Kaidah Fikih Syaikh Yasin al-Fadani

Kaidah Fikih Syaikh Yasin al-Fadani

Resume Ngaji Online Seri ke-9, Selasa (3/11/2020)

Subdit Pendidikan Diniyah dan Ma`had Aly Dit. Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Kemenag RI dan Asosiasi Ma’had Aly se-Indonesia (AMALI)

Pada pengajian kali ini membahas tentang al Qawâ’id al Khams Allatî Tarji’u Ilaihâ Jami’ Masâil al Fiqhiyah (lima kaidah yang menjadi rujukan [poros] semua persoalan fikih) dengan pemateri Teuku Dr. Safriyadi dari Mahad Aly Raudhatul Ma’arif Aceh Utara.

Kitab yang digunakan adalah al Fawâid al Janiyah karya salah satu ulama Nusantara Syekh Yasin al Fadani (w. 1990 M). Kitab ini merupakan kitab Hâyisyah dari al Mawâhib as Saniyyah karya Syekh Abdullah bin Sulaiman al Jarhazi as Syâfî’i (w. 1128 M.) yang merupakan syarah dari nazam al Farâid al Bahiyah. Sementara al Farâid al Bahiyah sendiri adalah karya Syekh Abu Bakar Abu al Qasim al Ahdali al Yamani as Syafi’i (w. 1607 M). Kitab ini berupa kumpulan nazam yang berisi tentang penjelasan kaidah fikih, diambil dari kitab al Asybâh wa an Nazâir karya al-Imam al Hafiz Jajaluddin as Suyuti (w. 1505).

Dalam kitab tersebut, sebagaimana pendapat Imam Tajuddin as Subki (w. 1370 M), menjelaskan bahwa Qaidah Fikih adalah:

قال التاج السبكي في قواعده: القاعدة الأمر الكلي الذي ينطبق عليه جزئيات تفهم أحكامها منها. 

 “Imam Tajuddin as Subki, dalam kitab Qowa’idnya menjelaskan, bahwa Qowaid Fiqhiyah adalah suatu perkara yang bersifat global (kulli) yang bersesuaian dengan pekara-perkara parsial (juziyyat) dan darinya dapat diketahui hukum-hukum perkara juziyyat tadi.” (lihat Syekh Yasin al Fadani, al Fawâid al Janiyah, [Rembang, ‘Ali Ridwan wa Ikhwan] hal. 73)

Selanjutnya, dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa kaidah fikih terbagi menjadi dua, ada yang tidak tertentu untuk pada satu kasus saja (mencakup banyak persoalan fikih) dan ada yang hanya tertentu pada satu kasus.

و منها ما لا يختص بباب كقولنا: اليَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ. و منها ما يختص كقولنا: كُلُّ كَفَّارَةٍ سَبَبُهَا مَعْصِيَّةٌ فَهِيَ عَلَى اْلفَوْرِ.

“Di antara kaidah-kaidah fikih, ada yang tidak terbatas hanya untuk satu persoalan, seperti kaidah ‘Keyakinan tidak bisa hilang sebab sebuah keraguan’. Ada pula yang terbatas pada satu kasus saja, seperti kaidah ‘Semua kafarat yang atas faktornya adalah maksiat, maka harus dilakukan dengan segera’.” (ihat Syekh Yasin al Fadani, al Fawâid al Janiyah, [Rembang, ‘Ali Ridwan wa Ikhwan] hal. 73)

Dari ibârat (redaksi) di atas dicontohkan bahwa salah satu kaidah fikih yang mencakup banyak persoalan fikih adalah اليَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ, “Keyakinan tidak akan bisa dihilangkan oleh keragu-raguan.”

