Ibnu Khaldun, Sang Ulama Multidisipliner

Ibnu Khaldun, Sang Ulama Multidisipliner

Ma’had Aly – Riwayat Hidup

Abdurrahman bin Muhammad yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Khaldun, penulis buku yang sangat terkenal yang berjudul Muqoddimah Ibnu Khaldun, dilahirkan pada hari pertama bulan Ramadhan pada tahun 732 H atau bertepatan dengan tanggal 27 September 1332 M.

Peristiwa kelahiran itu berlangsung di Tunisia, yang menjadi tempat tinggal orang tua Ibnu Khaldun selama bertahun-tahun. Keluarganya memiliki darah keturunan Hadramaut yang menyambung nasabnya pada Wail bin Hujr.[1] Salah satu cucu Wail, Khalid bin Utsman, pernah ikut ke Andalusia (Spanyol) bersama tentara Yaman yang bergabung dalam pasukan ekspedidi. Namun, sesampainya di Spanyol nama Khalid berubah menjadi Khaldun. Karena itulah, keturunan setelahnya dipanggil dengan nama Khaldun.

Keturunan Khaldun tetap tinggal di kota Sycilia, salah satu kota Spanyol sampai mereka dipaksa meninggalkan kota tersebut dan mengungsi ke kota Sparta, Maroko lalu pindah lagi ke Tunis yang menjadi tempat tinggal mereka selamanya. Kebetulan, Zakariya al-Hafsha, pendiri dinasti Hafshiyyah di Tunisia pada tahun 625 H/1227 M pernah menjadi gubernur di kota sycilia sebelum menjabat gubernur Afrika. Kebetulan juga, ayah Zakariya dan kakeknya memiliki hubungan sangat erat dengan Bani Khaldun. Inilah juga yang menjadi sebab kenapa Bani Khaldun lebih memilih Tunisia sebagai tempat tinggal mereka dibanding daerah-daerah pesisir barat lainnya. Di samping itu, Zakariya banyak memberi bantuan kepada Bani Khaldun ketika mencari tempat yang sangat istimewa di kota itu. Selain itu, Bani Khaldun menduduki posisi penting dalam pemerintahan, ditambah lagi kedekatan mereka dengan ilmu pengetahuan dan kesusastraan.

Dalam kondisi gelimang kekuasaan dan pengetahuan inilah Ibnu Khaldun tumbuh dan berkembang. Ayahandanya sendiri adalah seorang ahli ilmu dan sastra. Ia sangat perhatian dengan perkembangan putranya, dan ia sendiri yang bertanggung jawab langsung dalam tugas pengajaran beberapa bidang ilmu. Ayahanda Ibnu Khaldun memberikan kesempatan kepada putranya untuk mempelajari ilmu-ilmu lainnya pada ulama besar dan sastrawan yang ada di Tunisia pada saat itu. Dengan begitu, Ibnu Khaldun kecil tumbuh dengan semangat cinta ilmu dan berusaha menggalinya lebih dalam lagi. Sejak pertama kali belajar, ia banyak membuat kagum para gurunya.

Ibnu Khaldun mulai menggali ilmunya lewat membaca al-Quran, menghafal, dan mempelajari Makhraj hurufnya dengan benar, di samping mempelajari juga ilmu-ilmu agama lainnya berupa tafsir, hadits, dan fiqh madzhab Maliki yang mendominasi masyarakat pesisir barat. Ibnu Khaldun juga mempelajari bahasa dan sastra. Setelah itu, ia mengkaji ilmu logika, filsafat, ilmu-ilmu alam, matematika dan astronomi.

