Ma’had Aly – Yatsrib atau yang dikenal dengan nama Madinah, merupakan oasis (sumber ketenangan), di mana kota tersebut merupakan tempat yang subur dan memiliki air berlimpah. Ada dua tempat penting di kota ini yaitu Harrah Waqim yang berada di sebelah timur dan Harrah al-Wabarah di sebelah barat. Wilayah Harrah Waqim merupakan wilayah paling subur dibandingkan dengan wilayah Harrah al-Wabarah.
Penduduk Madinah sejak awal sudah bercocok tanam, sehingga pertanian menjadi hal penting bagi perekonomian di tempat itu. Penduduknya yang paling mendominasi adalah dari suku Aus, Khazraj dan Yahudi. Kaum Yahudi terdiri dari tiga suku yaitu Bani Qainuqa, Bani Nazir dan Bani Quraizah. Kaum Yahudi Bani Quraizah dan Bani Nazir merupakan mereka yang pindah dari Syiria ke Yatsrib. Mereka menetap di Harrah Waqim, sedangkan Bani Qainuqa menetap di wilayah yang lebih rendah tingkat kesuburannya yaitu di Harrah al-Wabarah.
Suku Aus dan suku Khazraj berasal dari daerah Yaman. Mereka menisbatkan kepada nenek moyangnya yaitu Aus dan Khazraj, anak atau cucu dari Amr bin Amir, yang keluar dari Yaman karena mencari perlindungan dari jebolnya bendungan Ma’rib. Suku Aus tinggal di daerah Awali, bersama suku Bani Quraizah dan Bani Nazir. Sedangkan suku Khazraj menempati wilayah yang kurang subur, bertentangga dengan kaum Yahudi Bani Qainuqa.
Dominasi kaum Yahudi di bidang politik, ekonomi dan sosial seringkali menjadi penyebab perselisihan dengan suku Arab yaitu suku ‘Aus dan Khazraj. Sementara di sisi lain juga seringkali terjadi perselisihan antar sesama kaum Yahudi. Oleh karena itu, dibutuhkan sosok yang bijak sebagai mediator dalam menyelesaikan perselisihan di bidang politik dan sosial yang mereka hadapi.
Mulai tahun 621 M, Nabi melakukan dakwah kepada penduduk Yatsrib dan pada tahun 622 M diputuskan untuk hijrah ke Yatsrib. Hal pertama yang dilakukan Nabi setelah sampai di Yatsrib atau Madinah antara lain membangun masjid, mempersaudarakan sesama muslim dan berupaya menyatukan penduduk Madinah yang sebelumnya saling bermusuhan.
Upaya Nabi dalam menyatukan penduduk Madinah yaitu melalui sebutan kaum Muhajirin dan Anshar, juga membuat perjanjian dengan penduduk Madinah termasuk kaum Yahudi. Perjanjian tersebut dinamakan dengan Piagam Madinah yang berisi 47 pasal dengan rincian 23 pasal membahas tentang hubungan umat Islam sesama umat Islam yaitu antara Anshar dan Muhajirin, sedangkan 24 pasal membahas tentang hubungan umat Islam dengan Yahudi. Setelah adanya perjanjian tersebut (Piagam Madinah), maka resmilah Madinah dan kawasan sekitarnya bukan lagi sebagai kota melainkan sebagai sebuah negara dengan kepala negaranya adalah Nabi Muhammad. Keputusan tersebut terbentuk berdasarkan kesepakatan penduduk Madinah.
Pada awalnya kaum Yahudi berusaha menyambut baik Muhammad sebagai pemimpin mereka. Hal itu dilakukan sebagai upaya agar mendapatkan dukungan dari kaum muslimin untuk membantu mereka dalam melawan Nasrani. Seiring berjalannya waktu, Nabi Muhammad semakin berpengaruh di Madinah sehingga menyebabkan kecemasan bagi kaum Yahudi yang menganggap itu sebagai ancaman bagi kedudukan mereka.
