Sejarah Masuknya Islam ke Nusantara

Sejarah Masuknya Islam ke Nusantara

Tidak lengkap jika membahas masuknya Islam ke Nusantara, tanpa membahas keadaan sosial dan ekonomi masyarakat Nusantara saat itu. Kehidupan masyarakat sebelum mengenal Islam, jauh sebelum itu telah memiliki macam agama yang dianut oleh setiap penduduknya.

Kepercayaan animisme dan dinamisme kental melekat dalam masyarakat Nusantara. Kepercayaan terhadap adanya roh penghuni pohon dan memberinya sesajen, menyembah batu besar, serta menjadi penganut agama Kapitayan dan Kejawen. Agama Kapitayan dalam istilah lain disebut agama angin muson yang merupakan agama pertama bagi penduduk Nusantara. Agama Kapitayan ini dianut pada masa purbakala oleh penghuni pulau Jawa yang berkulit hitam. Sesembahannya adalah Sang Hyang Taya yang memiliki makna kosong atau hampa yang tidak bisa digambarkan oleh akal pikiran manusia. Biasanya penganut agama Kapitayan ini melakukan penyembahan di tempat yang sunyi dan membuat langgar sebagai tempat ritual bagi mereka.

Masyarakat Nusantara sudah menjalin hubungan perdagangan dengan berbagai bangsa lain sebelum Islam masuk. Hubungan inilah yang membuat berbagai hal baru mudah masuk ke Nusantara, seperti halnya agama Islam yang masuk melalui jalur perdagangan. Islam masyhur dikenal masuk ke Nusantara, khususnya pulau Jawa pada abad 13-14 Masehi. Namun sebelumnya, Islam sudah masuk ke Nusantara tepatnya abad 7 Masehi. Islam dibawa oleh pedagang Arab yang sudah menjalin hubungan dengan masyarakat Nusantara. Saat itu Islam disyiarkan di kerajaan Kalingga, masa kekuasaan Ratu Shima yang berwatak keras dan tegas dalam menerapkan hukum. Syiar Islam saat itu tidak berjalan dengan baik sehingga Islam kurang berkembang.

Perkembangan Islam di Nusantara berkembang abad ke 13-14 Masehi. Masuknya Islam ke Nusantara tidak lepas dari para pedagang muslim dari Gujarat dan Cina. Para pedagang yang datang ke Nusantara tidak hanya berdagang namun juga menyebarkan agama Islam.

Banyak pedagang mempraktikkan keluhuran Islam dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari sikap budi pekerti, tingkah laku, dan kejujuran mereka. Hal inilah yang membuat para penduduk pribumi saat itu terheran-heran dan ingin mengenal mereka lebih dalam. Para pedagang ini tidak sedikit yang menetap di Nusantara guna berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam. Selama para pedagang menetap di Nusantara, mereka saling berinteraksi dengan masyarakat. Tak cukup sampai di sana, guna semakin mengakrabkan hubungan, mereka menikahkan putra pribumi dengan para pedagang Islam. Dari jalan pernikahan inilah mereka menyebarkan agama Islam, yang selanjutnya ini termasuk dalam jalur Islamisasi di Nusantara. Sebelum pernikahan berlangsung, mempelai perempuan diajarkan membaca syahadat agar menjadi muslimah.

Pernikahan merupakan cara paling efektif untuk menyebarkan agama Islam, karenanya Islam mulai tersebar di penjuru Nusantara. Mulailah mereka membangun sebuah mushala sebagai tempat ibadah dan tempat untuk mengajarkan agama Islam. Islam mudah diterima oleh para penduduk pribumi karena syarat masuk Islam mudah. Islam mengajarkan sopan santun, tolong menolong, dan banyak faktor lain yang membuat penduduk pribumi tertarik untuk masuk Islam. Setelah Islam berkembang, mulailah berdatangan para ulama yang khusus menyebarkan agama Islam di Nusantara. Merekalah yang menyebarkan agama Islam di kalangan pribumi saat itu. Walaupun saat itu masyarakat memiliki kepercayaan nenek moyang terdahulu yang masih sangat kuat dianut oleh para petinggi kerajaan.

Para ulama berinisiatif untuk menyebarkan agama Islam ke dalam tubuh kerajaan. Jika raja menganut agama Islam, maka masyarakat turut memeluk agama Islam. Pengaruh raja sangatlah kuat bagi masyarakat, apa yang diperintahkan oleh raja wajib dilakukan oleh masyarakat. Sehingga para ulama menyebarkan agama Islam bertahap mulai dari mengajarkan putra raja tentang agama Islam, dan Islam berkembang pesat pasca raja memeluk Islam diikuti rakyatnya.

