Jejak Seni Islam di Keraton Kasepuhan Cirebon

Jejak Seni Islam di Keraton Kasepuhan Cirebon

MAHADALYJAKARTA.COM— Cirebon, sebuah kota di pesisir utara Jawa Barat yang dikenal sebagai pusat kebudayaan dan sejarah yang kaya akan warisan kerajaan Islam. Kota ini memiliki keunikan tersendiri karena menjadi tempat bagi tiga keraton bersejarah: kasepuhan, kanoman, dan kacirebonan. Ketiga keraton ini berdiri sebagai bukti dari perkembangan peradaban dan kebudayaan Cirebon yang dipengaruhi oleh percampuran berbagai tradisi, termasuk Jawa, Sunda, Tiongkok, Hindu-Budha, serta Islam.

Dari ketiga keraton tersebut, keraton kasepuhan merupakan yang tertua dan terbesar. Keraton kasepuhan ini tidak hanya menyimpan sejarah yang panjang, tetapi juga menampilkan seni dan arsitektur yang indah, dimana unsur-unsur Islam berpadu dengan elemen-elemen lokal. 

Sejarah Keraton Kasepuhan Cirebon

Keraton Kasepuhan Cirebon dibangun pada tahun 1430 oleh Pangeran Cakrabuana (Raden Walangsungsang), putra dari Prabu Siliwangi yang merupakan raja dari Kerajaan Sunda Galuh Padjajaran. Keraton Kasepuhan awalnya bernama Keraton Pakungwati, nama ini kemudian diubah menjadi Keraton Kasepuhan setelah perpecahan Kesultanan Cirebon pada abad ke-17 menjadi tiga Kesultanan: Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Keraton Pakungwati sendiri mengambil dari nama istri Pangeran Cakrabuana yaitu Dewi Pakungwati, yang juga merupakan cucu dari Sunan Gunung Jati.

Setelah pangeran Cakrabuana wafat, peran kepemimpinan dilanjutkan oleh Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah). Beliau memperkuat kedudukan Keraton dengan menjadikan Cirebon sebagai pusat dakwah dan perdagangan, ia membangun jaringan diplomatik yang kuat dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya, termasuk Demak dan Banten. Di bawah kepemimpinannya, bangunan keraton diperbesar dan diperindah dengan tambahan elemen seni dan arsitektur Islam. Keraton Kasepuhan menjadi lebih dari sekedar pusat pemerintahan, melainkan juga pusat agama dan kebudayaan.

Keraton Kasepuhan menjadi pusat pemerintahan dan kekuasaan Kesultanan Cirebon selama berabad-abad. Selain itu, tempat ini juga menjadi lokasi penting dalam penyebaran Islam di Jawa, terutama melalui peran Sunan Gunung Jati yang memimpin Cirebon sebagai sultan sekaligus ulama besar. Hingga kini, Keraton Kasepuhan tetap mempertahankan fungsinya sebagai pusat budaya dan tempat penyelenggaraan berbagai upacara adat.

Seni dan Arsitektur Keraton Kasepuhan Cirebon

Keraton Kasepuhan dikenal karena arsitekturnya yang memadukan berbagai gaya dari sejumlah kebudayaan, terlihat jelas pengaruh seni Islam yang berpadu indah dengan budaya lokal Jawa dan gaya Hindu-Buddha, Islam, serta pengaruh eropa yang datang pada abad-abad selanjutnya.

Salah satu contoh dari pengaruh Hindu-Buddha adalah gerbang megah yang disebut dengan Gapura Adi, yang berfungsi sebagai simbol pengampunan. Selain itu, bangunan-bangunan di dalam kompleks Keraton, seperti Siti Hinggil dan Malang Semirang yang menunjukan simbolisme yang kuat dalam ajaran Islam, berupa 20 pilar yang melambangkan sifat-sifat Tuhan. 

Kompleks Keraton terbagi dalam beberapa bagian utama, yaitu Pintu Gerbang utama, Alun-Alun Keraton, Balai Agung, Taman Bunderan Dewa Daru, Keraton Dalam, dan termasuk museum yang menyimpan berbagai pusaka kerajaan, seperti keris Naga Sasra dan Pusaka Raja. Keris Naga Sastra merupakan senjata suci yang diyakini memiliki kekuatan magis untuk melindungi Keraton dari kekuatan jahat. Selain itu ada Gamelan Sekati, sebuah alat musik tradisional yang hanya dimainkan pada upacara-upacara religius.

