Dinasti Fatimiyah: Pergolakan Faham Syiah dan Sunni

Dinasti Fatimiyah: Pergolakan Faham Syiah dan Sunni

MAHADALYJAKARTA.COM—Dinasti Fatimiyah merupakan dinasti yang didirikan oleh Abdullah al-Mahdi Billah, pengikut Syiah Ismailiyah yang mengklaim keturunan langsung dari Fatimah binti Muhammad Saw. Dan Ali bin Abi Thalib. Mereka meyakini bahwa hanya keturunan Nabi Muhammad dari garis Fatimah yang memiliki hak untuk memimpin umat Islam. Nama “Fatimiyah” diambil dari nama Fatimah, yang merupakan simbol penting dalam tradisi Syiah. 

Dinasti ini berdiri pada tahun 909 M di wilayah Afrika Utara, terutama di wilayah Maghreb yang sekarang menjadi bagian dari Tunisia. Pada tahun 969 M, mereka berhasil menaklukan Mesir dan mendirikan Kairo sebagai ibu kota kekhalifahan baru yang menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan, menggantikan Fustat yang menjadi pusat kekuasaan sebelumnya. Pendiriannya berawal dari upaya untuk mendirikan pemerintahan yang berlandaskan ajaran Syiah Ismailiyah, di tengah dominasi Sunni yang kuat, terutama di wilayah Abbasiyah. Dalam konteks ini, Fatimiyah berusaha untuk menciptakan identitas politik dan religius yang berbeda, yang juga membawa konsekuensi bagi hubungan antara Syiah dan Sunni. 

Gerakan Ismailiyah dibangun atas dasar pertentangan mereka dengan akidah sunni dan visi politik Abbasiyah. Gerakan Ismailiyah tumbuh dan berkembang ingin menghancurkan Abbasiyah. Dengan tujuan tersebut, mereka membangun suatu gerakan politik agama yang dikenal dengan sebutan Ad-Da’wah, sehingga para dai Fatimiyah menyebar ke seluruh penjuru wilayah Abbasiyah dengan melakukan kegiatan politik dan dakwah agar mereka mampu menumpas kekhalifahan Abbasiyah. 

Mengenai faham Syiah dan Sunni, aliran ini berasal dari perbedaan pandangan mengenai kepemimpinan umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Sunni mengakui pemilihan khalifah melalui kesepakatan, sedangkan Syiah percaya bahwa kepemimpinan harus berasal dari keturunan Nabi. Pergolakan antara keduanya menjadi salah satu ciri khas dalam sejarah Islam dan mempengaruhi dinamika politik di berbagai wilayah.

Fatimiyah dikenal karena sistem pemerintahannya yang inovatif, dimana mereka mengadopsi banyak aspek dari pemerintahan Abbasiyah, tetapi dengan nuansa Syiah yang kuat. Mereka menerapkan prinsip pemerintahan yang bersifat inklusif dan toleran terhadap berbagai aliran dalam Islam, meskipun tetap memprioritaskan ajaran Syiah. Dari segi kebudayaan, dinasti ini menjadi pusat intelektual dan artistik. 

Kairo, sebagai ibu kota, menjadi salah satu pusat pendidikan dan seni, di mana universitas-universitas dan pusat penelitian didirikan. Arsitektur, seni, dan ilmu pengetahuan berkembang pesat selama masa pemerintahan Fatimiyah, dengan banyak karya sastra dan ilmiah yang dihasilkan. Mereka juga memperkenalkan tradisi baru dalam seni, seperti teknik pembuatan keramik dan tekstil yang halus.  Meskipun Dinasti Fatimiyah berusaha untuk membangun tatanan sosial yang damai, ketegangan antara Syiah dan Sunni terus berlanjut. Konfrontasi ini sebagian besar dipicu oleh klaim Fatimiyah terhadap kekhalifahan yang dianggap oleh Sunni sebagai hak eksklusif dari keturunan Abu Bakar dan Umar, sahabat Nabi Muhammad Saw. 

Pada abad ke-11, ketegangan ini semakin meningkat, terutama dengan munculnya gerakan Sunni yang berusaha mengembalikan kekuasaan dan pengaruh mereka. Salah satu tokoh penting dalam sejarah ini adalah al-Ghazali, seorang teolog Sunni, yang mengkritik Syiah dan berusaha memperkuat kembali posisi Sunni di kalangan umat Islam. Karya-karya al-Ghazali menjadi referensi penting bagi kalangan Sunni dalam memahami dan mengkritik pemikiran Syiah.

Ubaidillah al-Mahdi juga pernah mengalami kesulitan besar dalam menyebarkan madzhabnya terhadap masyarakat Ifriqiya yang beraliran Sunni. Penduduk Ifriqiya dan ulama pengikut Mazhab Maliki melawan Ubaidillah al-Mahdi dengan melakukan pemboikotan, pengingkaran dan kekuatan. Para pengikut Madzhab Maliki mengingkari Mazhab Ismaili dan menentang pemaksaan yang dilakukan oleh pemerintahnya terhadap kelompok Ahlu Sunnah, mereka juga mengingkari bentuk penyucian dan pengkultusan yang diinginkan oleh Ubaidillah al-Mahdi atas dirinya. Pemberontakan yang dilakukan oleh masyarakat Sunni merambah di sebagian kota-kota Ifriqiya yang dapat disebutkan, diantaranya; pemberontakan di al-Qashr al-Qadim, penduduk Qairuwan, Tripoli Barat, Sicilia, Bangsa Barbar dan al-Kutamiyin.

