Mengenal Sosok Kiai Rusdi: Salah Satu Tokoh Terkemuka Lirboyo

Mengenal Sosok Kiai Rusdi: Salah Satu Tokoh Terkemuka Lirboyo

Kiai Rusdi atau tokoh yang biasa dikenal dengan nama KH. Mahrus Aly merupakan seorang tokoh ulama terkemuka dan terkenal di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Beliau adalah putra bungsu dari pasangan KH. Aly bin Abdul Aziz dan Ibu Nyai Hasinah binti Kiai Sa’id. Beliau lahir di dusun Gedongan, kecamatan Astanajapura, kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Semasa kecilnya beliau lebih dikenal dengan nama Rusdi akan tetapi setelah beliau pulang dari ibadah haji, nama asli beliau diganti menjadi Mahrus.

Sejak kecil Kiai Mahrus mengenyam pendidikan di bawah asuhan ayahnya KH. Aly dan kakaknya yaitu KH. Afifi. Ketika berusia 18 tahun beliau menuntut ilmu di Pesantren Panggung, Tegal, Jawa Tengah. Pondok asuhan KH. Mukhlas, kakak iparnya sendiri. Selain itu Kiai Rusdi juga belajar silat pada Kiai Balya, ulama jawara pencak silat asal Tegal Gubug, Cirebon. Pada saat mondok di Tegal inilah Kiai Rusdi menunaikan ibadah haji pada tahun 1927 M.

Pada tahun 1929 M Kiai Rusdi melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Kasingan, Rembang, Jawa Tengah. Pondok asuhan KH. Kholil. Diceritakan oleh Kiai Afifi, konon katanya, alasan beliau pergi ke Pesantren Kasingan, Rembang, Jawa Tengah ini dikarenakan rasa malu, semangat dan adanya motivasi yang besar akibat kekalahan beliau dalam peristiwa adu keilmuan “menghafal Kitab Al-fiyah” dengan salah seorang murid dari kakaknya sendiri, yaitu Kiai Ma’ sum.

Setelah 5 tahun menuntut ilmu di Pesantren Kasingan Rembang (sekitar tahun 1936 M) Kiai Rusdi berpindah menuntut ilmu ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Di bawah asuhan KH Abdul Karim, seorang ulama dan pendiri Pondok Pesantren Lirboyo. Beliau telah tercatat sebagai salah satu murid KH. Kholil Bangkalan Madura (seorang ulama ternama yang telah melahirkan banyak tokoh-tokoh besar di Nusantara, diantaranya KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ma ’sum Lasem dan lainnya). Kiai Rusdi mondok di Lirboyo tidaklah lama, hanya sekitar 3 tahun. Namun karena melihat kealiman beliau, KH. Abdul Karim menjodohkannya dengan salah seorang putrinya yang bernama Zaenab, pada tahun 1938 M.

Sepeninggal KH. Abdul Karim pada tanggal 21 Ramadhan 1374 H (1954) Pondok Pesantren Lirboyo dipercayakan kepada 2 orang murid sekaligus menantu KH. Abdul Karim, yaitu Kiai Rusdi dan Gus Zuqi (KH. Marzuqi Dahlan). Kemudian keduanya meneruskan tampuk kepemimpinan Pondok Pesantren Lirboyo. Pondok Pesantren maju pesat di bawah pimpinan mereka. Para santri berduyun-duyun datang untuk menuntut ilmu dan mengharapkan berkah dari Kiai Rusdi dan Gus Zuqi.

Dalam kepemimpinan di Pondok Pesantren Lirboyo, Kiai Rusdi termasuk tokoh yang tidak resistan dengan proses modernisasi. Salah satunya, beliau banyak mengadopsi pendidikan model barat seperti sistem sekolah. Hal ini terbukti dengan mendirikan sebuah perguruan tinggi yang bernama IAIT (Institut Agama Islam Tribakti) pada tahun 1966. Selain itu, Kiai Rusdi juga memiliki semangat yang tinggi dalam berorganisasi dan manajemen. Hal ini terbukti saat beliau mendirikan lembaga tertinggi di Pesantren Lirboyo Kediri yang bertugas menentukan arah kebijakan dan pengembangan pesantren. Lembaga tersebut diberi nama Badan Pembinaan dan Kesejahteraan Pondok Pesantren Lirboyo (LPK-2PL).