Salah satu elemen arsitektur yang paling mencolok adalah penggunaan material lokal, seperti batu bata merah dan kayu jati, yang diukir dengan motif tradisional Cirebon. Bahkan, di dalam gaya arsitektur gapura pun terdapat pengaruh majapahit dan juga banyak bangunan yang menggunakan ornamen-ornamen serta ukiran kuno yang mengingatkan pada istana-istana kuno di Jawa Timur.

Arsitektur dan Seni Islam di Keraton ini tidak hanya berfungsi sebagai simbol estetika, tetapi juga mengandung makna spiritual yang dalam, seperti halnya kaligrafi arab yang berisi ayat-ayat Al-qur’an, dzikir atau do’a yang menghiasi dinding dan langit-langit keraton sebagai pengingat spiritual bagi para pengunjung dan penghuni keraton, juga Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang dibangun pada masa Sunan Gunung Jati yang dibantu oleh para wali lainnya, dengan tata letak ruang salat dan mihrab yang menghadirkan unsur-unsur Islam sehingga memperlihatkan pengaruh arsitektur Islam yang kuat.

Fungsi Keraton sebagai pusat Budaya

Keraton Kasepuhan tidak hanya berfungsi sebagai situs bersejarah, akan tetapi juga sebagai pusat budaya yang masih aktif menyelenggarakan berbagai upacara adat hingga saat ini. Salah satu acara yang paling terkenal adalah perayaan Pajang Jimat, sebuah upacara tahunan yang dilakukan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw. Pada upacara ini, pusaka kerajaan dan alat musik gamelan sekati dimainkan, sementara sultan dan keluarga kerajaan melakukan prosesi yang diiringi oleh doa-doa.

Selain upacara Pajang Jimat, Keraton Kasepuhan juga menjadi lokasi untuk pertunjukan seni tradisional, seperti wayang kulit dan silat. Pertunjukan wayang kulit di Keraton ini menampilkan kisah-kisah epik dari Ramayana dan Mahabharata, serta legenda-legenda lokal yang disertai dengan narasi humor dari dalang. Pertunjukan ini diadakan dalam rangkaian acara keagamaan atau upacara adat yang diikuti oleh masyarakat setempat.

Keraton ini juga menjadi pusat pengajaran Islam dan Seni Budaya, di dalamnya terdapat berbagai tempat dan benda-benda bersejarah yang memiliki makna spiritual dan simbolis, seperti kereta barong, taman sari giri mulyo, paviliun Siti Hinggil dan berbagai senjata pusaka.

Hingga saat ini, Keraton Kasepuhan masih memegang peran penting dalam menjaga tradisi dan warisan budaya serta spiritual kesultanan Cirebon. Keraton ini sering mengadakan berbagai acara kebudayaan, seperti peringatan maulid nabi, ziarah ke makam sunan Gunung Jati dan acara Grebeg Syawal sebagai bagian dari upaya melestarikan tradisi Islam dan budaya lokal.

Keraton ini adalah bukti nyata bagaimana seni dan arsitektur Islam bisa menyatu indah dengan budaya lokal. Setiap sudutnya bercerita tentang perjalanan sejarah dan penyebaran Islam di Jawa. Mengunjungi keraton ini bukan hanya soal melihat keindahan bangunan, tetapi juga merasakan kedalaman spiritual yang ada di baliknya. Disini, tradisi, agama, dan seni bertemu, memberi kita pemahaman baru tentang warisan budaya yang kaya dan bermakna.

Referensi:

Adeng. 1998. Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Hartanto, Tri. 2024. Konstruksi dan Aplikasi Konsep Kosmologi Arsitektur Keraton Jawa. Jambi: PT. Sonpedia Publishing Indonesia.

Muanas, Dasum. 1998. Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Suryaman, Eman. 2024. Jalan Hidup Sunan Gunung Jati. Bandung: Marja.

Tim Penulisan Naskah Pengembangan Media Kebudayaan Jawa Barat. 2006. Sejarah Seni Budaya Jawa Barat. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ani Rostiyati, Makna Bangunan Keraton Kasepuhan Cirebon, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar/makna-bangunan-keraton-kasepuhan-cirebon diakses pada Selasa, 22 oktober 2024.

Sejarah Keraton, https://cirebonkota.go.id/profil/sejarah/sejarah-keraton/cirebon diakses pada 18 0ktober 2024.

Widya Lestari Ningsih, Nibras Nada Nailufar, Sejarah Keraton Kasepuhan Cirebon, https://www.kompas.com/stori/read/2021/07/01/150000779/sejarah-keraton-kasepuhan-cirebon diakses pada Jum’at, 18 oktober 2024.

 

Kontributor: Fi’liyah, Semester IV

Editor: Yayu

Leave a Reply