Ketika Ibnu Khaldun mencapai umur tujuh belas tahun, penyakit menular kusta telah menjalar di hampir seluruh dunia dan menewaskan ratusan ribu orang. Pada masa-masa sulit itulah, Ibnu Khaldun harus kehilangan kedua orang tuanya karena menderita penyakit tersebut. Begitu juga beberapa guru besarnya, sehingga sebagian besar ulama dan sastrawan terpaksa mengungsi dari Tunisia menuju Maroko Barat demi menyelamatkan diri dari wabah penyakit mematikan tersebut. Keadaan ini semakin mempersulit kesempatan Ibnu Khaldun untuk menimba ilmu lebih banyak lagi. Karena itu, ia mulai melirik untuk bekerja sama dengan pemerintahan seperti yang telah dilakukan anggota keluarganya terdahulu. Ibnu Khaldun berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai sekretaris menteri Ibnu Tafirakin yang sangat otoriter ketika berkuasa di Tunisia, setelah menggulingkan sultan Hafsha.

Ibnu Khaldun tetap setia dalam pekerjaannya hingga ia menginjak usia 20 tahun. Kemudian, pada tahun 753 H/1352 M pemimpin Qistiniyah al-Hafsha, tiada lain adalah keponakan sultan yang terguling, menyerang Tunisia bersama pasukannya menuntut kedudukan sultan yang telah diambil oleh menteri perampas, Ibnu Tafrakin yang keluar bersama bala tentaranya untuk menghadapi musuh-musuh dengan ditemani Ibnu Khaldun.

Selanjutnya, kedua belah pihak saling bertemu dan bertempur dalam beberapa peperangan sengit dan berakhir dengan kekalahan yang diderita oleh pihak Ibnu Tafrakin. Keadaan ini memaksa Ibnu Khaldun untuk lari menyelamatkan diri dari bahaya perang dan ancaman kematian.Karena itulah, Ibnu Khaldun segera meninggalkan Tunisia dan tidak kembali lagi ke daerah itu hingga 26 tahun kemudian.

Pentingnya Buku-Buku Hasil Karya Ibnu Khaldun

Kebutuhan akan karya besar Ibnu Khaldun ini sangat terlihat jelas dalam berbagai bidang pengetahuan dan sekaligus mennjukkan kecerdasan Ibnu Khaldun serta inovasinya dalam berbagai bidang kehidupan, di antaranya:

  1. Solusi terhadap fenomena-fenomena sosial yang berhubungan dengan keluarga, hubungan yang mengikat setiap anggotanya, serta membatasi hak-hak dan kewajiban mereka seperti pernikahan, perceraian, kekerabatan, dan warisan.
  2. Pembaharuannya dalam kajian-kajian kesejarahan dan dalam pembuktian analisa sejarah ia banyak berpijak dari catatan peninggalan ahli sejarah sebelumnya
  3. Pembaharuannya dalam seni menulis riwayat hidup dengan menyebutkan seluruh peristiwa yang terjadi semasa hidupnya sejak dilahirkan sampai sesaat sebelum kematian menjemputnya dengan gaya cerita yang lebih jeli dan terpercaya.
  4. Ia membuat methode baru dalam penulisan bahasa arab dengan gaya yang lebih mudah dan jelas.

 

Referensi

Ali Abdul Whid Wafi, Abdurrahman bin Khaldun, Seri Pemikir Arab, 1961 M, Kairo.

Khalid Haddad, 2009, 12 Tokoh Pengubah Dunia, Jakarta: Gema Insani.

Muhammad Enan Abdullah, 2013, Biografi Ibnu Khaldun, Jakarta: Zaman.

Min Muqaddimah Ibnu Khaldun, terbitan Departemen Kebudayaan dan Pendidikan Nasional, 1978 M, Damaskus.

[1]Wail bin Hujr adalah seorang sahabat yang dikenal pernah diutus oleh Rasulullah saw. Dengan ditemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan ke daerah Yaman. Adapun misi Wail adalah mengajarkan Al-Quran kepada para penduduk Yaman. Dikisahkan ketika Wail datang menemui Rasulullah saw, beliau langsung menggelar kain jubahnya dan menyuruh Wail duduk di atas jubah tersebut, seraya bersabda, “Ya Allah, berkahilah Wail bin Hujr dan anaknya, anaknya, serta anaknya sampai hari Kiamat.”

Oleh : Abdul Aziz, Semester V

Leave a Reply