Biografi H. Djaanih dan H. Abdul Ghoni, Wakif Tanah Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta

Biografi H. Djaanih dan H. Abdul Ghoni, Wakif Tanah Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta

Mengenal Lebih Dekat H. Dja’anih dan H. Abdul Ghoni Dja’ani

H. Dja’anih, lahir di Jakrata pada tanggal 31 Desember 1901, adalah wakif tanah pondok pesantren Asshiddiqiyyah Pusat Jakarta Barat. Pondok pesantren ini memiliki 12 cabang di seluruh penjuru Nusantara. Awalnya tanah yang diwakafkan untuk pondok pesantren adalah sebuah rawa dan sawah. Dahulu hanya ada rumah H. Dja’anih di tengah tanah yang luas tersebut. Kesehariannya sebagai petani dan menggarap tanahnya dengan istrinya, Hj Mardhiah. Ia membeli tanah tersebut dari hasil keringat sendiri, namun karena kesibukannya yang semakin bertambah mengakibatkan tanahnya tidak terurus dan ia memutuskan untuk mewakafkan tanah tersebut.

Sebelumnya ia pernah mendirikan sebuah yayasan yang diberi nama Ukhuwah Islamiyah yang didirikan pada tahun 1977-1979. Yayasan ini merupakan lembaga pendidikan dan Majlis Ta’lim di daerah tersebut yang diketuai oleh putra pertamanya, H. Mursidi Dja’ani. H. Abdul Ghoni Dja’ani sendiri menjabat sebagai bendahara dan adiknya H. Mad Ali Dja’ani sebagai Sekretaris. Namun karena kurangnya fasilitas dan orang yang lebih alim dalam penguasaan Ilmu keagamaan, yayasan ini tidak bertahan lama dan akhirnya dibubarkan.

Ia asli keturunan Betawi dan menikah dengan Hj Asnah dan dikaruniai 9 putra, namun empat putranya meninggal dunia. Diantara putranya yang masih hidup yakni: H. M. Siddiq Dja’ani, H. Abdul Ghoni Dja’ani, H. Mursidi Dja’ani, H. Asmad Dja’ani, dan H. Mad Ali Dja’ani.

Untuk itu H. Dja’anih berpikir untuk mewakafkan tanahnya, setidaknya kepada orang yang mumpuni dalam ilmu agama dan nantinya bisa melanjutkan yayasan tersebut. Akhirnya Rasidi Hambari (salah satu pendiri yayasan Ukhuwah Islamiyah) menyarankan H. Djaanih untuk sowan ke gurunya KH. Mahrus Ali, pendiri serta pengasuh  Pondok Pesantren Lirboyo. Setelah sowan, KH. Mahrus Ali memberi saran agar mewakafkan tanah itu kepada Kyai Noor Muhammad Iskandar, SQ. Ketika itu ia berada di Pluit, di sana ia menjadi Imam Masjid, mengisi majelis ta’lim di Pluit dan sering diminta untuk mengisi ceramah-ceramah.

Sesuai usulan dari KH. Mahrus Ali, ia mewakafkan tanahnya kepada Kyai Noor dan dijadikan pondok pesantren. KH. Mahrus Ali datang ke rumah H. Dja’anih dan mengambil tanah tersebut kemudian mencium aromanya dan berkata, “Tanah ini bagus, subur dan wangi. Dengan tanah yang wangi ini, cocok untuk didirikan pondok pesantren.” Barulah tanah wakaf ini dibangun Pondok Pesantren oleh Kyai Noor Muhammad Iskandar.

Dua tahun setelahnya KH. Dja’anih wafat, tepatnya pada 22 November 1984, karena patah tulang akibat tertimpa atap saat puting beliung. Ia melihat perkembangan pondok pesantren hanya dua tahun lamanya, kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh anaknya, H. Abdul Ghoni Dja’ani.

Abdul Ghoni Dja’ani adalah anak wakif yang sangat berperan dalam pembangunan dan perkembangan pondok pesantren Asshiddiqiyyah Pusat Jakarta Barat. H. Abdul Ghoni Dja’ani lahir di Jakarta 15 Agustus 1940. Setelah pondok pesantren Asshiddiqiyyah ini berdiri, ia menjabat sebagai bendahara pondok pesantren, H. Asmad Dja’ani, dan H. Mad Ali Dja’ani yang menjabat sebagai sekretaris. Beberapa saudaranya, H. M. Shiddiq Dja’ani menjabat sebagai yayasan Ukhuwah Islamiyyah yang sebelumnya, H. Mursidi Dja’ani anggota kepengurusan Yayasan Ukhuwah Islamiyah. Kelima anak H. Dja’ani ini semua tinggal di lingkungan pondok pesantren kecuali H. M. Shiddiq dan H. Mursidi.

