KH. R. Abdullah bin Nuh, Sang Ulama Produktif yang Mendunia

KH. R. Abdullah bin Nuh, Sang Ulama Produktif yang Mendunia

Ma’had Aly – R. Abdullah bin Nuh dilahirkan di Cianjur pada tanggal 30 juni 1905. Beliau merupakan anak ketiga dari dari keluarga ningrat KH. R. Muhammad Nuh bin Idris seorang ulama besar Cianjur. Ayahnya, Raden Haji Muhammad Nuh, adalah seorang ulama’ yang ikut andil dalam mendirikan sekolah “I’anat al-Thalibin” dan salah satu dewan konsituante Republik Indonesia. Dari silsilah ayahnya diketahui bahwa ia merupakan keturunan Raja Siliwangi, bahkan salah seorang leluhurnya, Aria Wira Tanu I atau jayasasana adalah pendiri Kabupaten Cianjur. Sedangkan ibunya, Ny. R. Hj. Aisyah merupakan keturunan Syekh Abdul Muhyi, seorang ulama’ dan penyebar Tarekat Syattariyyah asal Pamijahan (Chaerul Shaleh, 1986).

Sepanjang hidupnya, ia menikah dua kali. Pernikahan pertama terjadi pada tahun 1925, satu tahun sebelum keberangakatannya ke Mesir. Istri pertamanya adalah Ny. Mariyah asal Cianjur. Pernikahannya yang kedua berlangsung pada tahun 1948, saat ia hijrah ke daerah Yogyakarta. Istri kedua ini adalah muridnya yang bernama Dra. H. Murasyidah.

Dimasa kanak-kanak, KH. R. Abdullah bin Nuh dibawa bermukim di Makkah selama dua tahun. Di tanah suci ini ia tinggal bersama nenek dari KH. Mohammad Nuh, bernama Nyai Raden Kalipah Respati, seorang janda kaya raya asal Cianjur yang ingin wafat di Makkah. Sekembali dari Makkah, KH Abdullah bin Nuh belajar di I’anah Cianjur yang didirikan oleh ayahandanya. Kemudian ia meneruskan pendidikan ketingkat menengah di Madrasah Syamailul Huda di Pekalongan, Jawa Tengah. Bakat dan kemampuannya dalam sastra Arab di pesantren ini begitu menonjol. Di antara gurunya adalah Sayyid Muhammad Hasyim Ibn Thahir al-Alawi al-Hadromi, seorang keturunan Hadramaut. Pada saat itu Abdullah bin Nuh telah menerima pengajaran yang setingakat dengan para ustadz yang telah mengajar di pondok tersebut. Ini berarti kemampuannya dianggap lebih maju dari teman seangakatannya.

Pada tahun 1922, gurunya, Sayyid Muhammad bin Nuh pindah ke Surabaya dan Abdullah bin Nuh sebagai murid kesayangannya dibawa ikut serta untuk lebih memperdalam ilmu pengetahuan disana. Di Surabaya, Sayyid Muhammad Hasyim kemudian mendirikan sebuah madrasah yang bernama Hadramaut School. Di Madrasah inilah Abdullah bersama dengan teman seangkatannya di didik praktik belajar, latihan pidato, belajar memimpin, dan sebagainya. Selain ilmu-ilmu agama yang di dalaminya, secara otodidak Abdullah juga mempelajari bahasa Arab, Inggris dan Belanda.

Pada masa itu ia dipercaya mengajar di Hadramaut School padahal saat itu usianya baru 17 tahun. Karena penguasaan bahasa Arabnya pada tahun 1926, bersama 12 temannya, Abdullah bin Nuh dibawa gurunya, Sayyid Muhammad bin Hasyim, ke Kairo untuk memperdalam ilmu agama. Di Mesir, Abdullah memperdalam ilmu fiqih di Fakultas Syariat, Universitas Al Azhar. Tentang ilmu fiqih, Abdullah bin Nuh mengkhusus dirinya pada pendalaman ilmu fiqih Madzhab Syafi’i. Diantaranya gurunya adalah Muhammad Surut al Zanqoni dan Syekh Ahmad al Dirgani.

