Ilmuwan Muslim: Ibnu Khaldun Sejarawan dan Sosiolog Asal Tunisia

Ilmuwan Muslim: Ibnu Khaldun Sejarawan dan Sosiolog Asal Tunisia

MAHADALYJAKARTA.COM – Ibnu Khaldun adalah salah satu tokoh yang hidup pada masa kegelapan Islam. Beliau dipandang sebagai satu-satunya cendekiawan muslim yang kreatif menghidupkan khazanah intelektualisme Islam pada periode pertengahan. Dalam lintasan sejarah, beliau tercatat sebagai ilmuwan muslim pertama yang serius menggunakan pendekatan historis dalam wacana keilmuan Islam. Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M. Keluarganya termasuk salah satu keluarga Andalusia yang berhijrah ke Tunisia pada pertengahan abad ke-7 H. Nama lengkapnya Waliyuddin Abdurrahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Abdurrahman ibn Khaldun.

Beliau dibesarkan dalam pangkuan ayahnya yang juga guru pertamanya. Beliau belajar Al-Qur’an mulai dari membaca, menghafal dan juga mempelajari berbagai tafsirannya. Beliau juga belajar ilmu hadist dan fiqih. Beliau diajari tata bahasa dan retorika oleh ulama paling terkenal di Tunisia. Saat itu pusat pendidikan Islam ada di Afrika Utara, disanalah tempat berkumpulnya para cendekiawan Andalusia yang tersingkir karena berbagai peristiwa atau karena negara mereka sendiri tidak ramah kepada mereka. Ibnu Khaldun memang sudah sangat terkenal kecerdasannya. Beliau dapat menghafal seluruh nama-nama gurunya dalam setiap cabang ilmu dan menjelaskan dengan baik kehidupan dan karakter. Beliau juga dapat menyebut judul-judul buku yang beliau pelajari. Dari sekian banyak tulisannya, terlihat bahwasanya beliau menguasai berbagai ilmu. Mulai dari ilmu hadits, fiqih, filologi dan puisi. Selama menjalani kehidupan kenegaraannya beliau juga mempelajari ilmu logika dan filsafat dan menunjukkan penguasaannya dalam kedua bidang itu. Semua gurunya mengakui kemampuan-kemampuan dan memberikan ijazah mereka kepada beliau. 

Ibnu Khaldun melanjutkan studinya hingga berumur 18 tahun. Pada saat itu Afrika Utara mengalami perpecahan yang membuat seluruh dunia Islam mulai dari Samarkand Mauritania jatuh karena wabah mematikan atau “wabah yang menyapu bersih”.  Yang tak lain adalah epidemi yang sama terjadi di Italia dan kebanyakan negara di Eropa. Dalam perpecahan yang sama-sama meruntuhkan Timur dan Barat ini, pada 1349 M/ 749 H Ibnu Khaldun ditinggal wafat kedua orang tua dan semua gurunya. Sebagian besar penduduk Tunisia pun tewas. Beliau menyatakan sangat berduka cita atas meninggalnya kedua orang tua dan para gurunya. Selain rasa sedih yang mendalam, kematian ini juga memiliki kesan tersendiri bagi Ibnu Khaldun. Semenjak kejadian itu, Ibnu Khaldun mulai belajar hidup mandiri dan bertanggung jawab. Dari sinilah Ibnu Khaldun mulai hidup sebagai manusia dewasa tanpa menggantungkan diri kepada orang lain. Beliau pun memutuskan untuk berhijrah ke Mauritania, dimana disanalah tempat guru-guru dan teman-temannya meninggal. Namun kakaknya mencegahnya. Tak lama setelah mendapatkan kesempatan memasuki kehidupan kenegaraan, Ketika Abu Muhammad ibn Tafrakin, penguasa Tunisia memanggil Ibnu Khaldun untuk menempati jabatan sekretaris pribadi tawanannya, Sultan Muda Abu Ishaq. Saat itu, usia Sang Sejarawan belum lagi 20 tahun. Di usia yang masih begitu muda beliau sudah diangkat menjadi seorang sekretaris. Semua itu menandakan bahwa beliau memang sejak remaja terkenal akan kecerdasannya, selain itu beliau juga terus mengembangkan dan menunjukkan pada dunia akan kecerdasannya itu. Sehingga tak salah jika beliau sudah terkenal sejak dini.