Untuk itu, H. Abdul Ghoni dan saudara-saudaranya yang tinggal di area pondok pesantren melanjutkan perjuangan ayahnya H. Dja’anih untuk turut membangun pondok pesantren. H. Abdul Ghoni Dja’ani menikah dengan Hj. Mardliyah, ia dikaruniai 4 anak di antaranya: H. Fitroh, Hj. Dewi Nurmala, Hj. Siti Nurrahmah, Hj. Fitriyah. Keempat anaknya ini bertempat tinggal di dalam lingkungan pesantren, karena dulu H. Abdul Ghoni Dja’ani berpesan semua anaknya harus tinggal di lingkup pesantren tidak boleh keluar dari area pesantren. Harapannya agar seluruh keturunannya bisa mondok semua atau setidaknya hidup di lingkungan yang islami.

Sosok Kepribadian H. Abdul Ghoni Dja’ani.

Abdul Ghoni Dja’ani adalah sosok penyayang, penyabar, dermawan, dapat dipercaya dan tanpa pamrih. Ia termasuk sesepuh dan berperan sebagai ketua RT serta dikenal sebagai mediator yang mampu menjadi penengah tiap kali terdapat konflik antar masyarakat. Ketika ia memberi nasihat, orang yang mendengarkannya itu patuh seketika. Karena wibawanya, orang betawi dulu menyebutnya sang “jawara” yang lisannya bisa menaklukkan amarah seseorang.

Dari segi ilmu agamanya mungkin tak terlalu dalam dan tak pernah belajar di pondok pesantren, namun ia memiliki jiwa nyantri yang begitu besar. Ia bukan kiai maupun ulama, namun ia senang terhadap santri serta hormat pada para kiai dan ulama. Ia pernah berkeinginan untuk mendirikan pondok pesantren. Hal itu ia rasakan saat itu, karena ia hidup di tengah-tengah pesantren dan ikut berkecimpung di dalamnya. Selain sebagai pewakaf, ia juga termasuk donatur yang mengabdikan waktu, harta, dan kehidupannya untuk pondok pesantren Asshiddiqiyyah.

Abdul Ghoni Dja’ani banyak dikenal para tokoh Islam, para kyai dan ulama. Dulu ketika Kiai Noor diundang untuk menjadi penceramah, H. Abdul Ghoni yang sering mengantar Kiai Noor untuk menghadiri undangan dengan menggunakan motor bebek. Dikarenakan waktu itu Kiai Noor belum memiliki kendaraan sendiri, ia ikut menghadiri undangan mendampingi Kiai Noor. Saat itulah, ia diperkenalkan ke teman Kyai Noor yang mayoritasnya kiai dan ulama. Karena itulah ia dikenal banyak orang, terutama di kalangan kiai dan ulama. Ia wafat pada 12 November 2005 karena penyakit gula yang telah lama dideritanya.

Aktivitas Keseharian H. Abdul Ghoni Dja’ani

Karena hidup di sekitar pondok pesantren, ia ikut memenuhi kebutuhan dan pembangunan pondok pesantren. Seiring usianya yang bertambah senja, ia mendirikan toko di samping rumahnya untuk memenuhi kebutuhan santri. Ia juga termasuk sosok yang ramah, terbuka dengan para santri dan sering bercanda dengan mereka. Karenanya, pesantren yang memang dulunya masih kekurangan tempat mengakibatkan ada beberapa santri yang menginap di rumahnya dan ia menerima dengan senang hati.

Menjelang wafatnya, ia berpesan kepada anak keturunannya, “ Jangan sampai anak keturunanku mengganggu atau mengotak-atik pondok pesantren ini. Istiqamahlah dalam ibadah kalian dan jaga shalat lima waktu, karena amal ibadah kalian akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak”. Inilah amanat yang sangat terkenang darinya yang hingga kini dipegang teguh oleh semua keturunannya.

Narasumber: H. Riyadlul Badi’, H. Mad Ali Dja’ani, Hj. Mardliyah

Oleh : St. Nurussa’adah, Semester V

Leave a Reply