Kiai Rusdi juga merupakan tokoh pejuang kemerdekaan, hingga menjadi ulama yang disegani oleh presiden pertama Indonesia, Soekarno. Hal ini terlihat ketika Kiai Rusdi berperan dalam peristiwa perang 10 November. Hal ini juga yang menjadi embrio berdirinya Kodam V Brawijaya. Selain itu Kiai Rusdi juga berkiprah dalam penumpasan PKI di sekitar Kediri. Kiai Rusdi juga mempunyai andil besar dalam perkembangan  Nahdlatul ulama, bahkan beliau diangkat menjadi Rais Syuriah Jawa Timur selama hampir 27 tahun, hingga akhirnya diangkat menjadi anggota Mustasyar PBNU pada tahun 1985 M.

Pemikiran-pemikiran Kiai Rusdi juga bisa dilihat dari jejak-jejak aktivitas dan tindakannya baik di dunia pesantren, militer ataupun NU yang dilandasi dengan kerangka berpikir yang alim. Beliau juga dikenal dengan tokoh yang punya rasa toleransi yang tinggi. Yang mempunyai gagasan bahwa umat muslim harus memperlakukan orang yang non muslim dengan baik. Sama halnya seperti umat muslim memperlakukan sesamanya. Beliau tidak peduli dengan berbagai reaksi ataupun akibat dari tindakan beliau. Justru beliau menganggap bahwa seorang muslim yang mencaci maki orang yang bukan dari umat muslim itu termasuk orang yang belum mengerti agama dengan baik. Dengan demikian dapat dilihat pemikiran, wawasan, serta tindakan yang dilakukan Kiai Rusdi seperti ini, tentu saja sudah dapat dibilang pemikiran yang maju pada saat itu. Tindakan tersebut juga merupakan tindakan yang menyangkut dengan jiwa serta pemikiran terhadap kebangsaan yang baik.

Tindakan Kiai Rusdi juga selalu mengusahakan adanya istilah (rekonsiliasi) yang mana rekonsiliasi bisa dikatakan sebagai bentuk tindakan sosial guna mendapatkan dua hal untuk menjadi kompatibel (cukup) satu sama lain. Oleh karena itu rekonsiliasi juga bisa diartikan sebagai tindakan menyatukan orang-orang untuk kembali bersahabat atau mencapai kesepakatan tertentu. Arti rekonsiliasi ini mengarah dalam kaitannya dengan upaya penyelesaian konflik yang terjadi dimasyarakat. Beliaulah yang selalu menjadi penengah dalam sebuah konflik. Hal ini dibuktikan ketika beliau menanggapi perpecahan ditubuh NU. Bagi beliau konflik merupakan sesuatu yang wajar dan biasa, yang terjadi karena adanya perbedaan pendapat dan lain sebagainya. “Apalagi dalam sebuah organisasi yang menampung banyak orang, dalam rumah tangga saja pasti sering terjadi konflik atau perbedaan pendapat”. Demikian ujar beliau ketika menanggapi perpecahan ditubuh NU kala itu.

Dalam fatwanya Kiai Rusdi mengambil dari perkataan sahabat Ali bin Abu Thalib yang mengatakan “setiap sesuatu itu ada standarisasinya, sedangkan standar seseorang adalah apa yang orang tersebut ketahui.” Secara konseptual, beliau berpendapat bahwasanya terdapat 4 hal yang berkaitan dan penting dalam menggapai kesuksesan mencari ilmu. Keempat hal itu ialah adanya guru atau pembimbingan yang terbuka, kemampuan intelektualitas, buku dan sarana yang memadai, serta adanya kemauan untuk maju dan berkembang.

Referensi:

Bibit Suprapto, Ensiklopedia Ulama Nusantara: Riwayat hidup, Karya, dan Sejarah 157 Ulama Nusantara, Jombang: Gelagar Media Indonesia, 2010.

Tiga Tokoh Lirboyo, Kediri: Jausan Lirboyo, 2010.

KH. M. Thalhah Hasan, Intelektualisme Pesantren Seri Ke-3: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran Di Era Kemasan Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2003.

Ahmad Faozan, Belajar Kepada Guru, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2019.

Kiai Mahrus Menjawab Hasil Bahtsul Masail Era Kiai Sepuh dan Masa Kini, Kediri: PPHM Lirboyo Kota Kediri, 2010.

Kontributor: Sinta Barokah, Semester IV

Leave a Reply