MAHADALYJAKARTA.COM— Dinasti Fatimiyah adalah dinasti yang mendirikan kekuasaan Syi’ah Isma’iliyah di Afrika Utara dan sekitarnya. Didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi pada tahun 909 M, dinasti ini mengklaim keturunan langsung dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Muhammad, yang menjadi dasar nama Fatimiyah. Dalam perspektif Sunni, mereka sering disebut Ubaidiyyun.
Dinasti ini berkembang di tengah ketegangan politik antara Suku Barbar dan kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Mereka tidak hanya berfokus pada penguasaan wilayah, tetapi juga mengembangkan doktrin Syiah radikal Ismailiyah yang meliputi aspek politik, agama, filsafat, dan sosial. Salah satu tujuan mereka adalah untuk menduduki Mesir, yang dianggap strategis dalam penyebaran Islam.
Dengan pemindahan ibukota ke Kairo, Fatimiyah menegaskan posisinya sebagai kekhalifahan yang sah dan memberikan gelar kehormatan kepada para khalifahnya. Masa pemerintahan dinasti ini berlangsung selama sekitar 262 tahun (909 M-1171 M), dengan total 14 khalifah. Dari jumlah tersebut, delapan diantaranya memainkan peran penting dalam pengembangan dinasti dan doktrinnya.
Para khalifah seperti Ubaidillah al-Mahdi dan Al-Hakim memiliki pengaruh besar dalam kebudayaan, arsitektur, dan pengembangan ilmu pengetahuan pada masanya. Dinasti Fatimiyah juga dikenal karena kontribusinya yang signifikan terhadap seni dan ilmu pengetahuan, serta upaya mereka dalam menyebarkan Syi’ah sebagai madzhab resmi negara.
Masa Kemajuan Peradaban Islam di Mesir
Masa kemajuan peradaban Islam di Mesir, khususnya di bawah Dinasti Fatimiyah, menandai salah satu periode paling penting dalam sejarah Islam. Dengan wilayah kekuasaan yang luas, termasuk Maroko, Tunisia, dan Mesir, serta bagian Asia seperti Syria dan Yordania, Dinasti Fatimiyah memberikan dampak yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan.
Ketika ibukota dipindahkan ke Mesir, banyak inovasi dan sumbangan yang muncul dalam bidang pemerintahan dan keilmuan. Di bawah kekhalifahan Al-Aziz, dinasti ini mencapai puncak kejayaannya. Beberapa kontribusi utama Dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam, terutama di bidang politik dan pemerintahan, pemikiran dan filsafat, pendidikan dan ilmu pengetahuan, ekonomi dan perdagangan, sosial kemasyarakatan, dan pemahaman agama.
Pertama, politik dan pemerintahan. Dinasti Fatimiyah menerapkan sistem pemerintahan yang terstruktur dan mengembangkan administrasi yang efisien. Mereka memperkenalkan birokrasi yang terorganisir dan sistem hukum yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan.
Kedua, pemikiran dan filsafat. Dinasti Fatimiyah mendorong perkembangan pemikiran intelektual, menjadikan Kairo sebagai pusat filsafat dan ilmu pengetahuan. Berbagai sekolah dan lembaga pendidikan di bangun, mendukung diskusi tentang teologi, logika, dan sains.
Ketiga, pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dinasti ini mendirikan banyak madrasah dan universitas, yang menjadi tempat pembelajaran bagi banyak ilmuwan. Perhatian terhadap ilmu pengetahuan melahirkan tokoh-tokoh penting di bidang kedokteran, astronomi, dan matematika.
Keempat, ekonomi dan perdagangan. Kairo menjadi pusat perdagangan yang penting, dengan pelabuhan yang ramai dan jalur perdagangan yang menghubungkan berbagai wilayah. Kebijakan ekonomi yang mendukung perdagangan memperkuat perekonomian masyarakat.
Kelima, sosial kemasyarakatan. Dinasti Fatimiyah juga berkontribusi dalam pembangunan sosial. Mereka memperhatikan kesejahteraan masyarakat melalui program-program sosial dan infrastruktur, termasuk pembangunan jalan dan pasar.
Keenam, pemahaman agama. Dalam konteks religius, Fatimiyah mempromosikan Syi’ah Isma’iliyah sebagai mazhab resmi, mendukung dialog dan toleransi antar berbagai aliran dalam Islam.
Secara keseluruhan, Dinasti Fatimiyah memainkan peran krusial dalam membentuk peradaban Islam di Mesir dan wilayah sekitarnya, meninggalkan warisan yang berpengaruh dalam sejarah dan budaya Islam.
