MAHADALYJAKARTA.COM – Al-Farabi (870-950 M), seorang cendekiawan muslim, pakar filsafat dalam Al-Musiqa al-Kabir, lafadz ‘musik’ memiliki makna ‘Al-Alhan’, bentuk plural dari lafadz al-lahn -salah satu dari sekian istilah bahasa Arab untuk lagu- yang memilki arti kumpulan beberapa suara yang berbeda-beda yang dirangkai dan dibatasi. Bisa pula diartikan kumpulan suara yang dirangkai, dibatasi, yang kemudian di dengan huruf-huruf yang tersusun darinya lafadz-lafadz yang mengalir dan menunjukkan makna. (Muhammad bin Tharkhan Al-Farabi. Al-Musik Al-Kabir, [Kairo: Daar Al-Katib Al-Arabi], hal 47)
Aristoteles seorang filsuf Yunani (322-385 SM) mendefinisikan musik dengan curahan kemampuan tenaga penggambaran yang berasal dari gerakan rasa dalam satu rentetan nada,melodi yang memiliki irama. David Ewen (1907-1985 M) mendefinisikan musik dengan ilmu pengetahuan serta seni mengenai ritmik dan bebarapa nada, baik vokal maupun instrumental yang mencakup melodi serta harmoni sebagai ekspresi dari segala hal yang menginginkan untuk diungkapkan, terlebih dalam segi emosional. (Pengertian seni musik https://notepam.com/pengertian-seni-musik/ diakses pada 22 November 2020 pukul 13.43)
Dalam muqaddimah kitab al-Musiq al-Kabir disebutkan bahwa, masyarakat Mesir periode awal merupakan umat manusia yang paling dahulu mengenal Musik. Disebutkan pula bahwa orang yang pertama kali menciptakan lagu dan diiringi alat musik ialah Bani Lamik dari keturunan Qayin. (Al-Farabi, hal 17)
Al-Farabi menjelaskan bahwa alat-alat musik muncul lewat eksperimen serta identifikasi oleh ilmuan-ilmuan musik terhadap lagu-lagu yang mereka nyanyikan. Mereka meneliti bunyi yang timbul dan kemudian mengimplementasikannya terhadap benda-benda di sekelilingnya sehingga muncul beberapa alat musik seperti al-ud (sejenis gitar).
Henry George Farmer (1882-1965 M), menyebutkan Yubal bin Lamik adalah orang yang pertama kali membuat al-ud (sejenis gitar berdawai 4), sehingga ia diberi julukan bapak penemu al-ud dan al-mizmar. (lihat Husain Nashar. Tarikh Al-Musiqa Al-Arabiyyah_Terjemah A History Of Arabian Music (Henry George Farmer), [Kairo: Markaz Al-Qaumi li At-Tarjamah), cet 2010, hal 14)
Bangsa Arab sendiri mempelajari ilmu musik dari Persia dan karangan-karangan Yunani yang mereka bawa pada akhir abad 2 Hijriah. Selanjutnya mereka (Bangsa Arab) menyelaraskannya dengan bahasa mereka, mendendangkan lagu dengan syair-syair, menghubungkan suara-suara dengan meletakannya sesuai tempatnya sehingga menghasilkan lagu-lagu bersajak. (Al-Farabi, hal 16)
Hukum Musik dalam Islam
Terkait hukum musik, ulama terpecah menjadi dua golongan. Ulama yang menghukumi mutlak haram dengan menggeneralisasi semua jenis musik dan ulama yang memberi hukum tafsil dan mengatakan tidak semua jenis musik dihukumi haram.
Terdapat banyak pandangan ulama terkait musik dilihat dari berbagai sudut pandang, mulai dari pendapat ulama tafsir terkait ayat dihubung kaitkan dengan musik, tinjauan hadits nabi, juga pendapat ulama fikih terkait hukum bermusik.
Ditinjauan dari sudut pandang al-Qur’an terdapat beberapa pendapat ulama tafsir mengenai beberapa ayat al-Qur’an yang dihubungkaitkan dengan hukum bermusik. Sebab pada dasarnya tidak ada nash al-Qur’an yang secara eskplisit menjelaskan hukum musik, yang ada adalah penafsiran ulama.
