Meneladani Sirah Nabi untuk Memahami Esensi Ajaran Islam

Meneladani Sirah Nabi untuk Memahami Esensi Ajaran Islam

Ma’had Aly – Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Rasul dan risalahnya membawa rahmat bagi semesta alam. Ajarannya merupakan jembatan menuju perdamaian, bagi mereka yang mau memahaminya secara luas dan mendalam. Dari sini dapat dipahami esensi beragama adalah perdamaian. Hal ini sejalan dengan mandat yang diberikan Allah kepada manusia yaitu untuk memimpin dan mengelola bumi sebagaimana dijelaskan dalam (QS. Al-Baqarah: 30). Tujuannya jelas, agar tercipta kemaslahatan bersama. Maka pemahaman secara mendalam terhadap teks-teks al-Qur’an, mutlak dibutuhkan dalam rangka memaknai keberagaman di dunia ini.

Quraish Shihab, dalam menafsirkan (QS. Fatir: 25) mencatat bahwa keberagaman dalam kehidupan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Allah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan keberagaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan keberagaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran kandungannya, serta bentuk pengamalannya. Keberagaman atau pluralitas ini sangat berpotensi menjadi pemicu konflik dan perpecahan.

Indonesia adalah negara yang majemuk. Terdapat aneka etnis, suku, bahasa, agama, kepercayaan, budaya, tradisi, dan adat-istiadat. Pluralitas ini menjadi tantangan besar bagi bangsa Indonesia dalam merawat keberagaman dalam bingkai toleransi. Apalagi perbedaan dalam urusan agama, kerap kali menjadi pemicu konflik di antara para pemeluknya. Dalam praktiknya, sering kali terjadi kontak fisik, bahkan sampai pada tahap kekerasan.  

Padahal Nabi Muhammad saw. diutus ke dunia dengan misi mulia menebar rahmat untuk semesta alam. “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107). Ayat ini jelas memaparkan tugas utama Nabi Muhammad saw. adalah menebar rahmat, dengan tujuan memperbaiki akhlak manusia. Tapi pada praktiknya, perbedaan pendapat dalam urusan agama cukup sering memicu konflik fisik antar atau intra umat beragama. Hal ini sama sekali tidak mencerminkan akhlak Nabi Muhammad saw.

Beberapa waktu belakangan kita digegerkan oleh aksi-aksi kekerasan dan teror. Peristiwa bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar (Minggu, 28/3/2021) dan penyerangan di Mabes Polri (Rabu, 31/3/2021), menyebabkan semakin liarnya anggapan bahwa agama Islam adalah agama yang mengajarkan kekerasan dan biang konflik. Padahal, tak ditemukan dalam Alquran ajaran yang menyerukan umat berbuat kekerasan semata. Tuduhan agama Islam sebagai faktor konflik sepintas kelihatan paradoks. Di satu sisi, Islam hadir sebagai rahmat, di sisi lain dianggap sebagai penyebab konflik. Tentunya pemahaman model begini adalah logika yang keliru.

Tuduhan dan anggapan semacam itu hadir, karena ulah yang dilakukan oleh oknum penganut agama yang salah kaprah dalam memaknai ajaran agamanya. Itu bukan hanya terjadi pada umat Islam saja, tetapi juga pada agama-agama yang lainnya. Oknum yang bertindak ekstrem dengan mengatasnamakan Islam ini gagal dalam menerjemahkan perjalanan kehidupan Nabi Muhammad saw. dalam menyebarkan risalah Islam.

Mempelajari dan memahami sirah Nabi Muhammad saw. bukan hanya sekadar mengetahui aneka kisah dengan rentetan peristiwa sejarah saja. lebih jauh dari itu adalah untuk menggambarkan hakikat Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Syekh Ramadhan al-Buthi, dalam Kitabnya Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah, memaparkan beberapa tujuan utama dalam mempelajari dan memahami sirah Nabi Muhammad saw.

  1. Agar dapat memahami kepribadian Rasulullah saw. dengan cara mempelajari kehidupannya disertai memahami konteks peristiwa yang terjadi di masa beliau hidup. Sehingga dapat menegaskan bahwa, Muhammad saw. bukan sekadar pribadi cerdas dan jenius saja, tetapi juga menunjukkan bahwa beliau adalah seorang rasul yang dibimbing oleh Allah swt.
  2. Agar setiap Muslim menemukan gambaran ideal yang bias ia teladani dalam menjalani seluruh aspek kehidupannya.
  3. Memahami sirah Nabi Muhammad saw. merupakan salah satu jembatan untuk memahami dan menghayati ajaran Alquran. Karena banyak ayat Alquran hanya dapat ditafsirkan dan dijelaskan dengan mencermati berbagai peristiwa yang dialami Rasulullah saw., serta bagaimana sikap beliau menghadapi peristiwa tersebut.
  4. Agar setiap Muslim dapat mempelajari wawasan dan pengetahuan Islam yang benar, baik terkait dengan akidah, hukum, maupun akhlak. Gambaran nyatanya ada pada kehidupan Nabi Muhammad saw.
  5. Dengan memahami sirah Nabi Muhammad saw., para pendidik dan para pendakwah memiliki potret ideal tentang bagaimana metode mendidik dan mengajar. Sebab, Nabi Muhammad saw. adalah guru, pendidik, pemberi nasihat, sekaligus pengajar utama yang tidak kenal lelah mempraktikkan cara mendidik dan mengajar yang efektif melalui beberapa tahapan dakwahnya.

