KH. Idris Kamali: Ulama tak Tersorot Melahirkan Tokoh-Tokoh Besar Nusantara
MAHADALYJAKARTA.COM – KH. Idris Kamali merupakan anak pertama dari pasangan KH. Kamali bin KH. Abdul Jalil dengan Nyai Saudah. Beliau dilahirkan di Makkah sekitar tahun 1887 M. Ayahnya dikenal sebagai ulama ilmu falak dan qira’at asal Cirebon yang mengajar di Makkah. Sedangkan kakeknya, KH. Abdul Jalil berasal dari Ndoro, Pekalongan. Saat masih muda, KH. Abdul Jalil sering pergi ke Kedondong salah satu daerah di Cirebon dan mendirikan pondok di daerah tersebut.
Sekitar tahun 1908 M. KH. Kamali memondokkan KH. Idris Kamali di Pondok Pesantren APIK Kaliwungu, Kendal. Saat itu diasuh oleh KH. Irfan Musa yang merupakan sahabat KH. Kamali sewaktu di Makkah. Setelah tiga tahun nyantri di Kendal, KH. Idris Kamali kemudian meneruskan ke Pondok Pesantren Tebuireng yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari.
Selama belajar di pesantren, KH. Idris Kamali dikenal alim dan jenius dalam penguasaan kitab. Kitab-kitab dasar fiqih seperti al-Ghayah wat-Taqrib dan kitab ilmu nahwu seperti Mutammimah, sudah beliau hafal beserta penjelasannya. Tidak ada harta yang berharga bagi beliau melebihi ratusan jilid kitab yang beliau rawat dengan baik. Saking cintanya dengan kitab, beliau tidak pernah mengotori kitabnya dengan coretan atau noda sama sekali. Dari sekian banyak kitab peninggalan beliau, tak dijumpai coretan pena atau makna berantakan. Kitab beliau mulus, rapi, indah, meskipun sudah sekian tahun ditinggal wafat.
Bahkan sejak kecil, beliau termasuk orang yang daim al-wudhu (selalu berwudhu). Riyadhah lain yang beliau jalani yakni berpuasa setiap hari. Lisan beliau juga selalu melafadzkan ayat-ayat al-Qur’an sambil menghadap kiblat. Tak lupa, malam hari pun beliau selalu menjalankan qiyamul lail, salat malam tanpa dengan kenal lelah.
Selama menyantri di Tebuireng, ketika Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari sedang berhalangan untuk mengajar santri maka teman-temannya meminta kepada KH. Idris Kamali untuk menggantikan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dalam membacakan makna kitab yang akan dikaji, beliau memang sudah dianggap santri yang paling pintar di antara santri yang lainnya. Tak heran bilamana beliau dijadikan menantu oleh Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari berkat kecerdasan serta ketawaduannya semasa belajar.
Semenjak menikah dengan Ning Azzah, putri Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari. Beliau pun tinggal di Tebuireng dan mengabdikan hidupnya untuk Tebuireng. Beliau dikaruniai buah hati bernama Abdul Haq. Ditengah kesibukan dalam mengurusi pesantren beliau teringat akan ayanhnya di Cirebon. Rasa rindunya tak bisa dibendung karena ingin bertamu keluarga nya di Kempek. Akhirnya beliau berangkat ke Cirebon tanpa ditemani oleh istri dan anaknya, mengingat jarak yang ditempuh begitu jauh. Kerinduan beliau pun terbayar dengan bertemu keluarga, beliau bahagia sekali melihat ibu yang sekalipun sudah tua namun masih menyimpan kesegaran jiwa. Tetapi beliau merasa heran karena tidak melihat ayahnya, kaget bukan main setelah mendengar bahwa ayahanda tercinta sudah wafat. Ternyata kerinduan yang sangat mendalam merupakan isyarat bahwa ayahnya sudah wafat dan beliau ditunggu-tunggu oleh keluarga di rumah.
Setelah beberapa waktu tinggal di Cirebon, melahirkan kerinduan yang besar bagi istri, Ning Azzah. Keharmonisan beliau dalam rumah tangga senantiasa tergambar dalam benak Ning Azzah. Begitu juga dengan beliau merasakan demikian, hubungan batin keduanya tetap berjalan meski jarak memisahkan.
