Strategi Dakwah Walisongo Dalam Menyebarkan Islam di Nusantara  (Bagian 2)

Strategi Dakwah Walisongo Dalam Menyebarkan Islam di Nusantara (Bagian 2)

Ma’had Aly


  • Asimilasi Pendidikan Hindu-Budha

Usaha asimilasi, sinkretisasi dan akomodasi yang tidak kalah pentingnya adalah usaha pengembangan pendidikan lokal yang disebut dukuh, asrama, dan padepokan dalam bentuk pesantren, pesulukan, peguron, langgar, tajuk, masjid, dan juga sejumlah permainan anak-anak. Sebab melalui pendidikan inilah proses asimilasi dan sinkretisasi melalui pendekatan sufistik terhadap kesenian, budaya, bahasa, keagamaan, politik, ekonomi lokal yang bercorak Kapitayan, dan Hindu-Budha pada corak Islam paling banyak terjadi.

Bentuk-bentuk pengembangan dukuh, asrama dan padepokan di atas, khususnya pesantren merupakan hasil pengambilalihan bentuk lembaga pendidikan yang menggunakan sistem biara dan asrama yang digunakan oleh para pendeta dan bhiksu untuk proses pembelajaran yang diformat sesuai dengan ajaran Islam. Di pesantren inilah terjadi penyesuaian nilai-nilai ajaran Syiwa-Budha dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dengan demikian tidak terjadi benturan, ketegangan dan konflik pemahaman antara nilai-nilai Islam dan Syiwa-Budha.

Salah satu penyesuaian itu terjadi pada perubahan penyebutan pelajar di dalamnya. Jika dalam pendidikan Syiwa-Budha pelajar disebut wiku yang kemudian digeser penyebutannya menjadi santri. Namun pada aspek gagasan tidak mengalami banyak perubahan, sebab ada sejumlah kesamaan antara pendidikan Islam (pesantren) dengan Syiwa-Budha, seperti gagasan guru bhakti, yamabrata, ahimsa, brahmacari, satya, aharalaghawa, asetya dan sebagainya. Artinya ajaran ini hanyalah penamaan saja, namun pada aspek substansi sama dengan ajaran Islam sebagaimana yang termaktub dalam salah satu kitab Islam Ta’limu al-Muta’allim karya Syaikh az-Zarnuji yang memiliki kemiripan dengan ajaran Syiwa-Budha.

Dengan demikian terdapat kemiripan dalam aspek produk lulusan Pesantren maupun pendidikan Syiwa-Budha yang memfokuskan pada pembentukan karakter dan watak lulusan yang cerdas, berbudi pekerti, luhur, suka menolong, tidak membenci, menjalankan syariat dengan baik, santun, selalu bersyukur dan selalu berusaha mendekatkan diri dengan Tuhan.

  • Asimilasi Politik dan Sosial

Sebelum diterimanya Islam secara luas dan massif oleh masyarakat Nusantara khususnya Jawa, kondisi politik dan sosial sangat ditentukan oleh kebijakan-kebijakan penguasa dari kerajaan Majapahit. Pada aspek struktur sosial masyarakat Nusantara misalnya, terjadi disparitas kelas sosial yang sangat timpang di mana kelas sosial masyarakat ditentukan berdasarkan ajaran Hindu-Budha.

Dalam kelas sosial Majapahit terstruktur secara hirarkis melalui sejumlah golongan mulai tingkat tertinggi hingga terendah. Perbedaan kelas sosial tersebut berdampak pada perbedaan hak, peran, tugas dan kewajiban sosial yang berbeda-beda. Golongan tersebut secara hirarkis terbagi atas tujuh jenis golongan yang populer, yaitu: Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra, Candala dan Mleccha. Dari ketujuh golongan tersebut terdapat lagi sejumlah golongan yang berada di bawahnya, antara lain: Domba, Kewel, Dapur, Kilalan, Potet dan sebagainya. Setelah Islam datang dan diterima secara massif, terutama setelah Demak Bintara berhasil mengambil alih kekuasaan politik atas Majapahit, terdapat perubahan struktur masyarakat yang cukup signifikan, meski masih terdapat sedikit perbedaan struktur sosial di masyarakat.

