Gus Dur, Manifestasi Terbaik Seorang Santri untuk Negeri

Gus Dur, Manifestasi Terbaik Seorang Santri untuk Negeri

Ma’had Aly – Siapa yang tidak kenal dengan sosok satu ini? Seorang santri juga kiai yang berkharismatik, independen, moderat, humoris, juga merupakan cucu dari KH. Hasyim Asy’ari, pendiri sebuah Ormas (Organisasi Masyarakat) terbesar di Indonesia. Ormas tersebut didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 M yang diberi nama Nahdlatul Ulama (NU), memiliki arti kebangkitan para ulama.

Orang memanggilnya Gus Dur. Nama beliau sendiri terispirasi dari Abdurrahman ad Dakhil, sosok pelopor Islam dan pendiri peradaban di Andalusia (Spanyol saat ini) yang membangun masjid Cordova pula. Beliau lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940, dari pasangan Abdul Wachid bin Hasyim dan Ibu Shalichah binti Bisyri Syansyuri. Namun, nama beliau sering dinisbatkan pada ayahnya, menjadi Abdurrahman Wachid. Beliau wafat di usianya yang ke 69 tahun, pada tanggal 30 Desember 2009 di RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) Jakarta. 

Dalam sebuah novel yang berjudul “Sejuta Hati untuk Gus Dur”, terdapat beberapa obituari dari berbagai tokoh. Di antaranya, Mgr. Johannes Pujasumarta yang mengatakan “Bagiku, Gus Dur itu manusia langka pada zaman kita dan saya sedih mendengar berita kematiannya. Ia wafat, namun tetap hidup.” Begitupun dari intelektual muda Nahdlatul Ulama, Ulil Abshar Abdalla yang mengatakan bahwa “Gus Dur adalah seorang santri yang memiliki dua sikap kebudayaan yang mengesankan. Pertama, ia tidak bersikap apologetik terhadap tradisinya sendiri, tradisi pesantren. Kedua, Gus Dur tidak kikuk sekali berhadapan dengan dunia modern, tetapi lebih dari itu, dia juga tidak terkesima begitu saja dengan dunia itu.”

Beliau mendapatkan ilmu tidak hanya dari seorang guru, buku tapi juga film. Beliau cerdas seperti ayah dan kakeknya. Namun, sempat menjadi kontroversial, apalagi ketika beliau menjadi presiden, karena orang tahunya beliau pernah tidak naik kelas, tidak naik tingkat pada saat kuliah di Mesir dan dengan kondisi penglihatannya. Padahal beliau tidak naik kelas bukan karena beliau bodoh, tidak naik tingkat bukan karena malas belajar tapi lebih dari itu, beliau justru lebih aktif mengurusi PPI (Persatuan Pemuda Indonesia) dan mengenai kesehatan matanya, beliau adalah orang yang kasyaf, lahirnya tidak dapat melihat namun lebih dari itu, batinnya dapat melihat secara jelas antara yang hak dan batil melebihi orang-orang yang normal penglihatannya. Di kalangan Nahdliyyin, Gus Dur adalah sosok wali yang menyimpan banyak misteri. Seperti dalam sebuah pepatah “Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya,” pepatah itu berlaku bagi seorang Gus Dur. Beliau mencari ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya seperti yang dilakukan ayah dan kakeknya. 

Untuk pertama kalinya, beliau mondok selama dua tahun di pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, yang dipimpin oleh KH. Chudhari. Begitu pulang, beliau mondok di Tambak Beras, yang dipimpin oleh pamannya sendiri yaitu KH. Abdul Fatah. Ketika sudah menginjak usia 20 tahun, beliau menjadi ustadz dan ketua keamanan di sana. Beliau mondok di beberapa pondok pesantren lainnya, dan ngaji berbagai kitab, salah satunya adalah kitab Tafsir Jalalain. 

Untuk selanjutnya, beliau pergi menunaikan ibadah haji pada usia 22 tahun sekaligus melanjutkan kuliah di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Sebelum berangkat, sempat ditawari untuk menikah terlebih dahulu oleh pamannya dan dicarikan calonnya yang kemudian memperkenalkan Ibu Sinta Nuriah, kebetulan itu adalah murid Gus Dur ketika mengajar di Mu’allimat. Sempat menolak, namun justru ketika Gus Dur sudah di Mesir, nurani Ibu Sinta terketuk ketika mengetahui bahwa Gus Dur tidak naik tingkat karena saking aktifnya mengurusi PPI (Persatuan Pemuda Indonesia), Ibu Sinta pun membalas surat dari Gus Dur “Masa manusia harus gagal dalam segala-galanya. Gagal dalam studi, paling tidak berhasil dalam jodoh,” selain untuk menghibur juga kode untuk Gus Dur bahwa Ibu Sinta menerima lamarannya yang sempat tertunda. 

