapa ketentuan-tertentuan diantaranya, harus disertai bukti bahwa ayat tersebut tertulis dan dihafal. Adapun penulisan ayat al-Qur’an harus dipersaksikan kepada dua orang sahabat bahwa ayat-ayat tersebut memang ditulis dihadapan Nabi pada saat beliau masih hidup.
Tugas penulisan al-Qur’an dilaksanakan oleh Zaid bin Tsabit dalam kurun waktu satu tahun sejak setelah perang Yamamah. Setelah serangkaian penulisan selesai, kompilasi al-Qur’an tersebut dikenal dengan istilah shuhuf yang secara literal berarti lembaran, disimpan oleh Abu Bakar hingga wafat. Kemudian disimpan dan dijaga dengan ketat di bawah tanggungjawab Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua. Pasca Umar bin Khattab wafat naskah al-Qur’an tersebut kemudian diserahkan kepada Hafshah untuk disimpan dengan pertimbangan, bahwa ia adalah putri Abu Bakar sekaligus istri Rasulullah saw. Pada masa Umar ini hanya dilakukan penjagaan sehingga al-Qur’an mengalami stagnasi, artinya tidak ada pembaruan apapun baik pengkodifikasian atau penggantian tulisan.
Setelah wafatnya Umar bin Khattab, kekhalifahan dilanjutkan oleh Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga. Pada masa ini dunia Islam banyak mengalami perkembangan. Banyak diantara penghafal al-Qur’an dikirim ke berbagai wilayah untuk menjadi imam sekaligus mengajarkan al-Qur’an. Dalam proses penyebaran al-Qur’an masing-masing sahabat memiliki versi qira’at yang berbeda, hingga dalam suatu ekspedisi milliter terjadilah perselisihan qira’at (multiple reading) antara penduduk Syiriah dan Irak saat penaklukan Armenia dan Azerbaijan tahun 28 H. Sebagaimana yang diketahui, bahwa penduduk Syam ber-talaqqi kepada al-Miqdad bin al-Aswad sementara penduduk Irak belajar al-Qur’an kepada Ibnu Mas’ud dan Abu Musa al-Asy’ari. Masing-masing mereka mengklaim bahwa qira’at merekalah yang lebih shahih, bahkan hampir saling mengkafirkan.
Melihat hal tersebut salah seorang sahabat yakni Hudzaifah ibn al-Yaman tanpa berpikir panjang memutuskan untuk menemui Utsman dan berkata “Wahai Amirul Mu’minin, satukanlah umat ini dengan satu bacaan mushaf sebelum mereka berselisih sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani berselisih karena kitab-kitab mereka.”
Latar belakang perbedaan bacaan ini kemudian menjadikan Utsman berinisiatif untuk melakukan kodifikasi al-Qur’an periode ketiga. Berbeda dengan masa Abu Bakar, pada masa ini kodifikasi dilakukan bukan karena keberadaan al-Qur’an yang masih tercecer melainkan untuk menyeragamkan bacaan dengan cara menyalin kembali al-Qur’an. Utsman kemudian membentuk lajnah kodifikasi mushaf dengan menunjuk dua belas sahabat termasuk Zaid bin Tsabit sebagai ketuanya.
Riwayat menyebutkan bahwa shuhuf yang pertama kali dikumpulkan di zaman Abu Bakar yang berada dalam kepemilikan Hafshah kemudian dijadikan basis kodifikasi Utsman. Kodifikasi kemudian dilakukan dengan sangat cermat dan teliti, terlihat pada pengambilan lafadz-lafadz yang diriwayatkan secara mutawatir, menyingkirkan lafadz yang dinasikh dan lafadz yang diragukan. Sebelum menulis dan menetapkan lafadz yang disepakati, tim kodifikasi akan menghimpun dan merundingkan semua jenis qira’at yang dikenal oleh para sahabat. Utsman juga mengingatkan apabila didapati perbedaan pendapat pada bacaan yang digunakan, maka akan ditulis mengikut pada dialek Quraisy, sebab al-Qur’an diturunkan menurut dialek mereka. Penyusunan al-Qur’an juga dilakukan dengan sistematika al-Qur’an sesuai dengan susunan surah dan ayat seperti urutan pada mushaf-mushaf sekarang. Selain itu tim juga menyisihkan segala sesuatu yang bukan al-Qur’an, seperti catatan-catatan kaki para sahabat yang ditulis sebagai penjelas atas suatu bagian al-Qur’an atau penjelasan tentang nasikh dan mansukh.
Setelah menyalin shuhuf itu, Utsman kemudian mengembalikannya kepada Hafshah. Adapun al-Qur’an yang telah disalin dinamai “al-Mushaf” dari penyalinan tersebut al-Qur’an kemudian digandakan menjadi lima buah kemudian dikirim ke berbagai wilayah yakni Mekkah, Syiria (syam), Kuffah, dan Basrah. Adapun satu mushaf yang tersisa ditinggalkan di Madinah untuk Utsman dan dikenal dengan sebutan “Mushaf al-Imam”. Kemudian untuk mencegah pertikaian dikalangan umat, maka Utsman memerintahkan agar mengumpulkan dan membakar hangus seluruh rekaman tertulis al-Qur’an yang telah ada sebelumnya baik dalam bentuk fragmen maupun kodeks.
Hasil kodifikasi di zaman Utsman tercatat dalam sejarah cukup efektif dalam ranah standarisasi teks al-Qur’an untuk mengikat persatuan umat dan menjadi kodifikasi terakhir umat Islam dalam penyatuan bacaan. Artinya, dari penyalinan mushaf zaman Utsman ini maka tidak ada lagi fase pembukuan dan standarisasi berikutnya, maka kaum muslimin diseluruh pelosok menyalinnya dalam bentuk yang sama dengan model dan metode penulisan zaman Utsman yang dikenal dengan “Rasm Utsmani atau Rasm al-Mushafi”.
Mengapa rasm tersebut tidak dinamai Rasm Muhammad atau Rasm Abu Bakar padahal sumbernya tidak bisa dipisahkan dari masa keduanya? Singkatnya, penamaan Rasm Utsmani sebagai standar penulisan mushaf merupakan suatu penghargaan atas jasa Khalifah Utsman bin Affan dalam penyatuan qira’at melalui sistem penulisan.
Referensi:
Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Qur’an, terj. Nashirul Haq, Abdul Ghafur, et all, cet.2, (Jakarta: al-Huda, 2012).
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-qur’an, (Jakarta: PT Pustaka Alvabet, 2013).
Anshori, Ulumul Qur’an; Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, (Jakarta: Rajawali Press, 2013).
Manna’ Khaliil al-Qattan, Studi Ilmi-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakkir, cet. 16, (Bogor: Pustaka Literal Antar Nusa, 2013).
Muhammad Quraish Shihab, Sejarah & Ulum al-Qur’an, cet.4, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).\
Kontributor: Nurul Zakinah Hairuddin, Semester IV
Editor: Dalimah NH