Bertahun-tahun beliau tinggal di Cirebon buah hati sudah tumbuh besar dipangkuan ibunda. Nyai Azzah tak sabar menunggu beliau, sejak pagi hingga sore, dari malam sampai sore. Semua keluarga sudah memberikan motivasi, namun kerinduan itu tak membuatnya bersemangat. Tak ada tanda-tanda suami kan datang. Sampai Akhirnya, Nyai Azzah dipanggil sang Maha Kuasa. Beberapa waktu kemudian beliau datang ke Tebuireng, berharap kedatangannya membawa kegembiraan istri. Harapan itu tak terwujud karena istri tercinta sudah meninggalkan terlebih dahulu.
Setelah ditinggal wafat ayahnya kini beliau juga di tinggal oleh istri tercintanya. Beliau kagum dengan sang istri, karena selama ditinggal istri senantiasa menunggunya dan merawat buah hati Abdul Haq. Begitu besar dan tulus cinta istri hingga rela dibawa mati. Kekaguman beliau membuahkan ikrar dalam diri beliau, bahwasanya akan setia selamanya terhadap istri, berupaya akan selalu menjaga cinta sampai mati.
Dalam metode memberikan cara belajar yang benar selama di pesantren, setidaknya ada empat hal : Pertama, belajar (ta’alum), belajar dengan guru-guru sehingga mendapatkan ilmu dari mereka dan didengarkan, setelah itu dituliskan. Kedua, dihafal (hifdzi). Ketika ilmu sudah disampaikan oleh guru, baru dihafalkan. Belajar dengan Kiai Idris Kamali juga menekankan pada hafalan materi. Ketiga, dipahami. Setelah dihafalkan kemudian dipahami maksud dari guru yang didengar, kalau tidak faham tanyalah kembali kepada guru. Keempat, meyakini. Arti dari meyakini sudah yakin sampai melekat di hati.
Tepatnya, setelah sekitar 16 tahun menggelar pengaderan santri khos di Tebuireng, tahun 1973, beliau merasa ilmunya sudah habis dikuras para santri. Karenanya, meskipun sudah berusia 85 tahun, Kiai Idris berangkat kembali ke Mekah untuk niat belajar. Lebih dari itu, di tahun-tahun ini, beliau masih menyempatkan sorogan kitab al-Umm. Tidak tanggung-tanggung, langsung di dekat makam Imam al-Syafi’i (150-204 H) di Kairo Mesir. Andai bukan karena semangat cinta ilmu, kami kira rihlah ilmiah ini sulit dijalani. Terlebih karena faktor usia dan jarak tempuh. Di bulan Ramadhan, Kiai Idris pagi hingga sore hari tuntas mendaras kitab al-Umm.
Setelah sekian lama akhirnya beliau kembali ke kampung halamannya, tepat bulan juli 1984 beliau menderita sakit yang cukup parah. Usia beliau sudah 97 tahun. Namun beliau tetap rajin beribadah dan membaca al-Qur’an. Hari senin, malam selasa langit Kempek diguyur hujan gerimis. Padahal sebelumnya tak ada tanda-tanda mendung. Keadaan seperti ini belum terjadi sebelumnya. Ternyata menjelang subuh sosok yang alim, wara’, zuhud dipanggil ke hadirat Allah Swt. Beliau dimakamkan di komplek pemakaman masyarakat umum, hanya saja khusus keluarga beliau diberi tembok pemisah.
Kebesaran beliau dalam mendidik santri lahirlah para tokoh Nusantara. Untuk melanjutkan estafet perjuangan beliau. Diantara santri beliau yakni, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Masyhuri Syahid, KH. M. Tholhah Hasan, KH. Ma’ruf Amin, KH. Abdul Hayyie M. Naim, KH. Ali Mustafa Ya’kub, KH. Ishom Madura, Prof. Dr. H. M. Djamaludin Miri, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj. Dan masih lebih banyak lagi.(//)
Referensi:
KH. Cholidy Ibhar, Kitab Berjalan: Sosok Kiai Idris Kamali, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2019)
Fathurrahman Karyadi, dkk, Tokoh Besar di Balik Layar Biografi Almarhum Kh. Idris Kamali, (Jombang: Pustaka Tebuireng, 2010)
Muhamad Muzakkir, Silsilah Kiai Cirebon (Ciwaringin)
Zamahsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1985)
Tuafikurrahman Yasin, Sekilas Sejarah Pondok Pesantren Gedongan Cirebon Jawa Barat, (Cirebon: PP Gedongan, 2005)
Kontributor: Ucok Sigit Sutrajat, Semester VI