Gus Dur juga pernah belajar di Universitas Baghdad, Irak (1966-1970). Dan di sana merupakan tempat terakhir beliau merantau mencari ilmu di negeri orang, pada tahun 1971 beliau pulang ke Indonesia. Dari sinilah Gus Dur yang seorang santri memulai mengabdikan dirinya untuk negeri. Beliau mengajar menjadi dosen di Universitas Tebuireng, Jombang. Beliau pernah terlibat dalam LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di LP3ES. Pada tahun 1979 beliau pindah ke Jakarta dan membangun pondok pesantren di Ciganjur, Jakarta Selatan. Juga memperkenalkan dunia pesantren lebih luas lagi.

Pada tahun 1980, beliau dipercaya menjadi katib Syuriah PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), dan pada tahun 1984, beliau terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo, Jawa Timur. Juga pada muktamar ke-28 di Pesantren Krapyak, Yogyakarta (1989), dan untuk ke sekian kalinya terpilih menjadi ketua pada muktamar di Cipasung, Jawa Barat (1994). Namun, hal itu tak lagi terjadi ketika beliau menjabat sebagai Presiden.

Ketika Gus Dur terpilih menjadi presiden pada Oktober 1999, sejak saat itu pulalah pamor beliau terlihat, bahkan dijuluki bapak pluralisme dan kiai berkharismatik yang mengedepankan keadilan dan rasa empati. Karena menurut Gus Dur, “Perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.” Dapat dilihat ketika menyelesaikan separatis Aceh dan Papua, beliau secara bertahap dan perlahan memberikan hak kemerdekaan kepada mereka dan memperjuangkan agar keduanya tidak memisahkan diri dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Menggunakan cara persuasif dan penuh empati serta memberikan keadilan terlebih dahulu untuk selanjutnya menuntut kesetiaan kepada mereka. Padahal sebelumnya (pada masa Orde Baru) tidaklah demikian, melainkan dilakukan dengan pemaksaan, menggunakan bantuan militer sehingga mereka merasakan kekerasan bersenjata, bahkan keduanya sampai diisolasi oleh dunia luar.

Selama menjadi presiden (1999-2001), banyak sekali perubahan yang beliau lakukan. Di antaranya, membentuk forum demokrasi (fordem); berunding bersama pimpinan agama dan mengeluarkan keprihatinan moral dan menilai situasi dan kondisi negara dalam keadaan kritis; memberikan hak para ulama, tokoh, anggota militer untuk memberikan saran keselamatan bagi masyarakat; membentuk KGD (Koalisi Gerakan Demokrasi); mengeluarkan dekrit; mencabut dan menerbitkan undang-undang, dan tidak lupa mendakwahkan Islam dengan tidak memandang orang. Beliau bahkan sering dakwah yang bukan menjadi tempat kediaman seorang Muslim seperti Gereja.

Begitulah perjalanan sang guru bangsa, kisah beliau seakan seperti “buku tebal” yang tidak akan pernah bosan untuk dibaca dan dinikmati, asik dan patut untuk dicontoh. Bahkan, setiap perkataannya sarat akan makna, sekalipun itu dalam bentuk lelucon. 

Referensi

Damien Dematra. 2010. Sejuta Hati Untuk Gus Dur. Jakarta: Gramedia

Guntur Wiguna. 2010. Koleksi Humor Gus Dur. Yogyakarta: Narasi

Ahmad Suedy. 2018. Gus Dus, Islam Nusantara dan Kewarganegaran Bhineka. Jakarta: Gramedia.

Gus Nuril Soko Tunggal dan Khoerul Rosyadi. 2010. Ritual Gus Dur dan Rahasia Kewaliannya. Yogyakarta: Galangpress

Irwan Suhanda. 2010. Perjalanan Politik Gus Dur. Jakarta: Kompas

Kontributor: Rin Rin Hasanah, Semester V

Leave a Reply