Salah satu ayat yang paling sering dikaitkan dengan musik ialah ayat 6 surat Luqman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيِلِ اللَهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا اُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِيْنٌ
Artinya: “Diantara manusia ada yang membeli percakapan kosong untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah dengan tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan, mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan”
Banyak kalangan ahli tafsir berpendapat maksud dari kata lahwal hadits pada ayat di atas memiliki arti lagu atau musik. Di antara yang santer mengatakannya ialah Ibnu Katsir (1301-1373 M), pakar hadist, tafsir dan sejarawan muslim, dalam tafsirnya secara jelas menyebutkan maksud dari lahwal hadist ialah lagu atau musik. Ibnu Katsir merujuk pada beberapa ucapan sahabat dan tabiin, di antaranya ialah ucapan Ibnu Mas‘ud dan Hasan Al-Basri. (Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, 1997,[(KSA: Daar Thayyibah], juz VI, hal 331)
Sehingga kemudian konotasi kata musik terlihat tabu dan merujuk pada sesuatu yang buruk. Belum lagi banyak pendapat ulama madzhab seperti Imam Syafii, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah yang terang-terangan mengharamkan musik. (Thahir bin Abdullah bin Thahir At-Thabari. Al-Radd ala man Yuhibbu Al-Sima’, 1990, [Bithantha: Daar Al-Shahabat litturast] hal 27)
Namun, ketika ditelisik satu persatu, terkait beberapa komentar negatif ulama terkait musik di atas penulis mendapatkan kebaharuan jalan keluar mengenai hukum musik.
Pertama, dalam Istilah bahasa Arab, kata al-lahw tidaklah selalu memiliki makna sesuatu yang melalaikan dari kebaikan dan ibadah. Melainkan arti dari al-Lahw sendiri sebenarnya adalah segala sesuatu yang membuat seorang Muslim sibuk dan disibukkan karenanya, sehingga sesuatu itu melalaikannya dan ia lalai karenanya.
Konotasi kata al-lahw dengan definisi awal akan tampak jelas pada ayat 11 surat Al-Jumuat, di mana Allah menyebutkan lafadz al-lahw yang disandingkan dengan al-bay’ (jual-beli) sebagai salah satu faktor eksternal yang menghalangi seseorang untuk menyibukan diri dari salat Jumat, sehingga melakukan transaksi jual beli dilarang pada saat itu. Artinya al-lahw yang disandingkan dengan al-bay’ pada saat salat Jumat itu tidaklah dihukumi haram karena dzatnya, melainkan karena melalaikan dari shalat jumat. Oleh karenanya jika lafadz al-lahw itu diistilahkan untuk menyebutkan musik, maka tidak semata-mata merujuk pada suatu yang buruk, melainkan mubah. (Muhammad Imarah, Al-Ghina wa Al-Musik Halal am Haram, 1999, [Mesir: Daar Nahdhah Misra], hal 3)
Kemudian terkait riwayat Imam Malik yang mengharamkan musik tersebut hanya berlaku untuk lagu yang diharamkan saja. Karena riwayat tersebut merupakan jawaban Imam Malik ketika ia ditanya mengenai “lagu yang didendangkan oleh orang-orang fasik Madinah”. Ia mengatakan “ innama yaf’aluhu ‘indana al-Fussaq”, yang melakukannya (menyanyi) dari kalangan kami hanyalah dari kalangan orang-orang fasik.
Juga riwayat Imam Syafii yang mengatakan: lagu itu sesuatu kemakruhan yang menyerupai kebathilan, diberi komentar oleh Ibnu Taimiyah (1263-1328 M). Bahwa alasan imam Syafii mengharamkan lagu terjadi setelah beliau meninggalkan Baghdad menuju Mesir. Sekelompok orang-orang zindiq kota Baghdad yang bernama kelompok at-Taghbir yang menyerukan salah satu dari bagian lagu/musik untuk menjauhkan masyarakat dari al-Quran.