Imam Suyuti, sebagaimana dijelaskan dalam kitab ini, menjelaskan bahwa persoalan-persoalan fikih yang berporos pada kaidah ini ada ¾ dari seluruh pembahasan-pembahasan fikih yang ada. Di antaranya adalah kasus orang yang ragu-ragu memiliki wudu kemudian ia ragu-ragu, apakah wudunya sudah batal apa belum karena hadas? Maka hukumnya adalah wudunya belum batal. Karena status belum batal merupakan sebuah keyakinan yang tidak bisa dipengaruhi oleh keraguan batalnya wudu. Contoh kasus lagi, orang yang makan ketika berbuka puasa tanpa berusaha memastikan apakah sudah masuk waktu magrib atau belum. Kemudian ia ragu-ragu akan masuknya waktu magrib. Maka puasanya dihukumi batal karena ‘belum magrib’ adalah sesuatu yang diyakini, sementara ‘sudah masuknya waktu magrib’ adalah sebuah keraguan. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.

Kemudian, untuk contoh kaidah fikih yang hanya terbatas pada satu kasus fikih, contohnya adalah كُلُّ كَفَّارَةٍ سَبَبُهَا مَعْصِيَّةٌ فَهِيَ عَلَى اْلفَوْرِ, “Segala bentuk kafarat yang disebabkan karena kemaksiatan, maka harus ditunaikan segera.”

Kaidah tersebut menjelaskan bahwa kafarat, baik itu kafarat zihar, kasus pembunuhan, jimak pada siang hari bulan Ramadan dan kafarat sumpah (yamin), apabila faktor kafaratnya atas dasar kemaksiatan. Kaidah ini hanya mencakup pembahasan kafarat, bukan pada persoalan fikih yang lainnya.

Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa, ada lima kaidah besar yang menjadi poros semua persoalan-persoalan fikih, yaitu.

  1. الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا

“Segala perkara tergantung maksud/tujuannya.”

  1. اليَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ

“Keyakinan tidak akan bisa dihilangkan oleh keragu-raguan.”

  1. المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

“Keadaan susah menuntut kemudahan.”

  1. الضَرَرُ يُزَالُ

“Kemudaratan harus dihilangkan.”

  1.  العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ

“Adat dijadikan rujukan hukum.”

Sebenarnya tidak semua ulama sepakat bahwa semua persoalan fikih berporos pada kelima kaidah besar ini. Ulama yang berpendapat bahwa kelima kaidah inilah yang menjadi poros masalah-masalah fikih berdasarkan hadis nabi berikut,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Dari Ibnu Umar –semoga Allah meridhai keduanya (Umar dan anaknya)- beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Islam dibangun atas 5 (rukun); persaksian (syahadat) bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan salat, menunaikan zakat, haji, dan puasa Ramadlan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pendapat ini beralasan bahwa, sebagaimana Islam memiliki lima pondasi, fikih pun demikian, memiliki lima kaidah pokok yang menjadi poros seluruh persoalan-persoalan fikih.

Sementara sebagian ulama Syafi’iyah, termasuk  di antaranya Al Qadli Husain (w. 462 H), berpendapat bahwa, hanya ada empat kaidah yang menjadi poros semua persoalan fikih. Dengan mengurangi satu kaidah, yaitu الأُمُوْرُ بِمِقَاصِدِهَا, “Segala perkara tergantung maksud/tujuannya.” 

Bahkan, Syekh ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam (w. 660 H) dalam kitabnya al Qawa’id al Kubra menjelaskan bahwa hanya seluruh persoalan fikih berporos pada ‘satu’ kaidah, yaitu اِعْتِبَارُ اْلجَلْبِ لِلْمَصَالِحِ وَ الدَّرْءِ لِلْمَفَاسِدِ, “mencapai kemaslahatan dan menolak keburukan.” Tidak hanya itu, menurut Syekh ‘Izzuddin malah hanya kembali pada اِعْتِبَارُ اْلجَلْبِ لِلْمَصَالِح, “mencapai kemaslahatan” saja.

Kontributor: M. Abror, Semester V

Leave a Reply