Setelah 2 tahun belajar di Mesir, ia pulang ke tanah air dan mengajar di Cianjur dan Bogor (1928-1943). Setelah itu, ia turut aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. KH. Abdullah bin Nuh terlibat dalam proses mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang merupakan cikal bakal Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta. Tahun 1945-1950 beliau menjabat sebagai Lektor Muda Luar Biasa pada UII Yogyakarta. Tahun 1949 di mana ibukota RI kembali ke Jakarta, KH. Abdullah bin Nuh ikut pindah ke Jakarta dan ia pernah menjadi dosen UI (Universitas Indonesia) bagian sastra Arab, Lektor kepala pada Fakultas Sastra, Pemimpin Majalah Pembina, Ketua Lembaga Penelitian Islam (Islamic Research Institute), dan pernah menjabat pula sebagai ketua Yayasan Ukhuwah Islamiyah di Jakarta.

Ketika pindah ke Bogor, ia mendirikan sebuah majlis Ta’lim bernama Al-Ghazali. Majelis tersebut berkembang menjadi yayasan Pendidikan Islam yang bernama Yayasan Islamic Centre (YIC) Al-Ghazali. Beliau terkenal sebagai sosok yang produktif dalam bidang menulis. Karya-karyanya yang selain ditulis dalam bahasa Indonesia, juga banyak yang ditulis dengan bahasa Arab. Yang mengagumkan, Abdullah bin Nuh memiliki kemampuan berbahasa Arab yang sempurna, baik dalam rupa puisi (syi’ir) atau pun prosa (natsr). Di antara karya monumental beliau yang ditulis dalam bahasa Arab adalah “Ana Muslim Ana Sunni Ana Syafi’i” tentang teologi Islam (pada tahu 2016 ini [kembali] diterbitkan oleh penerbit Dar al-Shalih Kairo), Al-Islam fi Indunisiyya al-Mu’ashiroh tentang sejarah Indonesia kontemporer, Tarikh al-Auliya al-Tis’ah tentang sejarah Walisongo, Al-Imam al-Muhajir Ahmad ibn Isa ibn Ja’far al-Shadiq (biografi misionaris Islam Nusantara masa-masa awal), Al-Tadzkirah fi Mukhtashar Ihya ‘Ulumuddin (dalam bidang Tasawuf), Diwan Syi’ir Abdullah bin Nuh (kumpulan puisi), termasuk kumpulan puisi yang disunting dan dikaji oleh al-Sa’dani ini (‘Asyiq al-Muhith wa al-Jabal) dan masih banyak lagi karya-karya beliau.

Sebagai seorang yang ahli bahasa Arab, KH. Abdullah bin Nuh menyempatkan diri menyusun kamus bersama sahabatnya H. Umar Bakry diantara kamusnya adalah: Kamus Arab-Indonesia, Kamus Indonesia-Arab-Inggris, Kamus Inggris-Arab-Indonesia, Kamus Arab-Indonesia-Inggris, Kamus berbahasa Asing (Eropa), berkisar hubungan diplomatik, politik, ekonomi. Selain menulis, ia banyak menerjemah buku-buku berbahasa Arab kedalam bahasa Indonesia. Di antara karya terjemahnya ialah Jalan Bagi Ahli Ibadah diterjemahkan dari Minhaj Al-Abidin karya Imam Ghazali, Pembebasan dari Kesesatan diterjemahkan dari Al-Munqidz min al-Dhalal karya al-Ghazali, Penjernihan bagi Orang-Orang yang Memiliki Pengetahuan Ushul diterjemahkan dari Al-Musthafa Liman Lahu Ilmi al-Ushul karya imam Al-Ghazali.

Beliau wafat pada 3 Rabi’ul Awal 1408 H, atau tepatnya 26 Oktober 1987 pukul 19:15 WIB di rumah kediaman beliau di Jalan Cempaka No. 14.

 

Referensi

Mujib, dkk., Intelektualisme Pesantren, seri 1 Jakarta: Diva Pustaka, 2006.

Ginanjar Sya’ban. Mahakarya Islam Nusantara, Tangerang: Pustaka Kompas, 2017.

Muhammad Syafi’i Antonio, Abdullah bin Nuh Ulama Sederhana Kelas Dunia, Jakarta : Tazkia Pubhlising Banyak Ulama, 2017.

Zainul Milal Bizawie, Masterpiece Islam Nusantara, Tangerang: Pustaka Compass, 2016.

 

Oleh : Robiatul Adawiyah, Semester VI

This Post Has One Comment

  1. nu'man

    ulamak besar

Leave a Reply