Ketika Demak Bintara berkuasa struktur sosial masyarakat dua golongan besar tetap dipertahankan, yaitu: golongan ulama dan ksatria. Di bawah kedua golongan besar itu terdapat beberapa golongan lain yang lebih rendah, yaitu: petani, nelayan, perajin, pedagang, buruh, dan yang terendah budak belian. Dalam hemat penulis mempertahankan kedua golongan besar tersebut harus dipahami secara kontekstual, sebab bagi masyarakat Jawa akan tetap merasa senang jika hubungan politik dan keturunan dengan Majapahit masih tetap terpelihara. Di samping itu, mempertahankan posisi ulama dan ksatria dalam posisi tertinggi dapat menjadikan posisi ulama tetap sebagai seorang yang memiliki daya sakti sehingga tetap menjadi pusat rujukan berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat. Apalagi untuk memperoleh kedudukan sebagai ulama, sesorang harus melewati jalur keilmuan yang membaga pada proses pewarisan melalui kajian kitab-kitab klasik pada ulama tertentu.

Selain itu kedudukan ulama juga ditentukan oleh kekuatan adikodrati yang disebut karomah dan maunah yang dimiliki ulama. Dengan demikian berbagai aspek kehidupan masyarakat nilai-nilai Islam dapat terinternalisasi dalam pola hidup, perilaku,dan tindak-tanduk masyarakat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Agus Sunyoto, bahwa ketika Majapahit berkuasa, mereka menganut nilai-nilai yang mencerminkan penaklukan dan penguasaan atas yang lain yang terwujud dalam sumpah Amukti Palapa Mahaptih Gadjah Mada, yaitu: keagungan, kemuliaan, kebesaran, keunggulan, superioritas, penaklukan, dan kemenangan. Nilai penaklukan tersebut nampak dalam nilai adhigana (keunggulan), adhigung (keagungan), adhiguna (superioritas), rajas (nasfu yang berkobar dan tak terkendali), tan halah (tak terkalahkan), kawasa (berkuasa), niratiyasa (tidak terungguli), jaya (kemenangan), dan nirbhaya (tak kenal takut).

Dengan dikuasainya Majapahit oleh Demak Bintara, nilai-nilai itu kemudian ditransvaluasi oleh ulama dengan nilai-nilai moral Islam seperti kesabaran, keikhlasan, andap-asor, keadilan, kesederhanaan, nrimo, eling, ngalah, pasrah dan sebagainya yang kesemuanya mengarah pada inti ajaran sufistik Islam. Nilai-nilai moral ini diajarkan oleh ulama melalui Pesantren. Meski ada perbedaan struktur sosial, namun keadilan sosial bagi masyarakat Nusantara tetap dapat diwujudkan, sebab sebagaimana ajaran Islam kedudukan setiap orang adalah sama dihadapan Allah. Yang membedakan hanyalah kualitas iman dan ketakwaan manusia dihadapan Allah. Prinsip inilah yang menjadi dasar kehidupan egaliter dalam kehidupan masyarakat Nusantara.

Syekh Siti Jenar misalnya, mengajarkan kosmologi Manunggaling Kawula Gusti tidak hanya harus dipahami sebagai penyatuan kesaksian manusia atas manifestasi Allah pada setiap penciptaannya, namun dapat juga dipahami sebagai konsep sosial. Istilah kawula dalam terminologi Jawa merupakan sebutan bagi rakyat suatu kerajaan tertentu, sedangkan gusti merupakan sebutan umum bagi seorang raja atau penguasa suatu kerajaan.

Oleh karena itu, kosmologi Manunggaling Kawula Gusti mengajarkan nilai sosial untuk bersatunya seorang penguasa atas rakyatnya. Dengan demikian seorang gusti atau raja harus dapat mengayomi kemaslahatan rakyat sebagai tanggung jawabnya. Begitu juga dengan kawula atau rakyat harus patuh terhadap seorang penguasa selama penguasa menjalankan kekuasaannya dengan baik sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Inilah yang diajarkan oleh Islam yang tertuang dalam kaidah fiqih dikenal dengan adagium “tasharrufu al-imam ala al-ra’iyyah manutun bi al maslahah” (kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada kemaslahatan). Keadilan sosial yang dimaksud dalam hal ini adalah keberimbangan atas hak-hak individu dengan kewajiban-kewajiban sosial masyarakat. Kebebasan individu diberikan sesuai dengan batas-batas kecukupan atas kebutuhan seseorang dan selama pemenuhan kebutuhan itu, tidak merugikan hak-hak orang lain. Inilah yang konsep maslahah yang sudah dikenalkan oleh ulama nusantara hingga saat ini. Maslahah ini diorientasikan pada memperbanyak nilai-nilai kemanfaatan dan menekan seminim-minimnya kemadharatan.

