Ma’had Aly – Konstantinopel telah meninggalkan kisah dan pengalaman tersendiri bagi seorang pengembara Muslim yang masih merupakan wilayah kekuasaan Kristen. Orang-orang Byzantium sendiri menganggap bahwa mereka adalah golongan yang menjadi pewaris dan pengawal kebudayaan Romawi. Kisah petualangan Ibnu Battutah di Konstantinopel telah berakhir setelah ketetapan yang diambil oleh Putri Bayalun yang kembali masuk Kristen. Lalu, ia berniat kembali menghadap kepada Sultan Uzbek di Saraa untuk menceritakan keputusan istrinya tersebut.
Ibnu Battutah kembali memulai perjalanannya bersama syarif dari Karbala yang bernama Ali bin Mansur menuju kota Khawarizm. Kota tersebut masih berada dibawah kekuasaan Sultan Uzbek. Setibanya di sana, ia menuju masjid dan madrasah yang berada di kota tersebut. Ia bertemu dengan amir kota Khawarizm, yang bernama Quthludumur dan seorang qadhi bernama Abu Shadr bin Abu Hafsh Umar al Bakri. Setelah singgah di sana, ia bersama Afifudin at Tauziri meninggalkan kota Khawarizm untuk melanjutkan perjalanan menuju Bukhara. Mereka sempat singgah di kota Alkat, Wabkanah dan Fatah Abad. Sampai di Bukhara, ia berziarah ke makam Abu Abdullah al Bukhari dan ulama lainnya.
Setelah meninggalkan Bukhara, mereka melalui kota Nahsyab dan berlanjut menuju tempat bala tentara Sultan Alaudin Tharramasyirin, penguasa Transoxiana. Ia tinggal di camp tentara itu selama 54 hari di akhir musim dingin tahun 1333 M. kemudian, ia pergi meninggalkan camp itu menuju India. Ia melintasi tanah Hindu Kush menuju dataran Indus pada akhir musim semi tahun 1333 M. Tiba di Qunduz, ia berkemah selama beberapa minggu di sekitar hulu Sungai Amu Darya. Kemudian mereka berjalan melalui Sungai Andarab dan melintasi perbatasan di rute Khawak Pass, lalu berjalan menuruni Lembah Panjshir, melewati Charikar, Dataran Kaboul, ia bertemu Gubernur Chagatay di kota Ghazna, kemudian melintasi pegunungan Sulayman melalui Khyber Pass.
Pada tahun 734 H/1333 M, mereka berhasil mencapai daratan Indus. Kemudian mereka pergi menuju Lahore bersama ‘Alaul Mulk. Kemudian meneruskan perjalanan untuk menemui para ulama menuju kota Bakar, Ujah, dan singgah selama 2 bulan di Multan. Pada akhir musim dingin tahun 1334 M, mereka meninggalkan Multan dan memasuki India ketika datang di kota Abu Har. Setelahnya, mereka melalui Benteng Abu Bakhar, kota Ajudahan, Sarsati, Abjore, lalu pergi menuju ke istana baru di kota Jahanpanah.
Pada tanggal 8 Juni 1334 M, ia diperintah Sultan Muhammad Tughluq untuk bertemu dirinya dan kemudian mengikuti iringan menuju kota Delhi. Di Delhi, ia akan bekerja dibawah kuasa Sultan Muhammad yang menjabat sebagai qadhi al kudat (Hakim Kepala). Ia akan memperoleh gaji tahunan sebesar 12.000 dinar perak. Setengah tahun awalnya berada di kota Delhi ia habiskan dengan urusan ekonomi pribadinya. Selain sebagai hakim, ia juga diangkat menjadi seorang administrator mausoleum Qutbh al Din Mubarak. Kemudian selama dua setengah tahun berikutnya, ia merenovasi rumahnya dan membangun masjid di sampingnya. Selama itu, ia diberi tanggung jawab atas setiap masalah disana, salah satunya yaitu kelaparan yang terjadi pada tahun 1335 M selama 7 tahun di India Utara. Pada musim panas tahun 1335/1336 M, ia menyelidiki kasus penahanan pengiriman gandum di wilayah Amroha, seberang Sungai Gangga. Akhirnya, ia bertemu dengan Aziz al Khammar di sebuah desa Sungai Sarju dan berhasil memintanya untuk mengangkut gandum ke kota Delhi.
