Ketika Wayang Menjadi Mimbar Dakwah Islam

Ketika Wayang Menjadi Mimbar Dakwah Islam

MAHADALYJAKARTA.COM— Wayang merupakan sebuah warisan budaya nenek moyang yang diperkirakan telah ada sejak ±1500 tahun SM. Wayang sebagai salah satu jenis pertunjukan sering diartikan sebagai bayangan yang tidak jelas atau samar, bergerak kesana kemari. Bayangan yang samar tersebut diartikan sebagai gambaran perwatakan manusia.

Istilah wayang berasal dari Bahasa Jawa “wewayangan” yang berarti bayangan. Dikatakan wayang karena zaman dulu untuk melihat wayang, penonton berada di belakang layar yang disebut kelir, dalang memainkan wayang yang diterangi lampu hingga menimbulkan bayangan yang menempel pada kelir. Kelir merupakan kain putih yang membatasi antara dalang dan penonton. Penonton hanya bisa melihat bayangan wayang yang seolah-olah bayangan yang menempel pada kelir adalah manusia yang hidup.

Di Indonesia terutama di pulau jawa terdapat ratusan jenis wayang yang dapat digolongkan menurut cerita yang dibawakan, cara pementasan wayang, dan bahan yang digunakan untuk membuat wayang. Sekitar separuh lebih dari jumlah wayang tersebut sekarang sudah tidak dipertunjukan lagi, bahkan diantaranya sudah punah. Diantara pertunjukan wayang yang paling utama dan masih terdapat hingga sekarang adalah wayang kulit di Jawa Tengah. Kepopuleran wayang kulit dikarenakan padat dengan nilai filosofis, historis, dan simbolis.

Jenis-jenis wayang yang hingga sekarang masih berkembang di berbagai daerah Indonesia masih terbilang banyak. Di antaranya wayang kulit, wayang golek, wayang wong, wayang krucil, wayang sasak, dll. Itulah jenis wayang yang masih bisa dijumpai di daerah Jawa dan sekitarnya.

Sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan tradisional Indonesia, wayang telah memainkan peran penting dalam sejarah dan budaya masyarakat Nusantara. Di balik keindahan seni dan sistem cerita yang ditampilkan, wayang juga berfungsi sebagai media penyebaran ajaran dan nilai-nilai Islam di wilayah Nusantara.

Pada zaman Majapahit, seni perwayangan umumnya berkaitan dengan fungsi-fungsi ritual yang mengacu pada nilai keagamaan Hindu-Budha. Kemudian wayang digunakan sebagai media pendidikan dengan menyerap cerita heroik dari Mahabharata dan Ramayana. Adakalanya pertunjukan wayang di gunakan sebagai upacara spiritual Murwakala atau Ruwatan agar orang yang diruwat bebas dari bencana yang bersifat gaib.

Sejak kedatangan Islam di Nusantara pada abad ke-13, para penyebar agama, termasuk para wali dan ulama, memanfaatkan wayang untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah dengan cara yang menarik dan mudah dipahami oleh masyarakat lokal. Dengan memadukan unsur-unsur budaya setempat, wayang tidak hanya berhasil menarik perhatian, tetapi juga mengadaptasi ajaran Islam ke dalam konteks yang relevan bagi pendengar.

Melalui berbagai pertunjukan wayang, nilai-nilai Islam seperti kejujuran, keadilan, dan toleransi disampaikan dengan cara yang tidak hanya menghibur tetapi juga mendidik. Pertunjukan ini sering kali mengangkat tema-tema moral dan etika yang sejalan dengan ajaran Islam, membuatnya mudah dicerna oleh masyarakat. Wayang pun menjadi sarana untuk merayakan peristiwa keagamaan, memperkuat identitas komunitas, dan menanamkan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan sehari-hari. 

Pada masa kerajaan Demak, banyak perubahan besar pada ketetapan seni pertunjukan wayang. Sultan Demak bersama dengan Wali Songo melakukan perubahan yang bersifat deformatif agar seni pertunjukan wayang sesuai dengan ajaran Islam. Isi ketetapan raja Demak Raja Raden Patah yaitu : (1) seni wayang perlu perubahan yang sesuai dengan zaman; (2) kesenian wayang dapat dijadikan alat dakwah Islam yang baik; (3) bentuk wayang yang mirip manusia harus direformasi karena diharamkan menurut Islam; (4) cerita dewa harus diubah dan diisi paham islam untuk membuang kemusyrikan; (5) pagelaran wayang harus disertai tata cara dan sopan santun yang baik, dan jauh dari perbuatan maksiat.