KH. Sahal Mahfudh misalnya, berpendapat melalui fikih sosialnya, keadilan sosial dapat diciptakan dengan pemberian hak yang sebesar-besarnya kepada individu untuk memenuhi kemaslahatannya sesuai dengan kadar kecukupannya. Namun seseorang tidak boleh lupa bahwa apa yang diperoleh dalam usaha pemenuhan kebutuhannya itu, terdapat hak-hak orang lain yang wajib ditasarrufkan. Sehingga zakat, sedekah, hibah, wakaf dan sebagainya seyogianya digunakan untuk membantu orang lain untuk memenuhi kemaslahatannya. Menurutnya, agar seseorang tidak memiliki ketergantungan pada orang lain sebab Allah satu-satunya tempat bergantung maka seseorang harus diberdayakan. Diberdayakan artinya tidak elok kiranya seseorang hanya melulu diberikan barang-barang jadi, namun lebih indah jika ia diberi kail untuk memenuhi kemaslahatannya. Tidak hanya kail, namun ia juga perlu diberikan pengajaran, bimbingan dan pendampingan tentang bagaimana menggunakan kail yang baik, sehingga kail tersebut dapat bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat untuk memenuhi segala kemaslahatannya. Dengan demikian, hal yang dilakukan ini dapat menghindarkan seseorang dari ketergantungan terhadap orang lain, sebab satu-satunya tempat manusia bergantung hanyalah kepada Allah swt.

 

Referensi:

Syamsul Arifin, Studi Islam Kontemporer; Arus Radikalisasi dan Multikulturalisme di Indonesia, Malang: Intrans, 2015
Mohammed Arkou (ed), Orientalisme Vis a Vis Oksidentalisme, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.

Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, Islam and Secularism, Terj. Karsidjo Djojosuwarno, Bandung; Penerbit Pustaka, 1981.

Azyumardi Azra, Islam Nusantara; Jaringan Lokal dan Global, Bandung: Mizan, 2002.

Ahmad Baso, Islam Nusantara; Ijtihad Jenius & ljma Ulama Indonesia, Jakarta: Pustaka Afid, 2015.

Muhammad Djakfar, Agama Etika dan Ekonomi; Menyingkap Akar Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer Menangkap Esensi, Menawarkan Solusi, Malang: UIN Maliki Press, 2014.

Luqman Hakim, Terorisme di Indonesia, Surakarta; FSIS, 2004.

Syahrin Harahap (ed), Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998.

F. Budi Hardiman, Kritik ldeologi; Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, cet. 5, Yogyakarta; Kanisius, 2013.

Nor Huda, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, cet. 3,Yogyakarya, Ar-Ruzz Media, 2013.

Kuntowijoyo. Islam Sebagai llmu; Epistemologi, Metodologi dan Etika, ed. 2, Yogyakarta; Tiara Wacana, 2006.

Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah, ed. 2, Bandung; Mizan, 2015.

Sahal Mahfudh, Nuansa Figih Sosial, Cet. 2, Yogyakarta; LKIS, 2012.

Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta; Rake Sarasin, 2015.

Slamet Muljana, Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, Jakarta; Inti Idayu Press, 1983.

Mohammad Sabri, Keberagamaan yang Saling Menyapa; Perspektif Filsafat Parennial, Yogyakarta; BIGRAF, 1999.

Agus Sunyoto, Atlas Walisongo; Buku Pertama yang Mengungkap Walisongo Sebagai Fakta Sejarah, Bandung; Mizan, 2012.

Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, cet. 4, Bandung; Mizan, 1998.

Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: Gramedia, 2009.

Abdurrahman Wahid dkk., Islam Tanpa Kekerasan, cet. 2, Yogyakarta; LKIS, 2010.

Sumber Internet
http://fah.uinjkt.ac.id/index.php/20-articles/kolom-fahim/197-islam-nusantara-adalah-kita.

http://www.muktamarnu.com/gus-mus-jelaskan-hakikat-islam-nusantara.html

http://www.nu.or.id/post/read/60458/maksud-istilah-islam-nusantara.

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/06/150614 indonesia_islamnusantara

 

Strategi Dakwah Walisongo Bagian 1

Oleh: Abdul Aziz, Semester VI

Leave a Reply