Sebagai penguasa Syiah, Dinasti Fatimiyah menghadapi perlawanan dari berbagai kalangan Sunni, seperti Dinasti Seljuk yang merupakan kekuatan Sunni yang dominan di Timur Tengah pada waktu itu, juga memiliki konflik dengan Dinasti Fatimiyah. Mereka merasa terancam oleh kekuasaan Fatimiyah dan berusaha  mengembalikan dominasi Sunni. Hal ini menyebabkan peperangan dan konflik politik yang mana masing-masing pihak berusaha menunjukkan superioritas ajarannya. 

Peperangan ini tidak hanya bersifat militer, tetapi juga melibatkan pertempuran ideologis. Fatimiyah berusaha menguatkan legitimasi kekuasaan mereka dengan mengklaim hubungan langsung dengan Nabi Muhammad, sementara Seljuk berusaha memperkuat basis Sunni mereka dengan menekankan pentingnya kepemimpinan yang sah menurut tradisi Sunni. Meskipun Fatimiyah berhasil mempertahankan kekuasaan mereka selama beberapa abad, mereka akhirnya mulai mengalami kemunduran pada abad ke-12. Salah satu penyebab utama keterpurukan ini adalah tekanan dari luar, terutama dari dinasti Seljuk yang terus memperluas wilayah kekuasaan mereka. 

Selanjutnya, munculnya perang Salib pada tahun 1096 M juga memberikan dampak besar bagi Dinasti Fatimiyah. Saat itu Dinasti Fatimiyah menguasai kota Yerusalem sejak tahun 969 M. Paus Urbanus mengeluarkan seruan untuk perang Salib, dalam konteks untuk membantu kekaisaran Bizantium dan merebut tanah suci dari dinasti Fatimiyah. Ketidakpuasan di kalangan umat Kristen, serta konflik internal antara kekhalifahan Sunni dan Syiah menciptakan kondisi yang mendorong ekspedisi ini. 

Ketika Perang Salib mencapai wilayah yang dikuasai Dinasti Fatimiyah, mereka mengalami pertempuran sengit. Salah satu pertempuran penting adalah pertempuran Ascalon pada tahun 1099, yang mana pasukan Fatimiyah berusaha mengusir tentara Salib yang baru saja merebut Yerssalem. Perang Salib ini berdampak membawa perubahan besar dikawasan tersebut. Meskipun Fatimiyah tidak sepenuhnya hancur, kekuatan mereka mulai menurun, dan mereka harus menghadapi ancaman baru dari pasukan Salib dan kekhalifahan lain, seperti Ayyubiyah yang didirikan oleh Salahuddin al- Ayyubi. Dinasti Ayyubiyah berhasil merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M.

Sejarah Dinasti Fatimiyah adalah kisah tentang kebangkitan, keberhasilan, dan akhirnya kejatuhan sebuah kekhalifahan yang berusaha menciptakan identitas baru dalam dunia Islam. Pergolakan antara faham Syiah dan Sunni yang menyertai perjalanan mereka mencerminkan dinamika kompleks dalam sejarah Islam. Dinasti Fatimiyah meninggalkan warisan yang mendalam, tidak hanya dalam konteks politik, tetapi juga dalam kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan pemikiran Islam yang terus berlanjut hingga saat ini.

Dengan demikian, Dinasti Fatimiyah bukan hanya menjadi bagian dari sejarah, tetapi juga merupakan bagian integral dari perkembangan Islam dan hubungan antara berbagai aliran yang ada di dalamnya. Meskipun terjadinya banyak konflik, pengaruh dan kontribusi mereka tetap diingat dan dipelajari, memberikan pelajaran berharga bagi generasi mendatang tentang pentingnya toleransi dan pemahaman dalam masyarakat yang plural.

Referensi:

  1. Thaqqusy, Muhammad Suhail. 2015. Bangkit dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah. Terjemahan Masturi Irham dan M. Abidun Zuhri. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

  2. Hillenbrand, Carole. 2007. Perang Salib: Sudut Pandang Islam. Terjemahan Heryadi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

  3. Ismail, Faisal. 2017. Sejarah dan Kebudayaan Islam Periode Klasik (Abad VII–XIII M). Yogyakarta: IRCiSoD.

  4. Hitti, Philip K. 2006. History of the Arabs. Terjemahan Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

  5. Aizid, Rizem. 2023. Selayang Pandang Dinasti Fatimiyah. Yogyakarta: Diva Press.

Kontributor: Uswatun Hasanah

Editor: Shffa

Leave a Reply