Sesuai ketetapan tersebut, wayang diubah bentuknya semula menyerupai manusia, kemudian digambar pipih dua dimensi dengan gaya dekoratif yang jauh dari kesan mirip dengan manusia. Wayang tidak lagi berbentuk utuh, tetapi satuan gambar yang terpisah  antar anggotanya. Atas kreativitas Wali Songo, wayang disempurnakan dengan tangan bisa digerakkan dan warna yang digunakan juga makin beragam.

Cerita yang disuguhkan juga disusun atas dasar paham Islam. Dewa-dewa yang merupakan sembahan yang hidup di khayangan diubah dan dibikinkan susunan silsilah sebagai keturunan Nabi Adam dari galur Nabi Syits. Tokoh idola dalam ajaran Kapitayan seperti Danghyang Semar, Kyai Petruk, Nala Gareng, dan Bagong dimunculkan sebagai punakawan yang memiliki kekuatan yang mampu mengalahkan dewa-dewa Hindu.

Salah satu tokoh yang berperan penting dalam penyebaran islam dengan media wayang yaitu Sunan Kalijaga. Dengan kemampuannya yang menakjubkan sebagai dalang wayang, Sunan Kalijaga berkeliling dari wilayah Pajajaran hingga wilayah Majapahit. Masyarakat yang ingin menyewa dan mengadakan pertunjukan wayang bayarannya tidak berupa uang, melainkan cukup membaca dua kalimat syahadat, sehingga Islam berkembang sangat pesat.

Sebagaimana Sunan Bonang yang menyempurnakan ricikan gamelan dan mengubah irama gending, Sunan Kalijaga menciptakan lagu sekar ageng dan sekar alit sebagai musik pengiringan pertunjukan wayang. Pelajaran yang disampaikan dilakukan melalui pembabaran esoteris kisah simbolik dalam pagelaran wayang, sehingga menjadi pesona tersendiri bagi masyarakat dalam menikmati pertunjukan yang digelar Sunan Kalijaga.

Wayang sebagai salah satu warisan budaya Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan, tetapi juga menjadi media yang efektif untuk menyebarkan ajaran Islam. Dalam sejarah, para penyebar agama, khususnya Wali Songo, menggunakan wayang untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah dengan cara yang menarik dan mudah dipahami oleh masyarakat lokal. Mereka melakukan perubahan signifikan pada bentuk, cerita, dan nilai-nilai yang ada dalam pertunjukan wayang agar sesuai dengan ajaran Islam.

Sunan Kalijaga adalah salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam memanfaatkan wayang sebagai media dakwah. Dengan keahliannya dalam mendalang, ia mengombinasikan seni pewayangan dengan pesan-pesan spiritual. Inovasi yang dilakukan oleh Wali Songo mencakup deformasi bentuk wayang yang semula menyerupai manusia, serta penyusunan cerita yang diisi dengan nilai-nilai Islam untuk menghilangkan unsur kemusyrikan.

Melalui pertunjukan wayang, nilai-nilai moral seperti kejujuran, keadilan, dan toleransi disampaikan kepada masyarakat, sehingga wayang tidak hanya menjadi seni pertunjukan, tetapi juga alat pendidikan dan dakwah yang efektif di Nusantara​.

Referensi :

Basarah, M. Saleh. 1997. Wayang dan Nilai-Nilai Islam. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Abdullah, R. 2015. Walisongo: Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa (1404–1482). Solo: Al-Wafi.

Baidawi, Kamil Hamid. 2020. Sejarah Islam di Jawa. Yogyakarta: Araska Publisher.

Muhammad Syakir NF. 2022. “Wayang sebagai Jalan Dakwah Para Wali.” Diakses dari https://nu.or.id/nasional/wayang-sebagai-jalan-dakwah-para-wali-Grj31 pada 16 Februari 2022 pukul 06.30 WIB.

Rahardjo, M. Dawam. 2002. Islam dan Wayang: Wajah Islam dalam Budaya Jawa. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Saksono, Widji. 1995. Mengislamkan Tanah Jawa. Bandung: Mizan.

Sunyoto, Agus. 2016. Atlas Wali Songo. Bandung: Mizan Media Utama.

Kontributor: Nanda Farid Purwanto, Semester IV

Editor: Yayu

Leave a Reply