Aspek terpenting dalam mempelajari dan memahami sirah Nabi Muhammad saw. adalah meneladani dan mengamalkan laku lampah kehidupan Nabi Muhammad saw. Segala bentuk dalam kehidupannya meliputi seluruh aspek kemanusiaan. Beliau adalah contoh pemuda yang baik dan jujur, pemimpin yang berperilaku adil dan terpercaya, juru dakwah yang mengajak kepada Allah dengan cara yang bijak. Nabi Muhammad saw. merupakan sosok manusia paripurna yang mengemban risalah agama yang sempurna. 

Metode dakwah Nabi Muhammad saw. ini kontras sekali dengan beberapa pendakwah instan yang selama ini marak di berbagai platfrom media digital. Mereka berbicara di atas mimbar sebagai pemberi fatwa walau hanya berbekal terjemahan Alquran dan hadis tanpa tahu dan mengerti arti, konteks, dan hikmah di baliknya. Tak sedikit dari mereka berceramah dengan emosi tak terkendali. Panggung dakwah banyak dihujani caci maki disertai dalil dengan tafsiran sendiri. Dakwah yang seharusnya menjadikan manusia semakin dekat dengan Allah malah menjadi wahana peluapan emosi.

Para pendakwah instan ini kerap menganggap dirinya sebagai pewaris nabi (warasatul anbiya). Padahal dalam sirah Nabi saw. tak pernah ditemukan cara dakwah seperti itu. Entah metode dakwah apa yang sedang mereka lakukan. Mereka gagal dalam memahami esensi Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Jika aktivitas dakwah model begini tetap dibiarkan berkembang, kapan umat akan belajar mencoba mengurusi akhlaknya? Bukankah Nabi Muhammad diutus untuk mengurus dan membenahi akhlak umat? 

Kondisi ini diperparah oleh dominasi kaum ekstremis-radikal di berbagai media sosial. Mereka mampu menguasai algoritma dan search engine sehingga mampu menyebarkan doktrinnya secara masif. Rendahnya literasi masyarakat dijadikan peluang epik untuk menyebarkan ajaran dan tindakan yang radikal dengan cara menggoreng emosi umat dan iming-iming syahid fii sabililah. Tak ada lagi sikap skeptis dan kritis terhadap informasi yang didapat. Ruang diskusi diacuhkan, informasi ditelan mentah-mentah, tanpa  ada lagi usaha verifikasi dan telaah validitas.

Selanjutnya, setelah berhasil mendapat perhatian dan massa cukup banyak, para pendakwah instan ini semakin menjadi-jadi. Mereka semakin liar menghiasi panggung dakwah. Alquran ditafsirkan secara serampangan, hadis dijelaskan seenak jidat. Hasilnya, mimbar keagamaan tidak lagi suci, tapi dipenuhi caci maki. Esensi dakwah bukan lagi mencari kebenaran, tapi pembenaran. Panggung dakwah tidak lagi diisi ulama warisan para nabi, tapi diwarnai ustadz-ustadz dadakan tanpa spesifikasi keilmuan yang mumpuni.

Imam al-Qurtubi, dalam kitab tafsirnya mengingatkan mengenai cara penafsiran terhadap teks-teks Alquran:

فمن لم يحكم ظاهر التفسير وبادر إلى استنباط المعاني بمجرد فهم العربية كثر علطه ، ودخل في زمرة من فسر القرآن بالرأي

“Siapa yang tidak paham mengenai kaidah penafsiran dan hanya memahami berdasarkan aspek bahasa Arab semata, sering kali keliru dan bergabung bersama barisan mereka yang menafsirkan Alquran dengan opininya semata.”

Bahasa Arab merupakan bahasa yang sastranya sangat tinggi. Penuh dengan kaidah-kaidah. Orang Arab sendiri belum tentu paham dengan kandungan yang terdapat dalam Alquran, apalagi ustadz-ustadz instan yang akhir-akhir ini eksis menghiasi panggung dakwah di medsos. Tidak jelas sanad keilmuannya, bahkan membaca Alquran saja masih kabur dari kaidah tajwid. Jika hal ini dibiarkan, bibit-bibit perpecahan akan semakin tampak di Indonesia.