Ketika Sultan Muhammad sedang berada di Daulatabad, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh aliansi Gubernur Halajun dan Qaljand di sekitar Lahore. Ibnu Battutah sendiri juga ikut berpartisipasi dalam perang ini, dan kemenangan pun diraih oleh mereka. Pada pertengahan tahun 1341 M, Sultan Muhammad kemudian pindah ke Sungai Gangga ketika kota Delhi mengalami musim paceklik dan bermukim disana selama dua setengah tahun dengan dibantu oleh Raja Ainul Malik.
Pada tanggal 17 Safar 742 H/2 Agustus 1341 M, Ibnu Battutah meninggalkan Delhi untuk pergi menuju China bersama 15 utusan China yang bersiap kembali ke tanah asal mereka. Perjalanan menuju China ini merupakan sebuah perintah dari Sultan Muhammad kepadanya untuk menemui Raja China. Mereka melakukan perjalanan dari Delhi melalui Daulatabad dan menuju Cambay dengan diiringi pasukan pengawal kedutaan yang dipimpin amir Muhammad al Harawi, hingga kemudian tiba di pelabuhan Gandhar. Mereka kemudian berlayar melewati Chaul, Sandapur, singgah di Honavar. Setelah tiga minggu berlayar mencoba keluar dari Honavar, mereka berlabuh di pelabuhan Callicut.
Ketika saat waktu keberangkatan ia tidak jadi meneruskan pelayaran itu karena ruangan kapal yang terlalu sempit baginya. Ia bermukim cukup lama di Callicut. Akhirnya, mereka berlayar kembali dan singgah pada Desember 1343 M di pantai Kinalos, Maladewa. Ibnu Battutah juga menyempatkan diri singgah di Sri Lanka sebelum akhirnya kembali lagi ke Male, Maladewa. Ia kemudian menggabungkan diri dengan kelompok migrasi Muslim melewati Sri Lanka, kemudian melalui Teluk Benggala. Perjalanan mereka kemungkinan terjadi pada kisaran antara tahun 1345-1346 M, dari Sri Lanka melalui Selat Malaka dengan singgah di Chittagong, bertemu Shah Jalal di Sylhet, lalu Sonarganon, Barah Nagor, Kakulla, bertemu Sultan Malik az Zahir di Samudera Pasai, lalu Malaya Timur, Champa sebelum akhirnya tiba di China pada akhir tahun 1346 M. Selama di China, ia mengunjungi Chu’an-Chou, Canton (Guangzhou), Hang-Chou, Qanjafu (Fuzhou), Peking. Setelah itu, ia meninggalkan China untuk kembali menuju Quilon, pantai selatan Malabar.
Pada bulan Ramadhan 747 H/Desember 1346 M, Ibnu Battutah tiba di pantai Quilon dan tinggal disana hingga hari Idul Fitri. Setelah itu, ia sudah berniat kembali ke kampung halamannya dengan menyusuri Callicut ke Malabar untuk kemudian berlayar menuju Zafar, pelabuhan di Arabia Selatan. Pada bulan Muharram 748 H/April 1347 M, ia tiba di Zafar. Setelah itu, ia berlayar melalui Teluk Oman dan Selat Hurmuz. Dan kemudian pada bulan Syawal 748 H/Januari 1348 M, ia singgah di Baghdad lalu menyeberangi gurun Suriah melalui Palmyra dan mencapai Damaskus pada akhir musim dingin tahun 1348 M.
Pada akhir bulan Juli, ia meneruskan perjalanan memasuki Palestina, Yudea, Gaza dan menuju Mekkah lalu melaksanakan thawaf pada tanggal 16 November 1348 M dan kemudian tinggal disana selama 4 bulan. Setelah itu, ia memutuskan untuk perfi ke Kairo melalui rute Madinah, Yerussalem dan Sinai. Kemudian ia berlayar sepanjang pantai Cyrenaican, Tripolitanian dan ke pelabuhan Gabes pada tanggal 31 Mei 1349 M, sekaligus merayakan Maulid Nabi bersama penduduk setempat. Ibnu Battutah sempat singgah dalam perjalanannya di kota Tunis selama sebulan, kemudian menaiki kapal Catalonia yang sempat singgah di Cagliari sebelum berlabuh di pelabuhan Tenes, Aljazair. Lalu ia berjalan ke kota Tlemcen, dan singgah di istana Fez Jadid.