Reputasi Ibnu Khaldun secara realita memang diakui dan dikagumi oleh kaum intelektual baik dari kalangan Timur maupun Barat. Berkat kerja kerasnya ini telah banyak predikat yang disandingkan kepada beliau, sehingga beliau disebut sebagai seorang sejarawan, ahli filsafat sejarah, sosiolog, ekonom, geografer, ilmuwan politik dan lain-lain. Banyaknya predikat yang disandangkan kepadanya membuktikan bahwa beliau cendekiawan Muslim yang keilmuannya hampir sempurna menjelaskan tentang kehidupan manusia. Akan tetapi, dalam bidang sejarah dan filsafat  sejarah, Ibnu Khaldun lebih mendapat perhatian khusus daripada bidang-bidang lainnya. Hal ini terbukti dari banyaknya penghargaan yang telah didapatkannya. Sesungguhnya ketenaran dan kemewahan Ibnu Khaldun disebabkan oleh karya monumentalnya, al-Muqaddimah dalam tiga kategori keilmuan, yaitu:

  1. Ilmu sejarah kritis sebagai reaksi terhadap para sejarawan terdahulu yang cenderung mencampur adukkan legenda atau mitos yang tidak masuk akal dengan fakta historis dalam kerangka sejarah.
  2. Sosiologi sebagai upaya Ibnu Khaldun dalam menginterpretasikan fenomina-fenomina kemasyarakatan secara umum.
  3. Ilmu politik yang berusaha mengkaji hukum-hukum perkembangan masyarakat dan kekuasaan negara.

Melihat ketiga kandungan al-Muqaddimah di atas, terutama kandungan pertama, Glasse menganggap Ibnu Khaldun sebagai Bapak Historiografi. Menurutnya, Ibnu Khaldun adalah seorang ahli sejarah yang bukan hanya mencatat peristiwa-peristiwa sejarah, namun lebih jauh dari itu, ia telah mencermati sebab-sebab dan alasan-alasan yang menonjol dalam suatu proses historis. Dengan pemikiran sejarah seperti ini, gambaran sejarah masa depan kiranya dapat diperkirakan.

Pada sisi lain, Ibnu Khaldun telah berusaha menginterpretasikan peristiwa-peristiwa historis secara filosof, sehingga banyak para ahli telah menganggap beliau sebagai Bapak Filsafat Sejarah. Berkat karya beliau al-Muqaddimah, beliau mendapat gelar prolegomena atau perkenalan pada berbagai ilmu perkembangan kehidupan manusia di kalangan ilmuwan barat. Dari situ, Ibnu Khaldun mengutarakan pandangannya untuk memperbaiki kesalahan dalam kehidupan, menjadikan karya beliau seperti ensiklopedia yang mengisahkan berbagai perkara dalam kehidupan sosial manusia. Kajian yang dilakukan Ibnu Khaldun tidak hanya mencangkup kisah kehidupan masyarakat pada saat itu saja, tetapi juga merangkum sejarah umat terdahulu. Selain sebagai ilmuwan dalam bidang ilmu sosial, Ibnu Khaldun mampu menjalankan tugas dengan baik saat dilantik sebagai kadi (wali agama) Ketika di Mesir. Kebijakan beliau mendorong Sultan Burquq, yaitu Sultan Mesir pada waktu itu, memberi gelar Waliuddin kepada Ibnu Khaldun.