Alquran mengajarkan umat Islam agar mempunyai sikap moderat dalam berbagai aspek. Sebagaimana tercantum dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 143:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.”

Umat Islam adalah ‘ummatan wasathan’, umat yang pertengahan. Umat yang adil dalam memandang segala persoalan. Umat Islam harus senantiasa menegakkan keadilan dan kebenaran serta membela yang hak dan memberantas kebatilan dengan cara yang baik pula. Imam al-Qurtubi dalam kitab al-Jami’ al-Ahkam memaknai kata al-wast adalah adil, sebagaimana ka’bah merupakan tengah-tengah bumi. Dengan demikian, umat Islam juga merupakan umat pertengahan yang adil dalam memadang segala sesuatu.

Menurut Syekh Wahbah az-Zuhaili, ummatan wasathan diartikan sebagai pertengahan dalam pandangan tentang dunia dan akhirat. Kebahagiaan akhirat ditentukan oleh iman dan amal shaleh di dunia. Tidak tenggelam dalam kenikmatan dunia juga tidak melulu soal spritualisme lalu mengingkari hal yang bersifat duniawi. Islam mengajarkan umatnya untuk meraih keberhasilan duniawi dengan nilai-nilai samawi.

Kiai Afifuddin Muhajir juga memberi penjelasan mengenai wasathiyyah. Menurutnya, wasathiyyah memiliki makna jalan tengah atau keseimbangan antara dua hal yang berbeda atau berkebalikan, seperti keseimbangan antara ruh dan jasad, antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat, antara idealitas dan realitas, antara yang baru dan yang lama, antara ‘aql dan naql, antara ilmu dan amal, antara usul dan furu, antara sarana dan tujuan, antara optimis dan pesimis dan seterusnya. Inti dari wasathiyyah adalah adil dalam memandang dan bersikap. Cara pandangnya tidak ekstrem (berlebihan), baik ekstrem kiri maupun ekstrem kanan. Tidak liberal juga tidak konservatif. 

Bagi Indonesia yang masyarakatnya plural, moderasi beragama bukan lagi pilihan tapi sudah menjadi keharusan untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara. Mengenai diskursus wasathiyyah atau moderasi, Kementerian Agama menjabarkannya dengan tiga pilar. Pertama, pemikiran keagamaan yang moderat, yaitu mampu menafsirkan agama secara tekstual dan kontekstual. Kedua, moderasi dalam bentuk gerakan, yaitu gerakan penyebaran agama dalam megajak pada kebaikan dan menjauhkan dari kemunkaran dengan cara yang baik. Ketiga, moderasi dalam tradisi dan praktik keagamaan, yakni penguatan relasi antara agama dengan tradisi dan kebudayaan masyarakat setempat.

Moderasi beragama dapat menjadi solusi dalam merawat kebhinekaan di Indonesia demi terciptanya kerukunan dan kedamaian. Tentunya diperlukan usaha kolektif dengan terus meningkatkan budaya literasi sambil memberi teladan akhlak yang mulia dan menyalurkan emosi umat kepada hal yang positif. Ini merupakan upaya mengubah gambaran formalistik Islam menjadi bentuk Islam yang substantif. Tujuannya tentu saja melahirkan suatu masyarakat yang siap hidup toleran dalam bingkai pluralitas.

Dalam konteks keseimbangan, Nabi Muhammad saw. pun melarang umatnya bersikap berlebihan walaupun dalam mengekspresikan agama sekalipun. Sebaik-baiknya umat adalah awsatuha (pertengahan). Dengan demikian, umat Islam dituntut untuk mengambil sikap jalan tengah. Dalam artian menjalani kehidupan dengan adil dan seimbang. Itulah esensi dari ajaran Islam Wasathiyyah. Bentuk rillnya ada pada sosok teladan Nabi Muhammad saw. sebagai pembawa risalah agama rahmatan lil ‘alamin

Referensi

Al-Buthi, Muhammad Ramadhan. 2019. Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah. Damaskus: Dar al-Fikr

Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad al-Anshori. al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an. Mesir: Dar al-Kutub

Az-Zuhaili, Wahbah. 2012. at-Tafsir al-Wasith, Terj. Muhtadi. Jakarta: Gema Insani

Shihab, M. Quraish. 2007. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an. Bandung: Mizan

Kementerian Agama RI. 2019. Moderasi Beragama. Jakarta Pusat: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI

Muhajir, Afifudin. 2018. Membangun Nalar Islam Moderat Kajian Metodologis. Situbondo: Tanwirul Afkar

Kontribusi: Muhammad Fadil Wasakil Kosi, Semester IV

Leave a Reply