Pengaruh Tasawuf terhadap Persepsi Mahasantri Milenial dalam Interaksi Sosial

Pengaruh Tasawuf terhadap Persepsi Mahasantri Milenial dalam Interaksi Sosial

Ma’had Aly – يُؤتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْراً كَثِيراً وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الأَلْبَابِ

Artinya: “Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dia kehendaki dan barangsiapa yang diberi hikmah, maka sungguh ia telah diberikan kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.”

Ajaran sederhana yang dimiliki agama Islam, mampu mengembangkan kualitas pola pikir manusia. Perkembangan ini menunjukkan bahwa manusia ialah makhluk yang mampu menciptakan kemauan serta mendambakan kenyamanan. Karenanya peradaban yang dititipkan kepada kita selaku khalifah (pemimpin) di bumi ini, telah banyak mengalami perkembangan dengan berbagai aspek sudut pandang.

Era milenial mempertaruhkan antara keseimbangan sosial budaya dengan nilai-nilai ajaran Islam, dari sudut pandang pengelolaan diri dan hati (tasawuf), yang akan menghasilkan perbedaan penafsiran (output) dari input yang sama.

Pengertian Akhlak dan Tasawuf

Perkataan “akhlak” berasal dari bahasa Arab, bentuk jamak dari kata “khuluq, yang memiliki makna budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Bahkan tujuan utama Rasulullah saw diutus ialah untuk menyempurnakan akhlak umatnya:

(إِنَّمَا بُعِسْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخلاَقِ (رواه أحمد عن أبي هريرة

Artinya: “Sesungguhnya aku (Muhammad) telah diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Menurut Ahmad Amin, ilmu akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada sebagian yang lainnya. Islam sangat kental dengan pesan-pesan ilmu pengetahuan kejiwaan, bahwa Islam mengajarkan tentang cara membangun emosi ketuhanan melalui keimanan dan mengajarkan cara membangun emosi keinsanan, dengan adanya interaksi sosial.

Imam al-Ghazali berpendapat, bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa pemikiran dan pertimbangan (respon spontan).

Sedangkan tasawuf diartikan secara luwes ialah suatu cara bagaimana seseorang dapat mencapai hubungan yang mesra dengan Tuhannya, yang oleh orientalis Barat disebut sufisme. Untuk mengkhususkan penyebutan mistisme atau mistik Islam, istilah sufisme tidak pernah digunakan selain terhadap agama Islam.

Abu Bakar Aceh mengemukakan pengertian tasawuf, “Pencarian jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani”. Kajian tasawuf khusus membahas dari sudut pandang batin atau inti tertinggi dari maqasidu al-syariah, sedangkan segi lahirnya biasa disebut syariah, yang berisi hukum-hukum formal keagamaan.

Dari pengertian di atas, antara akhlak dan tasawuf memiliki keterkaitan, akhlak adalah awal dari masuknya seseorang ke dunia tasawuf, memahami tasawuf berarti harus memahami akhlak. Kesalahan dalam memahami akhlak, akan memunculkan kesalahan memahami tasawuf.

Tasawuf di Era Milenial

Tasawuf di zaman milenial ini bukan penyikapan pasif atau apatis terhadap kenyataan sosial, yang menghindar dari perkembangan zaman, karena tidak mungkin arus globalisasi ini diisolasi. Jika kita pelajari lebih dalam, tasawuf  memiliki peranan yang sangat penting dalam mewujudkan sebuah revolusi spiritual di masyarakat.

Bahkan Buya Hamka menumpahkan pemikirannya dalam sebuah karangan, tentang bertasawuf di era modern, yakni dengan cara istiqamah dalam hal beribadah, yang telah ditentukan oleh agama dan selalu merenungkan hikmah (semangat Islam yang tersembunyi) dari segala macam bentuk peribadahan tersebut. Menurut beliau puncak kesuksesan bertasawuf seseorang di era milenial ialah ketika tumbuh dalam diri seseorang itu etos sosial dan kepekaan sosial  yang tinggi, itulah hasil dari peribadahan yang benar dan ikhlas.

Realita Kehidupan Mahasiswa

Dekadensi moral semakin merebak di kalangan mahasiswa disebabkan lingkungan yang tidak terjaga. Dengan ditunjangnya kemajuan teknologi, arus informasi baik itu positif atau negatif sangat sulit dibendung, kecuali dengan keimanan. Kesadaran spiritual inilah yang jarang didapatkan di kalangan mahasiswa secara umum, sehingga berbagai macam kasus pernah terjadi di kalangan mahasiswa.

Walters menyatakan bahwa sebagai akibat dari arus globalisasi, manusia mulai merasakan kebutuhan akan suatu dasar yang kuat bagi moralitas mereka, yang tidak didapatkan dari ilmu-ilmu fisik, karena pemahaman baru ini harus diselamatkan dari sinisme dan amoralitas yang ditimbulkan dari dampak modernisasi. Pemahaman dunia materialistik dinilai dan terbukti gagal menjawab kebutuhan dasar manusia, yakni kebahagiaan hidupnya.

