Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) hutang merupakan uang yang dipinjam orang lain. Dikutip dari kitab Yaqut an-Nafis karangan Ahmad Bin Umar As Syatiri, bahwa hutang merupakan pemindahan hak kepemilikan suatu barang dengan kosekuensi untuk menggantinya.
Selain jual beli, ada juga istilah dalam Islam yang dinamakan dengan riba. Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam buku Fiqih Muamalat karangan Ahmad Sarwat, Lc menyebutkan bahwa riba adalah tambahan pada harta yang disyaratkan dalam transaksi dari dua pelaku akad dalam tukar menukar antara harta dengan harta.
Seiring dengan bertambahnya kebutuhan manusia mulai dari yang bersifat primer maupun sekunder, sehingga berbagai macam cara ditempuhnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, termasuk di antaranya adalah hutang piutang. Hutang piutang bisa dikategorikan sebagai kebutuhan manusia itu sendiri, atau hanya sebagai perantara untuk memenuhi kebutuhan.
Menghutangi merupakan sesuatu yang disunnahkan, sementra bagi orang yang berhutang dihukumi mubah. Hikmah disyariatkannya hutang piutang adalah untuk mengasihi sesama manusia dan hal itu juga menjadi sarana bagi orang yang menghutangi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hutang memiliki nilai ibadah yang lebih tinggi daripada sedekah bagi pihak yang menghutangi, karena tidak semua orang yang disedekahi membutuhkan, berbeda dengan orang yang berhutang, sudah pasti dia butuh.
Dalam kitab Shohih At-Targhib wa At-Tarhib halaman 900 dijelaskan bahwa Rasulullah saw. besrsabda:
عَنْ اَبِى اِمَامَة الْبَاغِلِ رَضِيَ اللَّه عَنهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله صل الله عليه وسلم: “دَخَلَ رَجُلٌ الْجَنَّةَ, فَرأى عَلَىى بَابِهَا مَكْتُوباً: الصَّدَقَةُ بِعَشْرِ اَمْثَالِهَا,
“وَالْقَرْضُ بِثَمَانِيَةَ عَشَرَ
Artinya: Dari Abi Umamah Al-Bahili radhiyallahu‘anhu berkata: Rasullah Saw. bersabda: “Ada seseorang masuk surga kemudian ia melihat di atas pintu surga tertulis: sedekah dibalas sepuluh kali lipat, sementara menghutangi dibalas delapan belas kali lipat.”
Membahas mengenai hutang banyak problematika terkait yang terjadi di masyarakat yang perlu kita kaji untuk memberikan solusi yang tepat menurut syariat Islam. Di antara problematika itu adalah ilustrasi yang akan saya paparkan di bawah ini;
Pada tahun 2000 ada dua orang kakak beradik, si adik memiliki anak yang sedang menderita suatu penyakit. Untuk membiayai pengobatan anaknya tersebut, si adik membutuhkan biaya sebesar 20 juta. Karena itu si adik mencoba meminjam uang kepada kakaknya. Akan tetapi si kakak tidak mempunyai uang sebesar itu. Si kakak hanya memiliki sepetak tanah dan dia berniat menjual sepetak tanah tersebut. Yang nantinya hasil dari penjualan tersebut akan dia pinjamkan kepada adiknya. Tahun demi tahun silih berganti sampai pada tahun 2018 ketika si adik sudah sukses ia berniat mengembalikan pinjaman kepada kakaknya.
Ketika tahun 2018, sepetak tanah si kakak yang saat tahun 2000 dijual dengan harga 20 juta sedangkan pada tahun 2018 sepetak tanah tersebut harganya bisa mencapai 200 juta. Si kakak menuntut untuk dibayar dengan harga sekarang, artinya dia meminta untuk dilunasi sebesar 200 juta. Bagaimanakah pandangan hukum Islam menyikapi hal tersebut?
Sebelum pembahasan yang lebih dalam saya ingin menyampaikan terlebih dahulu rukun dan syarat hutang piutang. Rukun hutang piutang yaitu muqridl (orang yang memberikan hutang), muqtaridl (orang yang menerima hutang), muqrodl (sesuatu yang dihutangkan/piutang), dan shighah (ijab dari pihak muqridl dan qabul dari pihak muqtaridl). Sedangkan syarat sah hutang piutang yaitu adanya ijab dan qabul, muqridl dan muqtaridl disyaratkan baligh, berakal, rasyid (orang yang bisa mengola harta), ahli tabarru’ (bisa memanfaatkan untuk kebaikan), harta yang dihutangkan mendapat legalitas syar’i, harta yang dihutangkan jelas takarannya, dan harta yang dihutangkan bisa berpindah tempat.