Di antara para ulama ini muncullah istilah Wali Songo yaitu mereka para wali yang menyebarkan Islam di Nusantara dan terdiri dari sembilan orang. Jika salah satu dari mereka meninggal dunia maka digantikan dengan keturunannya. Para ulama wali songo awalnya merupakan utusan dari kekhalifahan Turki Utsmani. Para wali tersebut menyebarkan Islam dari pesisir pantai hingga ke pelosok Nusantara.

Para wali yang berjumlah sembilan orang ini terkenal di kalangan masyarakat, mereka yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat), Sunan Giri (Raden Paku atau Ainul Yaqin), Sunan Bonang (Raden Makdum Ibrahim), Sunan Kalijaga (Raden Sahid), Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), Sunan Drajat (Raden Qosim), Sunan Kudus (Ja’far Shadiq), Sunan Muria (Raden Umar Said), dan Sunan Gresik (Maulana malik Ibrohim).

Para wali ini memiliki cara masing-masing dalam menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat dan dilestarikan hingga kini oleh masyarakat Nusantara. Di antara metode penyebaran yang dilakukan oleh wali songo yaitu:

Sunan kalijaga menyebarkan agama Islam tanpa menghilangkan adat kebudayaan masyarakat saat itu. Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam melalui wayang dan syair. Wayang merupakan adat masyarakat Nusantara yang digunakan untuk menghibur dan menceritakan kisah-kisah terdahulu kepada masyarakat. Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai salah satu metode dakwahnya, dalam pertunjukan wayang terdahulu berisi cerita Hindu-Buddha, dan Sunan Kalijaga mengubahnya menjadi cerita bernapaskan Islam. Hal ini sangat disukai oleh masyarakat tanpa menyadari bahwa hal itu adalah dakwah Islam.

Sunan Kudus menyebarkan agama Islam dengan membangun Menara Kudus yang bercorak hindu. Masyarakat Kudus memiliki satu hewan yang sangat disucikan di kalangan masyarakat, yaitu sapi. Saat Sunan Kudus menyebarkan Islam, beliau menyuruh masyarakat Kudus untuk berqurban dengan hewan selain sapi. Menara yang dahulunya digunakan sebagai tempat bersenandung tembang, diubah oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan. Sampai saat sekarang dua hal yang diwariskan oleh Sunan Kudus ini dilestarikan dengan baik oleh masyarakat Kudus.

Wali Songo dalam syiarnya juga membangun mushala sebagai tempat ibadah sekaligus tempat belajar dan mendalami ilmu agama. Mushala ini serupa dengan langgar yang di gunakan oleh agama kapitayan dalam melakukan pemujaan. Pondok pesantren sebagai tempat untuk mendidik para pemeluk agama Islam juga dibangun dan sampai saat ini pondok pesantren mengalami perkembangan pesat sebagai warisan ulama terdahulu.

Masyarakat Nusantara memiliki kebiasaan menyediakan sesajen kepada alam dengan membuat nasi tumpeng guna memuliakan alam agar mereka tidak dimurkai. Dalam nasi tumpeng tersebut ada daging manusia dan nasi dibiarkan agar dimakan oleh para jin. Setelah masuknya agama Islam kebiasaan ini tidak dihilangkan, namun dimasuki nilai-nilai keislaman. Dahulu dari daging manusia diganti menggunakan daging ayam dan nasi tumpeng dahulu dibiarkan sebagai makanan jin, kini nasi itu disantap bersama masyarakat sekitar.

Kebiasaan masyarakat Nusantara sebelum Islam datang yaitu berkumpul bersama sambil meminum minuman yang diharamkan (mendem). Kebiasaan ini tidak dihilangkan walau Islam sudah masuk, namun diisi pembacaan zikir dan makan bersama tanpa meminum dan makan sesuatu yang diharamkan Islam.

Kemusyrikan tidak dihilangkan dalam adat istiadat masyarakat Nusantara pasca datangnya Islam, namun diakulturasikan dengan nilai Islam di dalamnya. Hal inilah yang membuat agama Islam di Nusantara sangat kuat. Agama Islam masuk ke Nusantara dengan tanpa peperangan, penaklukan atau penjajahan. Islam masuk ke Nusantara melalui dakwah yang sopan santun, tanpa mengusik, dan merusak adat kebiasaan yang ada dalam masyarakat.

Karena hal inilah Islam sangat diterima oleh masyarakat Nusantara walaupun penyebarannya cukup memakan waktu yang lama, berbeda dengan cara penyebaran Islam di Arab. Sehingga sampai saat ini Islam di Nusantara dikenal dengan Islam yang santun dan penuh toleransi terhadap agama lain. Mereka hidup berdampingan tanpa saling mencemooh satu sama lain.

Referensi : 

Agus Sunyoto. 2016. Atlas Wali Songo, Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah Jakarta: Pustaka Iman.

Ustadz Rizem  Aizid. 2016. Sejarah Islam Nusantara. Yogyakarta: Diva Press.

 

Oleh : Abdul Hanan, Semester V

Leave a Reply