Bulan Muharram, Antara Syari’at dan Bid’ah di dalam Islam

Bulan Muharram, Antara Syari’at dan Bid’ah di dalam Islam

@MAHADALYJAKARTA – Allah subhanahu wata’ala adalah Pencipta alam semesta dan semua yang ada di dalamnya termasuk ruang dan waktu. Setiap hari dalam sebulan dan setiap bulan dalam setahun diciptakan oleh Dia dengan Hikmah-Nya yang tiada terbatas. Diantara bulan dalam setahun tersebut adalah bulan Muharram.

Muharram adalah bulan pertama dalam peredaran bulan Hijrah yang didasarkan pada peredaran bulan (qamariyah). Ia adalah salah satu dari empat bulan haram seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an:

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah Swt adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah Swt di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah Swt beserta orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. At-Taubah/9: 36).

Bulan Muharram merupakan salah satu dari empat bulan yang dinamakan bulan haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah Swt menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679).

Ibnu Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Rajab dalam Latha’iful Ma’arif).

Ibnu Abbas juga berkata: “Aku tidak melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutamakan puasa pada hari tertentu melebihi hari ini, hari ‘Asyura’ dan bulan Ramadhan.” (Dikeluarkan oleh Bukhari pada kitab ke-30, Kitab Shaum bab ke-69, bab shaum hari ‘Asyura).

Baca Juga: 10 Muharram di Tengah Pekikan Suara Merdeka

Bulan Muharram juga disebut sebagai syahrullah, bulan Allah Swt, sebagaimana disebutkan dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara sholat yang paling utama setelah sholat wajib yaitu shalat malam.” (HR. Muslim no. 2812).

Menurut sebuah hadits lain, lebih baik jika puasa Asyura didahului atau diakhiri dengan puasa lain. Ini berarti bahwa orang perlu berpuasa dua hari: 9 dan 10 Muharram atau 10 dan 11 Muharram. Alasan penambahan puasa ini seperti disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu bahwa orang Yahudi biasa berpuasa pada hari Asyura saja, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ingin membedakan cara puasa Islami dengan cara puasa Yahudi. Karena itu, beliau menasehati umat Islam untuk menambah satu hari puasa selain puasa hari Asyura. Karena sedemikian istimewanya bulan Muharram ini, maka kaum muslimin berlomba-lomba untuk memperbanyak amal shalih di bulan tersebut. Namun sayangnya, ada sebagian saudara kita yang keliru dalam beribadah di bulan Muharram ini, dengan melakukan kebid’ahan di dalamnya.

Sebagian orang menganggap sunah untuk menyiapkan makanan khusus pada hari Asyura. Praktik ini juga tidak didasarkan pada sumber-sumber Islam yang shahih. Sebagian orang lainnya menisbatkan kesucian Asyura dengan kematian Husain ra dalam perang bersama pasukan Suriah. Memang, kematian Husain merupakan salah satu peristiwa paling tragis dalam sejarah kita. Namun, kesucian Asyura tidak boleh dinisbatkan pada peristiwa ini karena kesucian Asyura telah ditetapkan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jauh sebelum lahirnya Husain ra. Sebaliknya, merupakan salah satu keisimewaan Husain bahwa beliau mati syahid pada hari Asyura.

Kesalahan konsepsi lain tentang bulan Muharram ini ialah bahwa ini adalah bulan sial, Husain terbunuh pada bulan ini. Karena kesalahan konsepsi inilah sehingga orang tidak mau mengadakan upacara pernikahan pada bulan Muharram. Ini lagi-lagi merupakan konsep tak berdasar yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Praktik lain yang salah berkaitan dengan bulan ini ialah mengadakan upacara ratapan dan perkabungan untuk mengenang kematian Husain ra. Orang-orang Jahiliyah biasa berkabung atas kematian kerabat atau sahabat dengan meratap keras, merobek-robek pakaian mereka dan memukuli pipi dan dada mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang umat Islam melakukan ini dan memerintahkan mereka untuk bersabar dengan mengucapkan Innalillahi wa inna ilahi rajiun.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak termasuk golonganku orang yang menampar-nampar pipinya, merobek pakaiannya dan menangis dengan cara Jahiliyah.” Wallahu ‘alam… Semoga kita termasuk orang yang diakui beliau sebagai umatnya. Aamiin.

Referensi:

Usmani Taqi Muhammad Mufti, Bulan-bulan Istimewa dalam Islam, (Jawa Tengah: Desa Pustaka Indonesia, 2019)

Abdurrahman Fairuz Abu, Bulan Muharram Antara Syari’at dan Bid’ah di dalam Islam. Maktabah Fairuz ad-Dailamiy.

Wirdatul Jannah, Mahasantri Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah, Sem. 2

Leave a Reply