Memandang shighat hutang piutang adalah hutang piutang berupa uang, maka hutang yang harus dilunasi adalah harga yang dulu, karena dalam konteks masalah tersebut si muqridl menuntut harga berdasarkan perkembangan atau kenaikan harga yang memang hal itu, tidak berlaku dalam hutang piutang shighat demikian.
Menurut mayoritas ulama fikih madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali dalam permasalahan naik turunnya harga, si muqtaridl dalam melunasi hutangnya tidak dipengaruhi oleh naik turunnya harga apabila hutang piutang berupa uang, hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Al-Hawi Lil Fatawa karya Imam Suyuti (juz: 1, hal: 97)
ذَهَبَ جُمْهُوْرُ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ وَ الشَّافعِيَّةِ وَ الْحَنَابِلَةِ وَ هُوَ قَوْلُ اَبِيْ حَنيِفَةَ, اِلَى اَنَّ الْوَاجِبَ فِى الرُّخَصِ وَ الْغَلاَءِ اَدَاءُ ذَاتِ النّقْدِ الثاَّبِتِ فِى ذِمَّةَ الْمَدِيْنِ دُوْنَ اعْتِبَارٍ لِلرُّخَصِ وَ الْغَلاَءِ, وَ لَيْسَ لِلدّائِنِ سِوَاهُ
Artinya : Mayoritas ulama Fiqih dari kalangan Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali yaitu perkataan Abu Hanifah, bahwa ketika terjadi naik turun nilai mata uang maka orang yang hutang harus melunasi tanpa mempertimbangkan naik turun nilai mata uang tersebut.
Dalam kitab I’anah At-Tholibin juz 3, halaman 48 karangan Abu Bakr bin Muhammad Syattha ad-Dimyati, melihat definisi hutang yang dipaparkan kitab disebut, jelas bahwa dalam kasus hutang piutang mustaqridl harus membayar senilai harta yang ia hutang.
الاِقْرَاضُ الَّذِى هُوَ تَمْليِكُ الشَّيْءِ عَلَى يُرَدَّ مِثْلُهُ
Artinya: Akad hutang adalah pemberian kepemilikan sesuatu untuk kemudian dikembalikan dengan jenis yang sama.
Kalau mustaqrid membayar dengan harga sekarang (200 juta) maka akan masuk hukum riba karena ada unsur ziyadah (tambahan).
Dalam konteks ini mustaqridl bukan hutang tanah, jadi tidak ada alasan bagi si muqridl untuk menagih hutang dengan nilai tanah yang sekarang atas dasar dikiyaskan dengan hutang emas, karena tanah tidak bisa dijadikan barang yang dihutangkan dengan alasan syarat barang yang dihutangkan harus bisa berpindah tempat. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Hawi Al-Kabir fi Fiqhi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi (Juz: 5 Hal: 552) yaitu :
فَاِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الْقَرْضِ فَهُوَ اِنَّمَا يَجُوْزُ فِى الاَمْوَالِ الْمَنْقُلَةِ, فَاَمَّا مَا لاَ يُنْقَلُ مِنَ الدَّوْرِ وَ الْعَقَارِ وَ الضيَاعِ فَلاَ يَجُوْزُ قَرْضُهَا اعْتِبَارًا بِالعُرفِ فِيهَا, وَ اِنَّ الْعَادَةَ جَارِيَةٌ بِاِعاَرَاتِهَا
Artinya : Hutang hanya diperbolehkan pada sesuatu yang bisa berpindah tempat. Adapun sesuatu yang tidak bisa berpindah tempat seperti lantai, pekarangan, dan ladang tidak boleh diperhutangkan berdasarkan keumuman yang terjadi. Benda-benda tersebut biasanya masuk pada akad sewa-menyewa.
Jadi, kasus di atas, mustaqridl harus membayar sesuai yang telah ia hutang, karena melihat shiqhat yang terjadi yaitu hutang uang, bukan hutang tanah. Maka dalam melakukan hutang piutang hendaknya sejak awal disepakati antara pihak yang muqridl dengan muqtaridl bahwa apa sebenarnya yang dijadikan objek hutang piutang, apakah uang, emas, tanah, atau barang tertentu. Hukum hutang piutang sama dengan pinjaman. Jika ia berupa barang, maka apa yang dahulu diterima oleh pengutang itu pula yang wajib ia kembalikan. Wallahu ‘alam.
Oleh: Muh. Jirjis Fahmy Zamamy, Semester VI