Setelah itu, Ibnu Battutah memutuskan untuk melakukan perjalanan menyeberangi Laut Hitam menuju Ceuta (Selat Gibraltar). Kemudian ia berpetualang menyusuri kota Malaga hingga Granada dengan bergerak ke arah timur melalui dataran di antara laut dan gunung Sierra de Mijas. Pada akhir tahun 1350 M, Ibnu Battutah kembali ke Ceuta. Masa tujuh bulan berikutnya, ia manfaatkan untuk mengelilingi wilayah tetangga yang berada di sekitar tanah kelahirannya. Setahun berikutnya, ia kembali ke Fez untuk kedua kalinya dan bersedia meneruskan perjalanannya menuju Mali. Ia berjalan selama 8 hari dari kota Fez melewati Marrakech, dan tiba di Sijilmasa, sebuah oase di daerah Tafilalt. Pada bulan Februari 1352 M, ia berangkat dari Sijilmasa lalu berjalan melalui Taghaza, Bir al Ksaib, Walata, Zaghari, dan tiba di Mali pada tanggal 28 Juli 1352 M/14 Jumada I 753 H.
Ibnu Battutah meninggalkan kota setelah 8 bulan bermukim di ibu kota Mali tersebut. Pada tanggal 27 Februari 1353 M/22 Muharram 754 H, ia berangkat dengan seorang pedagang melalui Timbuktu dan tinggal sebulan di Gao dan tiba di Takedda. Ia kemudian meninggalkan Takedda pada tanggal 11 September 1353 M/11 Sya’ban 754 H, dan berjalan melalui Assiou, Buda, Touat, Sijilmasa dan akhirnya tiba di Fez pada tahun 1354 M.
Setelah kepulangannya dari menjelajahi dunia, ia bertemu dengan Sultan Abu ‘Inan dan sahabatnya, Ibnu Juzayy hingga hubungan keduanya berakhir setelah wafatnya Ibnu Juzayy pada tahun 1356.
Ibnu Battutah meninggal pada tahun 700 H atau 1368/1369 M. Makam sang pengembara itu tidak diketahui secara pasti letaknya. Akan tetapi, pendapat yang mayoritas mengatakan berada di tanah kelahirannya, Tangier.
Begitulah kisah akhir dari perjuangan Ibnu Battutah yang hingga sekarang ini dikenal dan diakui oleh seluruh penduduk bumi. Ia telah menjadi seseorang yang mempunyai nama besar berkat kehebatannya dalam menjelajahi dunia. Sebagai wujud penghormatan atas perjuangannya, terdapat nama kawah bulan yang namanya berasal dari nama penjelajah ini. Dan bandara kota Tangier juga dinamai Ibn Battouta. Selain itu, nama julukan lain dari Selat Gibraltar adalah M.V. Ibn Battouta.
Meski petualangannya telah berlalu beberapa abad yang lalu, namun kehebatan dan kebesaran dari nama agung itu menjadi sebuah kisah panutan dan kenangan yang tidak dapat dilupakan oleh masyarakat. Dalam hal ini, saya menyimpulkan dari kisah Ibnu Battutah sama ibaratnya seperti kata pepatah “Gajah mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan belang, Manusia mati meninggalkan nama”. Maknanya, seorang manusia akan selalu diingat jasa dan kebaikannya atau keburukan darinya. Perbuatannya ini akan tetap dikenang meskipun orang tersebut sudah tiada lagi.
Referensi :
Dunn, Ross Edward. 2018. Petualangan Ibnu Battuta. Amir Sutaarga. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Muhammad bin Abdullah Bathutah. 2018. Rihlah Ibnu Bathuthah. Terj. Muhammad Muchson Anasy dan Khalifurrahman Fath. Sunt. Muhammad Yasir dan Artawijaya. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Suyuthi Pulungan. 2018. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.