Bani Qainuqa adalah kelompok Yahudi pertama yang melanggar perjanjian dengan kaum muslimin. Pelanggaran yang mereka lakukan adalah melakukan pelecehan terhadap para muslimah di pasar Bani Qainuqa yang menimbulkan konflik dan korban jiwa antar kaum Yahudi dan kaum muslimin.
Salam bin Misykam dan Ka’ab bin Asyraf adalah tokoh golongan Yahudi Bani Nazir yang berani melakukan pelanggaran terhadap Piagam Madinah. Adapun isi Piagam Madinah ialah : (1) Kaum Yahudi beserta kaum muslimin wajib turut serta dalam peperangan, (2) Kaum Yahudi dari Bani Auf diperlakukan sama seperti kaum muslimin, (3) Kaum Yahudi tetap dengan agama mereka, demikian dengan kaum muslimin, (4) Semua kaum Yahudi dari semua suku di Madinah diberlakukan sama dengan Yahudi Bani Auf, (5) Kaum Yahudi dan muslimin harus saling tolong menolong dalam memerangi atau menghadapi musuh, (6) Kaum Yahudi dan kaum muslimin harus senantiasa saling berbuat kebajikan dan saling mengingatkan ketika terjadi penganiayaan atau kedzoliman, (7) Kota Madinah dipertahankan bersama dari serangan pihak luar, (8) Semua penduduk Madinah dijamin keselamatannya kecuali bagi yang berbuat jahat.
Orang-orang Bani Nazir juga mencoba melakukan intrik untuk membunuh Nabi Muhammad saw. Pada saat terjadi Perang Ahzab atau disebut juga Perang Khandaq, kaum Yahudi Bani Quraizah melakukan pengkhianatan dengan membuka daerah pemukiman yang tidak dilintasi parit. Mereka melakukan itu sebagai upaya kerjasama dengan musuh, sehingga pasukan musyrikin dapat masuk ke dalam kota untuk menyerang tempat kediaman Nabi, namun upaya tersebut dapat digagalkan oleh kaum muslimin.
Kebijakan Nabi terhadap kaum Yahudi Madinah merupakan upaya tegas dari seorang pemimpin negara terhadap bentuk kriminalitas yang dilakukan oleh penduduknya berupa pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati bersama. Pelanggaran kaum Yahudi mengakibatkan keresahan sosial yaitu ketidaknyamanan bagi kaum muslimin yang sering dihina dan dilecehkan yang pada akhirnya berakibat pada pertumpahan darah dan konflik antar kelompok, sehingga memecah belah hubungan sosial dan rasa persatuan penduduk Madinah. Pelanggaran dan pengkhianatan kaum Yahudi tersebut, juga berdampak pada aspek politik Madinah karena pertikaian yang terjadi melemahkan kesatuan masyarakat Madinah sebagai sebuah negara yang baru dibangun.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Nabi merupakan upaya politik yang bertujuan pada ranah sosial yaitu memberi rasa aman kepada penduduknya dengan tujuan akhir mensejahterakan masyarakat Madinah. Dalam melaksanakan kebijakan tersebut, Nabi harus menetapkan hukuman bagi mereka yang bersalah sebagaimana yang terdapat pada Piagam Madinah yang telah disepakati bersama meskipun dalam realisasinya Nabi juga tetap memperhatikan etika-etika kemanusiaan.
Ketetapan kebijakan tersebut adalah kebijakan yang paling tepat dan menarik untuk lebih didalami karena di dalamnya banyak nilai yang dapat digali. Khususnya adalah kebijakan Nabi dalam memberikan hukuman kepada kaum Yahudi di Madinah.
Referensi
Abu Muhammad Abdul Malik Hisyam Al-Mu’arif, Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, jilid 2, terj. Fadli Bahri (Bekasi: Darul Falah, 2006.
Akram Diyah Al’umari, masyarakat Madinah Pada Masa Rasulullah saw: Sifat dan Organisasi yang dimilikinya, terj. Asmara Hadi Usman, Jakarta: Media Da’wah, 1994.
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, Bogor: Lentera Antar Nusa, 2001.
Muhammad Ridha , Sirah Nabawiyah, terj. Ansori Umar Sitanggal Abu Farhan, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2010.
Oleh : Mukhtir Rotul Rodho, Semester VI