Sedangkan terkait hadits yang menjelaskan keharaman musik, Muhammad Imarah dalam Al-Ghina wa Al-Musik Halal am Haram menjelaskan terdapat 19 riwayat hadits yang menyatakan keharaman musik. Namun jika ditelisik tidak ada yang shahih di dalamnya. (Imarah, hal 18)
Senada dalam hal ini, Prof. Quraisy Syihab, pakar tafsir asal Indonesia menyatakan musik itu tidak diperbolehkan jika melalaikan dari agama. Yang intinya jika musik tidak mengakibatkan melengahkan dari mengingat Allah, maka dihukumi mubah. Agama itu melarang kalau musiknya menyita waktu sedemikian rupa sehingga apa yang lebih penting terabaikan. (https://bincangsyariah.com/kalam/musik-itu-haram-atau-halal-ini-penjelasan-quraish-shihab/)
Mufti besar Mesir (2003-2013), Dr. Ali Jum’ah Muhammad menghukumi musik berdasarkan efek yang timbul dari mendengarkannya:
- Musik yang dihukumi mubah ialah musik yang berkaitan dengan agama (spiritual), tanah air atau negara (nasionalisme), atau musik yang digunakan untuk menampakkan rasa bungah/bahagia pada waktu-waktu tertentu seperti hari-hari raya. Dengan masih menjaga ikhtilat/campur antara laki-laki dan perempuan. Lagu-lagu yang didendangkan tidak mengandung unsur sara dan tidak menggerakkan atau menggelorakan syahwat. Tidak disertai dengan minuman-minuman keras atau barang-barang haram lainnya. Serta hendaknya lagu yang didendangkan mengandung kemuliaan di dalamnya.
-
Sedangkan musik yang dihukumi haram ialah jenis musik yang dapat melalaikan dari mengingat Allah dan mengandung unsur sara. Seperti lagu-lagu yang dapat menggerakkan syahwat atau di dalamnya campur antara laki-laki dan perempuan, atau juga lagu-lagu yang membuat dan menyebarkan fitnah. (https://www.dar-alifta.org/AR/ViewFatwa.aspx?sec=fatwa&ID=11420&سماعالموسيقىوالغناء–فضيلةالأستاذالدكتورعليجمعة_محمد )
Lebih lanjut, menurut Al-Ghazali, lagu atau musik itu terdiri dari beberapa kumpulan makna yang perlu dibahas secara eksplisit. Inti dari mendengarkan musik adalah mendengarkan suara yang bagus, kemudian suara yang bagus itu ada yang mauzun (tersusun) dan ghair al-mauzun (tidak tersusun). Yang mauzun juga terbagi lagi menjadi mafhum (jika didengarkan ada makna yang ditangkap) seperti syair-syair, dan ghair al-mafhum (tidak ada maknanya ketika didengarkan) seperti suara-suara jamadat (bebatuan, benda mati) atau hayawanat seperti suara kicauan burung-burung. (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, 2011, [KSA: Daar al-Minhaj], Juz IV, hal 420)
Mendengarkan suara yang bagus dilihat dari tinjauan bahwa suara itu bagus tidak seyogyanya dihukumi haram, malah kehalalannya dijamin oleh nash maupun qiyas. Karena bagaimanapun juga kalau seumpama mendengarkan suara bagus diharamkan, akan terjadi salah paham bahwa manusia dilarang merasakan nikmat oleh agama, karena salah satu nikmat tersebut ada dengan mendengarkan suara bagus itu.
Analoginya, manusia normal memiliki akal dan 5 indra yang digunakan untuk merasakan sesuatu di sekelilingnya. Semuanya memiliki rasa dan respon tersendiri ketika berkenaan dengan apa yang ditangkap serta diproses oleh akal.
Contohnya mata, mata akan merespon dengan nyaman terhadap apa yang dianggap olehnya dan akal nyaman ketika melihat. Misalkan ketika melihat indahnya pemandangan perbukitan bagi pemuncak gunung atau melihat keasrian wilayah perdesaan yang dihiasi pematang sawah bagi orang yang biasa hidup di kota, maka otomatis mata dan akal akan merespon dengan rasa nyaman yang diterima. Sebaliknya mata normal akan merespon dengan ketidaknyamanannya terhadap sesuatu yang tidak enak untuk dipandang. Begitupun telinga, memiliki respon tersendiri terhadap apa yang ia tangkap baik itu enak ataupun tidak enak.
Sedangkan secara nash, Allah menjelaskan memperbolehkan mendengarkan suara yang bagus dengan petikan ayat surat Fathir (1/35): “Allah menambahkan (kelebihan) kepada makhluknya apa yang Ia kehendaki”. Ada yang mengatakan maksud dari kelebihan tersebut ialah bagusnya suara. Ada lagi hadis yang berbunyi: “Allah tidak mengutus seorang Nabi kecuali ia memiliki suara bagus”.
Dalam keterangan lain juga disebutkan bahwa Nabi Daud As memilki suara yang bagus, sehingga ketika ia membaca Zabur sampai-sampai didatangi dan dikerumuni oleh jin dan hewan karena saking inginnya mendengarkan suara Nabi Daud As. (Al-Ghazali, hal 421)
*Disadur dari Buku Bermusik Ala Muslim Milenial karya Alwi Jamalulel Ubab Mahasantri Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta