Amul Huzni: Duka Cita Rasulullah SAW

Amul Huzni: Duka Cita Rasulullah SAW

Islam adalah agama rahmatan lil alamin, sebagai bentuk belas kasih Allah swt. Kepada seluruh makhluk di jagat raya. Dengan demikian, diutuslah Rasulullah saw untuk menyebarkan agama Allah itu. Kerasulan dan risalah Rasulullah saw mempunyai keistimewaan dibandingkan nabi-nabi sebelum beliau. Beliau diutus Allah sebagai khatam al-anbiiya’ (penutup para nabi). Jadi tiada lagi nabi sesudah beliau sampai hari kiamat. Risalah beliau bersifat universal sesuai sepanjang zaman dan di setiap tempat. Sementara itu Al-quran sebagai sumber ajaran Islam lebih banyak berupa ajaran dasar dan bersifat global sehingga memungkinkan untuk diinterprestasi. 

Semasa  hidupnya Rasulullah saw berdakwah kepada orang-orang musyrik, baik dakwah secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Rasulullah saw selalu mendapat rintangan dan halangan. Dengan demikian sewaktu-waktu, bisa saja kaum musyrikin menyakiti beliau bila mereka menginginkan, sebab secara lahirnya tidak ada yang menghalangi mereka dan diri beliau selain rasa malu dan segan serta adanya jaminan paman beliau Abu Thalib dan rasa hormat terhadapnya. Sebab lainnya, karena kekhawatiran mereka terhadap akibat yang fatal dari tindakan tersebut sehingga akan membuat suku Bani Hasyim berhimpun melawan mereka. Namun, lambat laun perasaan tersebut pupus dan tidak berpengaruh banyak terhadap psikologis mereka. Karenanya, mereka menganggap remeh akan hal itu semenjak mereka merasa eksistensi berhala dan kepemimpinan spiritual yang selama ini mereka pegang sudah semakin memudar, dengan munculnya dakwah Rasulullah saw.

Manakala kaum Quraisy gagal berunding dengan cara membujuk, janji yang menggiurkan bahkan mengancam, demikian juga Abu Jahal gagal melampiaskan kedunguan dan niat jahatnya untuk menghabisi Rasulullah saw, mereka seakan tersadar tentang perlunya mencapai jalan tengah yang kiranya dapat menyelamatkan mereka. Karena itu mereka melihat perlunya mengupayakan negosiasi dengan beliau, dengan cara meninggalkan sebagian urusan agama yang mereka yakini, dan menuntut Rasulullah melakukan hal yang sama. Suatu ketika mereka menghadang Rasulullah saw yang tengah melakukan thawaf di Ka’bah seraya berkata, “Wahai Muhammad! Biarlah kami menyembah apa yang engkau sembah dan engkau juga menyembah apa yang kami sembah sehingga kami dan engkau dapat berbagi dalam menjalankan urusan  ini”. Lalu Allah menurunkan tentang mereka Surat al-Kafirun seluruhnya.

Demikianlah tindakan kaum musyrikin secara umum, sedangkan Abu Thalib secara khusus menghadapi tuntutan kaum Quraisy agar menyerahkan Rasulullah saw kepada mereka untuk dibunuh. Abu Thalib mengamati gerak-gerik dan tindakan mereka. Dia mencium keinginan kuat mereka untuk benar-benar menghabisi Rasulullah dan mengabaikan jaminan perlindungan terhadap beliau, sebagaimana yang dilakukan oleh Uqbah bin Abu Mu’aith, Umar bin al-Khaththab (sebelum masuk Islam) dan Abu Jahal. Akhirnya Abu Thalib mengumpulkan seluruh keluarga Bani Hasyim dan Bani al-Muthalib dan menghimbau mereka agar menjaga Rasulullah saw. Mereka semua memenuhi imbauan itu, baik yang sudah masuk islam maupun yang masih kafir sebagai sikap fanatisme Arab. Mereka berikrar dan mengikat janji di Ka’bah. Hanya saja saudaranya, Abu Lahab lebih memilih untuk menentang mereka dan berada di pihak kaum Quraisy.

Setelah segala cara sudah ditempuh dan tidak membuahkan hasil , kepanikan kaum musyrikin mencapai puncaknya, ditambah lagi mereka mengetahui bahwa Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib bersikeras untuk menjaga dan membela Rasulullah saw. Karena itu mereka berkumpul di kediaman Bani Kinanah yang teretak di lembah al-Muhashshab dan bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak bergaul, berbaur, memasuki rumah maupun berbicara dengan mereka hingga mereka menyerahkan Rasulullah saw untuk dibunuh. Mereka mendokumentasikan hal tersebut di atas shahifah (lembaran) yang berisi perjanjian dan sumpah “bahwa mereka selamanya tidak akan menerima perdamaian dari Bani Hasyim dan tidak akan berbelas kasihan terhadap mereka kecuali bila mereka menyerahkan Rasulullah saw untuk dibunuh.”

Perjanjian itu pun dilaksanakan dan digantungkan di dalam Ka’bah, namun seluruh Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib, baik yang masih kafir maupun yang sudah masuk Islam kecuali Abu Lahab tetap berpihak untuk membela Rasulullah saw. Mereka akhirnya terisolasi di celah bukit milik Abu Thalib pada malam pertama bulan Muharam tahun ke-7 kenabian, ada pula yang mengatakan selain tanggal tersebut.

Dua atau tiga tahun penuh telah berlalu, namun pemboikotan masih tetap berlangsung. Barulah pada bulan Muharam tahun ke-10 kenabian terjadi pembatalan terhadap shahifah dan perobekan perjanjian tersebut. Hal ini dilakukan karena tidak semua kaum Quraisy menyetujui perjanjian tersebut, di antara mereka ada yang pro dan ada pula yang kontra ini berusaha untuk membatalkan shahifah tersebut. Orang yang memprakarsai hal itu adalah Hisyam bin Amr, Zuhair bin Abi Umayyah, al-Muth’im bin Adi, Abu al-Bukhturi bin Hisyam, dan Zam’ah bin al-Aswad bin al-Muthalib bin Asad, pagi harinya mereka pergi ke tempat berkumpulnya orang-orang Quraisy. Zuhair datang dengan membawa senjata dan mengelilingi Ka’bah tujuh kali, kemudian menghadap ke khalayak seraya berseru, “Wahai penduduk Makkah! Apakah kita sampai hati menikmati makanan dan memakai pakaian sementara Bani Hasyim binasa; tidak ada yang sudi menjual kepada mereka dan tidak ada yang mau membeli dari mereka. Demi Allah! Aku tidak akan duduk hingga shahifah yang telah memutuskan hubungan kekerabatan dan penuh kezaliman ini dirobek!” 

Kala itu, Abu Thalib tengah duduk di sudut Masjidil Haram. Dia datang atas pemberitahuan keponakannya, Rasulullah saw yang telah mendapat wahyu dari Allah perihal shahifah tersebut, bahwa Allah telah mengirim rayap-rayap untuk memakan semua tulisan yang berisi pemutusan rahim dan kezaliman, kecuali tulisan yang terdapat Nama Allah di dalamnya. Abu Thalib datang kepada kaum Quraisy dan memberitahukan kepada mereka tentang apa yang telah diberitahukan keponakannya tersebut. Dia menyatakan, “Ini untuk membuktikan apakah dia berbohong sehingga kami akan membiarkan kalian untuk menyelesaikan urusan kalian dengannya. Demikian pula sebaliknya, jika dia benar maka kalian harus membatalkan pemutusan rahim dan kezhaliman terhadap kami.” Mereka berkata kepadanya,”Kalau begitu, engkau telah bertindak adil.”

Setelah pembicaraan panjang, al-Muth’im berdiri menuju shahifah untuk merobeknya. Ternyata dia menemukan rayap-rayap telah memakannya kecuali tulisan, “Bismikallahumma” (Dengan NamaMu, ya Allah) dan tulisan lain yang terdapat Nama Allah di dalamnya. Kemudian ia membatalkan shahifah tersebut sehingga Rasulullah saw bersama orang-orang yang ada di Syi’b (celah bukit milik Abu Thalib) dapat leluasa keluar. Sungguh kaum musyrikin telah melihat tanda yang agung sebagai bagian dari tanda-tanda kenabian beliau, akan tetapi mereka tetaplah di dalam kekufuran.

Rasulullah saw keluar dari Syi’b dan melakukan aktivitasnya seperti biasa, sementara kaum Quraisy masih tetap melakukan intimidasi terhadap kaum Muslimin dan menghalang-halangi manusia dari jalan Allah meskipun sudah tidak lagi melakukan pemboikotan. Di sisi lain Abu Thalib masih melindungi Rasulullah saw, akan tetapi usianya sudah melebihi 80 tahun. Berbagai penderitaan dan peristiwa yang begitu besar dan silih berganti sejak beberapa tahun, khususnya pada saat terjadinya pengepungan dan pemboikotan terhadap Bani Hasyim di Syi’b telah membuat persendiannya lemah dan tulang punggungnya pun patah. 

Setelah beberapa bulan Abu Thalib keluar dari Syi’b, dia dirundung sakit yang cukup serius dan kondisi ini membuat kaum musyrikin khawatir menyebabkan nama baik mereka tercemar di mata bangsa Arab jika nanti setelah wafatnya mereka melakukan keburukan terhadap keponakannya. Untuk itulah mereka sekali lagi mengadakan perundingan dengan Rasulullah saw di hadapan Abu Thalib dan berani memberikan sebagian dari hal yang sebelumnya tidak sudi mereka berikan. Maka mereka mengirimkan delegasi kepada Abu Thalib, dan ini adalah untuk terakhir kalinya. 

Mereka, yang terdiri dari pemuka kaumnya, akhirnya menemui Abu Thalib dan berbicara dengannya. Di antaranya adalah: Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Abu Jahl bin Hisyam, Umayyah bin Khalaf dan Abu Sufyan bin Harb, dengan diiringi tokoh-tokoh selain mereka yang berjumlah sekitar 25 orang. Mereka berkata, “Wahai Abu Thalib! Sesungguhnya engkau, seperti yang engkau ketahui, adalah bagian dari kami, dan saat ini, sebagaimana yang engkau saksikan sendiri, telah terjadi sesuatu pada dirimu. Kami sangat mencemaskan kondisimu. Sesungguhnya engkau telah tahu apa yang terjadi antara kami dan keponakanmu. Untuk itu desaklah dia agar mau menerima (sesuatu) dar kami dan kami juga akan menerima (sesuatu) darinya. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi saling mencampuri urusan masing-masing; dia tidak mencampuri urusan kami, demikian juga dengan kami. Desaklah dia agar membiarkan kami menjalankan agama kami, seperti halnya kami juga akan membiarkannya menjalankan agamanya.” Kemudian Abu Thalib memberitahukan kepadanya apa yang telah diucapkan dan disodorkan oleh mereka kepadanya, yakni bahwa masing-masing pihak tidak boleh saling mencampuri urusan.

Rasulullah saw berkata kepada mereka, “bagaimana pendapat kalian bila aku berikan kepada kalian satu kalimat yang apabila kalian ucapkan niscaya kalian akan dapat menguasai bangsa Arab dan non Arab akan tunduk kepada kalian?” Tatkala beliau mengucapkan kalimat tersebut, mereka berdiri tertegun, bimbang dan tidak tahu bagaimana dapat menolak satu kalimat yang berguna sampai sedemikian ini? Kemudian Abu Jahal menanggapi, “Kalau begitu apa itu? Demi ayahmu! Sungguh aku akan memberikannya padamu, bahkan sepuluh kali lipatnya.” Beliau menjawab, “Kalian ucapkan ‘La ilaha illallah’ dan kalian cabut sesembahan selainNya.”

Mendengar kalimat tersebut, mereka menepuk-nepukkan tangan mereka (tanda tidak setuju) seraya berseru, “Wahai Muhammad! Apakah kamu ingin menjadikan ilah-ilah yang banyak menjadi satu saja? Sungguh aneh polahmu ini.” Kemudian masing-masing bekata kepada yang lainnya, “Demi Allah! Sesungguhnya orang ini tidak memberikan apa yang kalian inginkan, pergilah dan teruslah dalam agama nenek moyang kalian hingga Allah memutuskan siapa yang berada dalam kebenaran.” Setelah itu mereka bubar. Dalam hal ini Allah menurunkan firmanNya, surat Shad ayat 1-7.

Sekitar tiga tahun sebelum Hijrah, pamannya Abu Thalib meninggal dunia, meskipun tidak sempat memeluk Islam, tetapi dia tetap setia membela anak saudaranya itu hingga akhir hayatnya. Abu Thalib meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 10 kenabian, enam bulan setelah keluar dari Syi’b. Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa dia wafat pada bulan Ramadhan.

Dalam Shahih al-Bukhari dari (Sa’id) bin al-Musayyib disebutkan bahwa ketika Abu Thalib dalam keadaan sekarat, Rasulullah saw mengunjunginya sementara di waktu yang sama di sisinya sudah berada Abu Jahal. Beliau bertutur kepada pamannya, “Wahai pamanku! Ucapkanlah ‘La ilaha illallah,’ kalimat yang akan aku jadikan hujjah untuk membelamu kelak di hadapan Allah.” Namun Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah memotong, “Wahai Abu Thalib! Sudah bencikah engkau terhadap agama Abdul Muthalib?” Keduanya terus mendesaknya demikian, hingga kalimat terakhir yang diucapkannya kepada mereka adalah, “Aku masih tetap dalam agama Abdul Muthalib.” Rasulullah berkata, “Sungguh aku aka n memintakan ampunan untukmu selama aku tidak dilarang melakukannya,” tetapi kemudian turunlah ayat, إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi…”

Kira-kira dua atau tiga bulan setelah Abu Thalib meninggal dunia, Ummul Mukminin, Khadijah Al-Kubra meninggal dunia, tepatnya pada bulan Ramadhan pada tahun kesepuluh kenabian, pada usia enam puluh lima tahun, sementara Rasulullah saat itu berusia lima puluh tahun. Rasulullah saw menyebut tahun kesepuluh kenabian itu dengan nama “Tahun Kesedihan”, karena demikian beratnya gangguan yang harus beliau hadapi dalam menempuh jalan dakwah.

Referensi:

Fuad Syaifudin Nur. 2010. Terjemah Fiqih Sirah. Jakarta Selatan: Penerbit Hikmah. 

Hanif Yahya. 2020. Terjemah Sirah Nabawiyah. Jakarta: Darul Haq.

Irwan Raihan. 2015. Terjemah Tahdzib Ibnu Hisyam. Solo: Al-Qowam. 

R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. 2018. Cet.1. Terjemah History of The Arabs. Jakarta: Zaman.

Suyuthi Pulungan. 2018. Cet.1. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.

Kontributor: Zainal Abidin, Semester III

Leave a Reply