Sudut Pandang Mahasantri

Salah satu perkuliahan di daerah ibukota, yang mengajarkan kajian tasawuf terhadap mahasantrinya ialah Ma’had Aly Sa’iidussiddiqiyah. Bisa kita kaji bersama bahwa psikologi mahasantri akan mengalami penanganan khusus dalam menghadapi berbagai rintangan dan ujian yang sedang mereka hadapi. Selanjutnya, kemudahan teknologi digunakan dalam hal positif, mulai dari mempermudah dalam pencarian sumber ilmiah, menjadi sarana komunikasi yang efektif, bahkan potensi diri dikembangkan lewat teknologi.

Mengapa dapat terjadi perbedaan hasil meski dari contoh yang terkecil? Jawabannya, mereka mampu menyelami spiritualitas diri mereka, menemukan penggambaran Tuhan di setiap kegiatan yang mereka lakukan, serta mampu merasakan keagungan akan ciptaan-Nya.

Tujuan (goal) Pembelajaran Akhlak Tasawuf

Pembinaan akhlak pribadi, berinteraksi dengan makhluk lain, diniatkan semata-mata untuk mencari ridha Allah swt., yakni merasakan kehadiran serta kesempurnaan sifatnya. Jadi inti pengamalan tasawuf ialah taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah).

  • Akhlak Kepada Allah swt

Akhlak dan tingkah laku kepada Allah meliputi: meyakini akan eksistensi-Nya, mentaati segala perintah serta menjauhi larangan-Nya, sabar serta tabah dalam menghadapi ujian-Nya, berbaik sangka kepada-Nya, selalu memiliki sikap rendah hati, berharap (ar-raja’), menyerahkan diri (tawakkal) hanya kepada-Nya, serta selalu bersyukur di kala susah maupun senang.

  • Akhlak Kepada Nabi Muhammad saw

Nabi Muhammad saw. sebagai kekasih dan utusan Allah swt., kita wajib mencintai, mempercayai, mematuhi dan mengikuti sunnahnya. 

  • Akhlak Kepada Diri Sendiri dan pada Makhluk Ciptaan-Nya

Setiap hamba diberikan titipan serta amanahnya masing-masing. Dengan bersyukur, memelihara kesucian, kesehatan, serta titipan sang pemilik, pasti kita dicintai dan disayangi. Terhadap sesama ciptaan-Nya pun sama, saling menjaga kemuliaan dan kehormatan, menghargai pendapat dan karakter yang berbeda dan tidak mendzalimi atau merampas hak sesama manusia. 

Pengaruh Pemahaman Ilmu Akhlak Tasawuf terhadap Interaksi Sosial

Dalam hal ini pemikiran manusia dirangsang oleh kekuatan spiritual, sehingga merefleksikannya melalui tingkah laku. Semakin ia meyakini dan memahami, semakin kuat pula pengaruh agama pada dirinya. Apabila manusia sudah menerima dasar moral yang baik, maka kesempatan selanjutnya  manusia akan mengalami perkembangan perilaku sosial yang baik pula, dengan syarat apa yang diberikan kepada manusia bukan hanya sekedar informatif saja namun lebih dari itu, yakni keteladanan. Seperti dalam firman Allah:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً 

Artinya: “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah,”

Pengaruh ilmu tasawuf terhadap persepsi mahasantri dalam berinteraksi, memiliki peranan yang begitu penting. Revolusi spiritual yang dihadapi mahasantri terbukti mampu membentengi dirinya dari akhlak yang tidak baik.

 

Referensi

Abu Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo: Ramadhani 1994 .

Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, Semarang: CV Asy-Syifa 1993.

Ahmad Sultoni, Akhlak Tasawuf, Yogyakarta: STAIN Salatiga Press 2005.

Bakran Hamdani,  Psikologi Kenabian, Yogyakarta: Fajar Media Press, 2010.

Damami, Muhammad,  Tasawuf Positif, Yogyakarta: CV Adipura, 2000.

Donal, Walters, Crisis in Modern Thought: Menyelami Kemajuan Ilmu Pengetahuan dalam Lingkup Filsafat dan Hukum Kodrat, terj. B. Widhi Nugraha, Jakarta: Gramedia, 2003.

Hamka, Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Nur Hadi, “Studi Pemahaman Akhlak Tasawuf dan Pengaruhnya Terhadap Etika Pergaulan Mahasiswa STAIN Salatiga Tahun 2005/2006”, Salatiga, 2006.

Sidqi Ahmad, “Wajah Tasawuf di Era Moderen”, vol. 10, no. 1, Episteme, Juni, 2015.

Oleh : Ali Rizqy Muttawahis Al-Qarni, Semester III

Leave a Reply