Masa Kejatuhan Peradaban Islam di Mesir
Dinasti Fatimiyah, yang didirikan oleh al-Mahdi Billah, mengalami masa kejayaan dan kejatuhan yang dramatis sepanjang sejarahnya. Setelah kematian al-Aziz, kekuasaan diambil alih oleh Abu Ali al-Mansyur (al-Hakim), yang dikenal karena kebijakan represifnya dan tindakan-tindakannya yang menimbulkan kebencian di kalangan kaum Dzimmi dan Muslim non-Syi’ah. Kebijakan al-Hakim, termasuk penghancuran gereja-gereja dan perlakuan diskriminatif terhadap non-Muslim, berkontribusi terhadap munculnya konflik yang lebih besar, termasuk Perang Salib.
Setelah al-Hakim terbunuh, putranya, Abu al-Hasan Ali al-Dhahiri, naik tahta sebagai khalifah dan berupaya memperbaiki hubungan dengan kaum Dzimmi. Namun upaya tersebut tidak berlanjut setelah kematian al-Dhahiri, yang kemudian digantikan oleh Abu Tamim Ma’ad al-Mustansir. Pada masa al-Mustansir, kekhalifahan mulai mengalami pergeseran menuju sistem parlemen yang berada di bawah pengaruh para menteri.
Kejatuhan Dinasti Fatimiyah semakin terasa dengan munculnya tantangan dari Seljuk dan Perang Salib. Bencana alam dan wabah penyakit turut memperburuk keadaan, memicu pemberontakan di di berbagai provinsi. Setelah masa pemerintahan al-Mustanshir, suksesi kekuasaan di dalam dinasti menjadi penuh intrik, yang menyebabkan terpecahnya dinasti menjadi dua faksi yang saling berseteru, yaitu Nizari dan Musta’li.
Akhirnya, kekuasaan Fatimiyah berakhir dengan munculnya Salahuddin al-Ayyubi, yang berhasil menyatukan Mesir dan mengalahkan tentara Salib. Setelah kematian al-Adhid, khalifah terakhir Dinasti Fatimiyah, dinasti ini runtuh setelah berkuasa selama sekitar 280 tahun. Runtuhnya Dinasti Fatimiyah sekaligus mengakhiri dominasi Syiah Ismailiyah di Mesir dan membuka jalan bagi penguatan paham Ahlussunnah wal Jamaah. Faktor-faktor utama menyebabkan keruntuhan dinasti ini meliputi disintegrasi wilayah, konflik internal, bencana alam, dan serangan musuh dari luar seperti Salahuddin.
Selama masa pemerintahannya, Dinasti Fatimiyah mengalami berbagai fase, termasuk kemajuan, perkembangan, dan akhirnya kejatuhan. Dalam bidang arsitektur, dinasti ini berhasil menunjukkan prestasi yang signifikan, menciptakan bangunan megah yang sampai sekarang masih bisa disaksikan, seperti Masjid Al-Azhar dan Masjid Al-Hakim bi Amrillah.
Pertama, Masjid Al-Azhar. Didirikan pada tahun 970 M, masjid ini merupakan salah satu masjid tertua dan paling penting dalam sejarah Islam. Al-Azhar juga menjadi pusat pendidikan dan keilmuan yang terkenal, menarik para pelajar dari berbagai belahan dunia. Masjid ini bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga simbol intelektualitas dan kemajuan budaya Islam.
Kedua, Masjid Al-Hakim bi Amrillah. Didirikan pada awal abad ke-11, masjid ini terkenal dengan arsitekturnya yang megah dan rumit. Masjid ini menjadi salah satu contoh arsitektur Fatimiyah yang mencerminkan keindahan dan keunikan gaya yang khas pada masa itu.
Kedua masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat kegiatan sosial, pendidikan, dan kebudayaan. Keberhasilan Dinasti Fatimiyah dalam bidang arsitektur mencerminkan kekuatan politik dan kemajuan peradaban Islam pada masa itu.
Namun, seiring berjalannya waktu, dinasti ini akhirnya mengalami kejatuhan, tetapi warisan arsitektur dan kebudayaannya tetap hidup dan menjadi bagian penting dari sejarah Mesir dan dunia Islam.
Referensi:
Bakri, S. 2022. Sejarah kebudayaan Islam. Sukoharjo: Eudepress.
Nasution, S. 2013. Sejarah peradaban Islam. Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau.
Zubaidah, S. 2016. Sejarah peradaban Islam. Medan: Perdana Publishing.
Syauqi, A., dkk. 2016. Sejarah peradaban Islam. Yogyakarta: Aswaja Presindo.
Al-Azizi, A. S. 2017. Sejarah terlengkap peradaban Islam. Yogyakarta: Noktah.
Kontributor: Danial M