Selain al-Muqoddimah ada salah satu karyanya yang juga sangat masyhur yaitu, Al’Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man Asa rahum min zawi al-Sultan al-Akbar atau yang biasa dikenal Kitab al-‘Ibar. Kitab al-‘Ibar seperti yang dituturkan penulisnya, disusun dengan sistematika sebagai berikut : 

  1. Pendahuluan (Muqoddimah) yang membahas tentang manfaat historiografi, bentuk-bentuk historiografi dan beberapa kesalahan sejarawan.
  2. Buku pertama yang berisi tentang peradaban (umran) dan berbagai karakteristiknya seperti kekuasaan, pemerintahan, mata pencahariaan, penghidupan, keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan.
  3. Buku kedua yang mencakup uraian tentang sejarah bangsa Arab dan bangsa-bangsa yang sezaman dengannya, seperti bangsa Nabti, Siryani, Persia, Israil, Qibti, Yunani, Romawi, Turki dan Franka
  4. Buku ketiga menguraikan sejarah bangsa Berber dan Zanatah, khususnya kerajaan dan negara-negara di Afrika Utara (Maghribi). 

Melihat luasnya materi yang dibahas, kitab al-Ibar layak disebut sebagai an exhaustive history of the word (sebuah sejarah dunia yang lengkap). Dari sinilah para pengkaji Ibnu Khaldun yang sering disebut dengan kaum Khaldunian, baik dari kalangan Timur maupun Barat, sering menyebut kitab al-Ibar dengan The Universal History atau The History of The Word. 

Beliau menulis kitab ini saat berada di maghribi. Kitab ini sebanyak enam jilid yang didahului oleh pengantar yang berjudul Muqoddimah. Ibnu Khaldun menghabiskan waktunya selama delapan tahun di Maghribi, Ia menghabiskan waktunya empat tahun untuk menyelesaikan kitabnya (Al-Ibar) di Qal’ah Ibnu Salamah (776-780 H) dan empat tahun sisanya di Tunisia untuk mengajar.

Dari Tunisia, Ibnu Khaldun berangkat ke Mesir pada 784 H. Di sini beliau menjadi dosen di universitas al-Azhar, Kairo. Kuliahnya sangat diminati para mahasiswa. Karena pengaruhnya yang dalam, ia difitnah dan diturunkan dari jabatannya sebagai hakim. Meskipun demikian, Beliau tetap mengajar di perguruan tinggi. Tahun 801 ia diangkat menjadi hakim Mazhab Maliki. Jabatan hakim Mazhab Maliki ini dipegangnya beberapa kali, setelah beberapa kali pula lepas dari tangannya

Ibnu Khaldun wafat pada 26 Ramadhan 808 H atau 16 maret 1406 M di Kairo. Dari riwayat hidupnya, dapat kita simpulkan bahwasanya beliau adalah sosok ilmuwan yang sangat hebat pada zamannya, dimana beliau yang dengan semangatnya mencari ilmu dan memperluas pengetahuannya terhadap berbagai ilmu. Bahkan beliau juga dijuluki sebagai Bapak Sejarah.

Referensi:

Muhammad Abdullah Enan, Biografi Ibnu Khaldun: Kehidupan dan Karya Bapak Sosiologi Dunia, Jakarta: Zaman, 2013.

Prof. Dr. Toto Suharto, S.Ag. M.Ag, Historiografi Ibnu Khaldun: Analisis Atas Tiga Karya Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2020.

Dr. Drs. H. Amran Suadi, S.H., M.Hum., M.M, Sosiologi Hukum: Penegakan, Realitas dan Nilai Moralitas Hukum, Jakarta: Kencana, 2018.

Mohammad Chodry, Konsep Sosiologi Pendidikan Perspektif Ibnu Khaldun, Batu: Literasi Nusantara, 2020.

Dr. Dhiauddin, M. Pd, Nuruzzahri, M.Pd.I, Madzhab Pendidikan Islam: Kajian Pemikiran Ibnu Khaldun, Batu: Literasi Nusantara, 2019.

Kontributor: Fina Amalia, Semester II

Leave a Reply